Berlatih Mantra Matahari

1K 41 0
                                    

“Bagaimana engkau dapat menyimpulkan bahwa ini adalah cahaya bulan, sementara dari nama jurus itu saja sudah memberi keterangan bahwa itu adalah matahari?” Raden Kuning bertanya keheranan.

“Aku hanya mengira-ngira saja, Kakang. Jika gambar ini adalah sinar matahari, maka tak ada waktu khusus untuk melatih jurus Mantra Matahari. Jika kita memanfaatkan sinar yang jatuh melalui lubang sebesar buah kelapa itu, maka setiap hari jurus itu bisa dilatih. Sedangkan di dalam petunjuk gambar ini dijelaskan keadaan bola bersinar yang penuh berada di atas kepala. Lihatlah gambar ini di sekelilingnya terlihat temaram. Ini menandakan suasana malam hari,” jelas Putri Cala.

Raden Kuning kembali kagum dengan ketelitian istrinya itu. Setelah diikutinya petunjuk istrinya, ia akhirnya mahfum jika gambar bola bersinar dalam lukisan di dalam kitab Mantra Sembilang adalah bulan purnama. Bukankan cahaya bulan juga merupakan cahaya matahari yang dipendarkan. Selanjutnya keduanya meneliti kembali suasana yang dilukiskan dalam gambar cara melatih jurus Mantra Matahari. Terlihat gambar orang tak berbusana di bawah siraman cahaya bulan duduk bersila. Uniknya cahaya bulan itu menyorot ke atas kepalanya.

“Jika melihat gambar ini, kita harus menentukan lokasi yang tepat. Orang yang melatih jurus Mantra Matahari harus berada tepat di bawah cahaya bulan. Malam nanti adalah hari purnama. Kita memiliki waktu tujuh hari untuk memanfaatkan sinar bulan. Dalam kurun waktu itu engkau harus mampu menerjemahkan petunjuk yang ditulis dalam Kitab Mantra Sembilang.” Raden Kuning mengingatkan Putri Cala.

“Ya Kakang. Aku telah mempelajari cara mengatur tenaga jamur Sembilang sesuai petunjuk di dalam kitab. Semoga dalam latihan nanti aku bisa mempraktekkannya dengan benar. Mohon petunjukmu, Kakang.” Putri Cala tersenyum manis.

Malam tiba dan kedua pendekar sakti itu mengawasi jatuhnya sinar bulan. Awalnya sinar bulan itu jatuh tepat di pinggir telaga. Tetapi setelah mendekati tengah malam, cahaya sinar bulan ternyata bergeser ke tengah telaga. Raden Kuning mengernyitkan dahi melihat keanehan jatuhnya cahaya bulan purnama yang ternyata tepat berada di tengah telaga.

“Bagaimana caramu agar dapat duduk bersila di tengah telaga itu, Putri?” Raden Kuning bertanya keheranan.

“Dengan jurus Mantra Genggam aku dapat dengan mudah berada di tengah telaga. Kakang lupa jika aku bisa memanfaatkan barisan ikan untuk menopang tubuhku.”

“Oh iya, betul sekali. Ayo lekaslah engkau tanggalkan seluruh pakaianmu. Bersiaplah menuju tengah telaga dengan menggunakan pasukan ikanmu. Aku akan mengawasimu dari sini.”

Tanpa banyak pertanyaan, Putri Cala kemudian melepaskan seluruh pakaiannya. Ia bergegas berjalan menuju telaga tanpa selembar benang menutupi tubuhnya. Di bawah temaram cahaya bulan, wanita yang berparas cantik itu seperti bidadari yang turun dari kahyangan mandi di telaga. Dengan mengerahkan kekuatan batinnya, tak lama ratusan ikan datang dan menjadi kendaraan Putri Cala menuju tengah telaga. Ia dengan mudah dapat berkomunikasi dengan ratusan ikan, sehingga mereka tepat berhenti di bawah sinar cahaya bulan.

Putri Cala duduk bersila di atas rakit yang dibentuk oleh ratusan ekor ikan. Ia mengerahkan tenaga Sembilang agar tubuhnya menjadi enteng seenteng kapas. Berbeda dengan kedua jurus awal, jurus Mantra Matahari diawali dengan menghentikan nafas. Putri Cala menutup pernafasannya sehingga dadanya terasa sesak karena kehilangan suplai udara. Paru-parunya mengembang dan lidahnya seakan tercekik. Di antara rasa kesakitannya itu, ia memulai tahapan awal latihan jurus ketiga dari Kitab Mantra Sembilang. Kedua tangannya digerakkan meliuk-liuk ke depan seperti seorang penari. Kepalanya bergoyang-goyang seperti ular. Dari mulutnya mendesis suara seperti ular.

Tetiba kedua tangan dirapatkan ke atas kepala disertai dengan hentakan tubuh Putri Cala berputar seperti gasing menuju ke atas gua. Awalnya putaran tubuhnya dapat diikuti oleh mata biasa. Tetapi lama kelamaan putaran tubuh Putri Cala semakin kencang mengangkat tubuhnya tinggi ke atas. Tubuh itu terus berputar cepat menimbulkan cahaya berwarna-warni. Tubuh itu memendarkan cahaya bulan menjadi warna-warna pelangi. Dari pinggir telaga Raden Kuning memperhatikan keindahan jurus Mantra Matahari yang tengah dilatih oleh istrinya. Ia berdecak kagum melihat keindahan yang berlangsung di depan matanya.

“Entah kepandaian apa lagi yang akan dikuasai Putri Cala jika ia sudah berhasil menguasai jurus itu. Di balik keindahan jurus itu pasti terkandung kekuatan dahsyat. Semoga dengan menguasai jurus itu, kita bisa keluar dari telaga ini, istriku,” gumam Raden Kuning.

Putaran tubuh Putri Cala berhenti. Tubuhnya terbaring terlentang di bawah sinar bulan melayang turun dari ketinggian. Anehnya tubuh yang berhenti bergerak itu turun sedikit demi sedikit ke permukaan telaga. Di sana ratusan ekor ikan masih berkumpul menanti kehadiran tubuh Putri Cala. Belum sempat tubuhnya menyentuh air, ratusan ekor ikan yang sebelumnya menopang tubuhnya melesat ke atas membentuk tangga. Putri Cala melompat menuju tangga berbahan ratusan ikan itu. Dengan enteng ia berjalan menuruni tangga hingga ke daratan.

“Kakang Bagus Kuning, aku berhasil menguasai jurus Mantra Matahari. Dengan jurus itu kita bisa keluar dari tempat ini. Engkau lihat tadi, ratusan ikan dapat aku perintah membentuk tangga untuk kita baik ke atas. Dari lubang sebesar buah kelapa itu kita bisa keluar dari tempat ini. Aku hanya perlu latihan lagi agar tangga ikan itu bisa kuat sampai ke atas. Hari ini aku baru bisa membuat tangga ikan dengan ketinggian dua depa.” Putri Cala tersenyum gembira. Raden Kuning bergidik. Ia membayangkan jika saja tidak mewarisi ajaran dari kitab Mantra Sembilang, maka mereka berdua akan terkubur selamanya di telaga. Dengan kata lain, tanpa mengusai jurus Mantra Sembilang, maka tak akan ada jalan keluar bagi mereka dari dalam gua.

“Engkau harus tekun berlatih istriku. Hanya dengan cara seperti itulah kita bisa keluar dari sini. Artinya Rakryan Rupagatri yang menciptakan tempat ini tak memberi ruang bagi orang yang sudah terkurung di dalam sini dapat keluar hidup-hidup dari tempat ini.” Raden Kuning memeluk istrinya. Sepasang pengantin baru itu tenggelam dalam rasa suka cita.

Namun tetiba, Putri Cala jatuh terkulai di pelukan Raden Kuning, Wajahnya pucat pasi. Raden Kuning panik. Ia segera memeriksa denyut nadi istrinya. Dirinya semakin khawatir karena denyut nadi Putri Cala tak beraturan. Segera dibaringkannya tubuh Putri Cala lalu ia menotok beberapa titik di bagian tubuhnya. Selanjutnya ia menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Putri Cala dan menyalurkan tenaga ke tubuh yang masih terkulai itu.

Kira-kira sependidih air, tubuh Putri Cala kembali hangat. Raden Kuning menghentikan penyaluran tenaga dalamnya karena dilihatnya istrinya telah siuman. Namun ia kembali terkejut ketika Putri Cala memegang perutnya seperti orang kesakitan.

“Hoaks,” Putri Cala memuntahkan cairan. Raden Kuning terperanjat. Nampak kekhawatiran di wajahnya yang gagah.

(Bersambung)75

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang