Sihir jahat

793 37 2
                                    

Tetiba dalam pandangan matanya, Kedum melihat ada tiga lelaki bersorban yang menatap marah kepadanya. Dalam keterkejutannya, ia tanpa sadar berteriak kencang. Tentu saja perbuatannya itu membuat Arya Belanga dan tuan rumah terkejut dan langsung mengarahkan pandangan ke pojok ruang depan. Namun, mereka berdua tidak dapat melihat apa yang telah dilihat oleh Kedum. Melihat gelagat yang tidak baik itu, Arya Belanga memerintahkan abdinya itu untuk berdzikir dan mengucap asma Allah.

“Berucaplah istighfar dan pejamkan matamu!” Suara Arya Belanga terdengar lembut di telinga Kedum. Lelaki yang telah mengabdikan dirinya dalam jalan dakwah itu segera mengikuti perintah tuannya. Sependidih air, ia telah berhasil mengkontrol emosinya.

“Luar biasa keji. Orang-orang itu meninggalkan pengaruh sihirnya di dusun ini. Wajar jika mereka ketakutan. Aku saja hampir terpedaya dengan sihir mereka. Kita harus membersihkan pengaruh sihir ini, Kakang Riye,” ujar Kedum kesal.

“Ya, memang engkau baru saja terkena pengaruh sihir mereka yang kuat. Hai pemilik rumah, apakah yang terjadi di dusun ini?” tanya Arya Belanga.

“Tiga hari yang lalu, dusun kami kedatangan tiga orang lelaki bersorban. Mereka mengunjungi rumah-rumah tetua di dusun ini, termasuk rumah kami ini,” jawabnya.

“Lalu apa yang disampaikan orang itu?” tanya Kedum.

“Mereka menyampaikan bahwa mereka datang dari jauh untuk memperingatkan bahwa akan ada wabah penyakit yang datang ke dusun kami. Mereka bahkan memperlihatkan kepada kami melalui kekuatan batin tentang bagaimana kami setelah terjangkit penyakit itu. Setelah menyentuh tangannya, kami bisa melihat bahwa di masa depan kami menderita penyakit gatal bernanah di sekujur tubuh. Untuk menghindarinya, maka kami tidak boleh menghidupkan lampu di malam hari selama tiga purnama.”

“Aih, sungguh mereka telah menyampaikan teror di dusun ini. Lalu, setelah mereka pergi apa yang kalian rasakan?” tanya Kedum lagi.

“Kami merasakan bahwa tiga orang itu di waktu-waktu tertentu mengawasi kami. Terlebih pada saat pergantian hari dari siang ke malam, bayangan tiga lelaki bersorban itu selalu hadir di dalam rumah kami. Sebagaimana yang baru saja kamu hadapi, mereka seolah nyata ada di sini,” jelasnya. Sementara Arya Belanga mendengarkan kisah itu sambil mengangggukkan kepalanya. Selanjutnya ia menyampaikan hasil pandangannya terhadap apa yang terjadi di dusun tersebut.

“Kalian terkena sihir. Tiga lelaki itu bukanlah orang baik. Meskipun penampilannya bersorban, ia bukanlah rombongan jamaah tabligh yang tengah berdakwah. Kedatangannya ke dusun ini bukan untuk membantu, tetapi justru untuk menyebarkan teror. Apakah mereka pamit meninggalkan dusun ini di malam hari?”

“Betul, tuan. Mereka pergi ketika malam tiba,” jawabnya.

“Lalu, jika tak salah kesimpulanku, apakah tidak ada satu pun dari kalian para tetua dusun yang tahu ke arah mana mereka pergi?”

“Benar, tuan Riye Belanga. Tidak ada satu pun dari kami para tetua dusun yang berani menanyakan ke mana tujuan mereka setelah singgah di dusun kami.”

“Hmmm…., mereka sepertinya memang tahu jika kita akan menelusuri jejak mereka. Sepertinya semua ini memang ditujukan untuk kita, Kedum. Biarkan aku membersihkan dulu pengaruh sihir di rumah ini.”

Tanpa banyak bicara, Arya Belanga menyapukan tangannya ke seisi rumah. Ia kemudian mengajak tuan rumah juga berkeliling rumah. Ia menyapukan tangannya ke seluruh penjuru rumah. Setelah dirasa cukup, Arya Belanga mengajak mereka menunaikan sholat magrib berjamaah.

“Rumah ini isnya Allah telah bersih dari pengaruh sihir jahat. Ada berapa rumah tetua dusun yang dimampiri mereka?” tanya Arya Belanga seusai menunaikan sholat.

“Yang disinggahi mereka berjumlah tiga rumah. Selain rumah ini mereka juga datang ke rumah tetua dan kepala dusun.”

“Ayo, antarkan kami ke sana!”

“Baik, tuan Riye.”

Dengan ditemani tuan rumah, Arya Belanga dan Kedum membersihkan pengaruh sihir di dua rumah lainnya. Sayangnya, dari keseluruhan penduduk dusun tidak ada yang tahu ke arah mana penyebar teror itu pergi. Sepertinya memang mereka sudah memperkirakan bahwa akan ada orang yang datang memberikan pertolongan sekaligus menyelusuri jejak langkah mereka yang menjadi penyebar sihir itu.

Arya Belanga memejamkan mata. Ia mencari petunjuk dengan cara berdoa kepada Yang Maha Memberi Petunjuk. Sependidih air, ia membuka matanya.

“Sepertinya memang tiga lelaki itu berupaya menutupi jejaknya.” Arya Belanga tersenyum. Ia kemudian menggamit lengan Kedum untuk berpamitan dengan tuan rumah.

“Kami harus segera menyusul mereka. Berdasarkan keterangan kalian tadi, maka kami berselisih tiga hari dengan para penyebar wabah dan teror itu. Izinkan kami tak bermalam di dusun ini karena kami harus meneruskan perjalanan segera. Masih banyak di luar sana anak-anak yang terkena sirap penyakit lumpuh layu yang harus segera diobati.” Kedum mewakili tuannya berpamitan.

“Aih, kiranya suatu kehormatan bagi kami jika tuan berdua mau menginap di gubukku yang jelek ini,” kepala dusun berupaya menahan kepergian kedua tamunya.

“Terimakasih kepale. Kami dikde pacak lame di dusun ini karena harus negjar tige uhang itu. Bile bejalan dikde putus-putus, maka kami baru pacak nyusul die uhang tige ahi lagi.” Kedum menjura hormat. Sementara Arya Belanga menganggukan kepalanya tanda bagi Kedum bahwa waktu mereka sudah habis. Bergegas mereka berdua naik ke atas pelana kuda dan membedal kuda-kuda pilihan itu kea rah Selatan tanpa menoleh ke belakang.

Menempuh perjalanan malam dengan menunggang kuda, tentunya bukan perkara mudah. Punggawa Kedum yang memimpin perjalanan di depan harus menarik kekang kudanya berkali-kali agar hewan jinak itu tidak terperosok ke dalam lubang. Mereka berdua berjalan siang malam dan hanya singgah sebentar ke dusun-dusun yang terkena pengaruh sihir tiga lelaki bersorban. Kedatangan Arya Belanga dan Kedum segera menyebar ke dusun-dusun lain sehingga mereka yang terkena wabah penyakit lumpuh bahkan melakukan patroli untuk menyambut kedatangan dua penolong itu.

Hingga satu pekan perjalanan, tiga lelaki bersorban belum dapat tersusul juga. Arya Belanga gelisah. Ia teringat janjinya untuk mengunjungi keraton Palembang satu pekan ke depan. Tetapi ia saat ini tengah dilanda kebimbangan. Jika urusan wabah penyakit ini tidak segera ditangani, ia khawatir akan terjadi gejolak di tengah masyarakat. Dalam keadaan itu, Arya Belanga khawatir justru akan ada penolongan gadungan yang akan mempengaruhi masyarakat dengan ajaran-ajaran sesat.

“Aku khawatir adanya wabah penyakit ini berhubungan dengan ajang adu tanding yang akan digelar keraton Palembang. Dalam pandanganku akan terjadi keributan di Palembang pada saat adu tanding nanti. Sedangkan kita berdua harus menuntaskan persoalan wabah penyakit ini hingga tertangkap pelakunya. Jika melihat arah jejak yang tertinggal dari tiga lelaki bersorban yang kita ikuti ini, justru arahnya menjauh dari tujuan kita kotaraja Palembang.” Arya Belanga nampak gelisah di atas punggung kudanya.

“Betul Yang Mulia. Arah kita ini menjauh dari kotaraja. Jika pun saat ini kita langsung memutar arah ke kotaraja Palembang, kita tetap akan terlambat tiba di sana.”

Mereka harus melewati hutan lebat sebelum sampai ke daerah pegunungan di Selatan. Punggawa Kedum menahan laju kudanya dengan berjalan berjajar dengan kuda yang ditunggangi Arya Belanga. Dengan cara begitu mereka berdua dapat terus bercakap-cakap.

“Kita berhenti dulu di sini, Kedum. Sejak matahari terbit kita belum membuka bekal. Ayo kita duduk di bawah pohon rindang di sana.” Arya Belanga menunjuk sebatang pohon berdaun lebat yang berada di depan mereka. Keduanya kemudian turun dari pelana kuda dan duduk di bawah pohon seraya membuka bekal.

Saat mereka tengah menyantap makanan, dari arah berlawanan nampak ada orang yang datang. Semula Kedum tidak dapat melihat jelas siapa mereka. Tetapi setelah mereka mendekat, jantungnya berdetak kencang. Orang yang datang dari arah berlawanan itu adalah tiga lelaki bersorban.

“Lihat Yang Mulia. Orang yang kita cari ada di depan sana!” seru Kedum berbisik.

(Bersambung)

Jangan lupa follow akun author ya...

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang