Orang Tak Diduga

1.4K 63 10
                                    


Bayangan tubuh pengintai hilang di telan temaram cahaya di dalam gua. Raden Sinjar menunggu beberapa saat sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas kembali. Dalam persembunyiannya tadi, Raden Sinjar menahan nafasnya dan menyalurkan tenaga dalam untuk membantu menyamarkan tarikan nafas ibunya. Dipegangnya tangan orang yang telah melahirkannya itu dengan lembut.

"Kita tidak tahu siapa pengintai itu. Namun jika melihat dari gerak tubuhnya, dia bukanlah orang sembarangan. Jika orang itu musuh, aku belum tentu mampu menghadapinya. Mengingat tempat ini adalah tempat persembunyian yang sangat sulit diakses oleh musuh, maka orang itu pastilah hebat sekali, ibu!"

"Atau....., dia orang sendiri. Cepat engkau periksa dia di dalam gua sana. Pastilah ia saat ini telah menghirup hawa beracun bunga ungu. Cepatlah bawa kemari, semoga saja dia memang musuh seperti yang engkau kira!" Putri Cinde terlihat cemas.

Setengah melompat, Raden Sinjar segera keluar dari balik batu besar. Ia berjalan bergegas menuju ke dalam gua. Mulut gua yang kecil membuatnya harus menunduk agar bisa masuk ke dalam. Gua itu tersusun dari bebatuan yang terkikis oleh air. Bentuknya tidak sempurna. Disana-sini terdapat bebatuan runcing yang dapat membahayakan orang yang nekad menjelajah ke dalamnya.

Raden Sinjar sudah pernah terjebak di dalam gua itu. Sedikitnya ia sudah memiliki gambaran isi dalam gua. Jika sebelumnya ia menjadi korban racun bunga ungu, namun tidak kali ini. Pasalnya ia telah menguasai ajian Amurkana. Ajian pamungkas ilmu Sinni Khat yang diwarisinya dari tabib Yu itu akan saling berikatan dengan racun bunga ungu.

Namun meskipun begitu, pengalaman traumanya di masa lalu terjebak di dalam gua dan hampir kehilangan nyawa membuat Raden Sinjar meningkatkan kewaspadaan. Sekira lima langkah kaki orang dewasa, keadaan di dalam gua mulai lapang. Namun jika sebelumnya dasar gua landai, keadaan berbalik. Dasar gua berceruk curam dan lantainya terendam air semata kaki. Air yang mengalir itu menimbulkan suara bergemericik.

Raden Sinjar meniti dasar gua berbatu itu dengan lebih hati-hati. Jika tak salah dugaannya, tumbuhan bunga ungu itu terdapat persis di bawah sana. Ada ceruk kecil di bawah sana yang menjadi alur keluar masuk udara di dalam gua. Sinar matahari masuk dari ceruk tersebut sehingga bunga ungu bisa tumbuh di dasar gua yang lembab dan berdasar bebatuan.

Sayangnya malam itu bulan sama sekali tak bercahaya. Tak ada cahaya penerangan di dalam gua. Raden Sinjar tak berani menuruni lantai dasar gua yang curam tanpa bantuan cahaya. Setelah berpikir beberapa saat, ia akhirnya memutuskan untuk kembali keluar gua untuk membawa penerangan.

"Apa yang engkau temukan di dalam sana anakku. Dimana si pengintai, mengapa engkau keluar sendiri?" Putri Cinde memberondong anaknya dengan pertanyaan. Itu menandakan ia masih dilingkupi ketegangan.

"Tidak ada cahaya sama sekali di dalam gua, ibu. Aku harus membawa lampu minyak itu ke dalam. Si pengintai belum bisa aku temukan. Tunggulah ibu di sini, aku akan kembali masuk ke dalam gua," Raden Sinjar menjawab dengan cepat. Kekhawatiran ibunya soal kemungkinan si pengintai adalah orang sendiri ternyata telah mengganggu pikirannya. Jika benar si pengintai adalah orang sendiri, maka sangat berbahaya membiarkannya terlalu lama di dalam gua yang penuh dengan hawa beracun.

Dengan bantuan sinar dari lampu minyak, isi di dalam gua mulai terlihat. Dinding gua seperti urat pohon besar yang dipenuhi dengan akar-akar yang menonjol. Langit-langit gua terdapat bebatuan runcing yang terbentuk secara alami karena kikisan air. Raden Sinjar sempat termangu mengagumi keindahan itu. Ia baru berhenti mengagumi keindahan gua saat tiba di dasar gua yang curam.

Ia melangkah perlahan dengan meniti bebatuan di sela aliran air. Alas kakinya terendam semata kaki. Air di dalam gua seperti es, dingin sekali. Raden Sinjar mengerahkan tenaga dalamnya untuk mencegah hawa dingin membekukan kakinya. Cahaya lampu minyak menuntunnya hingga ke bawah. Sepeminum air, ia telah sampai di tempat tumbuhnya bunga ungu.

"Tolong aku, huks!" Di salah satu sudut gua, terlihat sesosok tubuh menyender ke dinding gua. Orang itu sepertinya sulit untuk bernafas.

"Ayo cepat pegang tanganku!" Raden Sinjar segera menghampiri si pengintai dan menarik tanggannya agar ia mampu berdiri. Dengan cekatan, remaja itu menotok tubuh si pengintai dan menggendongnya keluar gua.

Sependidih air, Raden Sinjar telah sampai di luar gua. Ia segera meletakkan tubuh si pengintai ke batu datar persis di mulut gua. Orang itu berpakaian hitam-hitam dan mengenakan cadar. Raden Sinjar segera membebaskan totokan di tubuhnya. Seketika si pengintai bergetar badannya.

"Cepat buka penutup wajahnya, Sinjar!" Putri Cinde memberi perintah.

"Baik, ibu!" Sekali tarik saja cadar hitam penutup wajah itu tersingkap. Bukan main terkejutnya ibu dan anak itu.

"Aih, engkau sudah besar Sinjar!" Si pengintai berbisik pelan, kemudian terkulai tak sadarkan diri.

"Ayah, Kakang!" Seru keduanya bersamaan.

"Cepat salurkan tenaga dalammu untuk menahan racunnya. Jangan sampai racun bunga ungu itu sampai ke jantungnya!" Putri Cinde berteriak seperti orang kalap. Tetapi Raden Sinjar bergeming. Dia justu tertawa terbahak-bahak melihat kepanikan ibunya.

"Mengapa engkau menertawakan ibu, Sinjar?" tanya sambil bersungut.

"Ibu, ibu. Coba ibu mau berpikir sedikit saja. Bagaimana mungkin ayah yang kebal terhadap segala jenis racun bisa terluka oleh racun bunga ungu?" tanya Sinjar seraya mengembangkan senyuman di bibirnya.

"Bangunlah, ayah. Jangan ayah permainkan kami yang sudah lama merindukan kedatanganmu!" seru Sinjar seraya memukul ayahnya.

Orang yang dipukul tetiba menggerakkan tubuhnya. Seketika pukulan Raden Sinjar menemui tempat kosong. Dengan sekali hentakan, orang berpakaian hitam-hitam itu melayang bersalto di udara. Ia kemudian mengembangkan kedua tangannya. Putri Cinde dan Raden Sinjar segera berlari menyambut kedatangan orang yang paling dikasihi itu. Ketiganya berpelukan erat. Ya, si pengintai itu adalah Raden Kuning.

"Bagaimana Kakang bisa sampai ke lembah Putri Cinde. Bukankah jalan masuk ke perkampungan kita sudah dijaga oleh ribuan prajurit musuh?"

"Sepandai-pandai musuh menjaga tempat ini, tentulah lebih pandai penghuninya toh. Aku menyusup ke kampung kita di muara melalui anak sungai dengan mengendarai perahu getek. Tentu saja mereka tidak tahu ada berapa banyak anak sungai kecil dan rawa yang berhubungan dengan jalan masuk ke perkampungan. Tadi aku sudah periksa di sana. Aku tidak menemukan penduduk di sana. Hanya ada kakek dan nenekmu di mushola. Aku tenang karena setelah kuamati, ternyata musuh tidak mengusik keduanya. Lalu aku segera menuju ke sini. Pastilah kalian mengungsi ke lembah Putri Cinde."

"Aih, syukurlah ternyata ayah yang menjadi pengintai itu. Pantas saja ayah bisa dengan mudah masuk ke dalam lembah ini. Tadinya aku khawatir bahwa musuh sudah menemukan tempat persembunyian kita."

"Itulah makanya ibu yakin bahwa pengintai itu orang sendiri."

"Hahaha....., ayah harus memberikan pelukan ulang untuk memberikan penghargaan atas perasaan ibu yang peka akan kehadiran ayah!" Raden Sinjar yang jenaka segera mengolok-ngolok ibunya.

Ketiga anak beranak itu tertawa berbarengan. Jika saja bulan malam itu bersinar terang, tentulah sinarnya akan redup oleh sinar yang dipancarkan oleh suami istri yang telah berpisah lebih dari dua belas purnama.

"Ayo, ceritakan kepada ayah mengapa kalian bisa ada di hutan larangan ini tengah malam gelap seperti sekarang!"

"Baik, ayah. Tetapi sebelumnya kami ingin mendengar ceritamu terlebih dahulu," potong Raden Sinjar. Ketiganya kemudian duduk di atas batu datar bercahayakan lampu minyak. Raden Kuning mengisahkan perjalanannya di Pulau Jawa.

(Bersambung)

Bagaimana Raden Kuning bisa sampai di Lembah Putri Cinde seorang diri. Dimanakah prajurit dan istrinya Putri Retno Wulan alias Putri Wuwu. Baca terus kelanjutan kisahnya ya.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu