Tumbang

750 41 2
                                    

“Tak, prak!” Parang besar yang tajam itu menghantam batang pohon Glatom Sakti. Kulit pohon tua itu pecah berantakan lepas dari batangnya dan menjadi serpihan kecil. Sebagian dari kulit pohon itu menyasar wajah Kedum. Segera ia menundukkan kepala sehingga serpihan kecil kulit kayu itu mengenai periuk yang melindungi kepalanya. Suaranya cukup nyaring terdengar hingga ke pinggir lapangan.

Melihat parang besarnya mampu menembus batang pohon, Kedum kembali mengayunkan besi tajam itu untuk yang kedua kalinya. Kembali kulit kayu terlepas dari induknya mental ke empat penjuru angin. Kali ini parang besarnya mampu menembus hingga ke batangnya. Makhluk raksasa yang sebelumnya terlihat dalam pandangan Kedum, tetiba raib. Yang ada dalam pandangannya saat itu hanyalah pohon biasa.

Anehnya ketika parangnya kembali menembus hingga ke batang kayu, dari sela-sela bekas bacokan parang itu keluar cairan kental berwarna merah kekuningan. Sekilas getah itu seperti getah pohon Damar, tetapi setelah diperhatikan secara seksama getah itu lebih mirip dengan darah. Kedum berkali-kali mengucap dzikir kepada Allah. Ia tak membiarkan hatinya dalam keadaan kosong.

Keyakinannya bertambah. Tiada satu pun makhluk di dunia ini yang mampu menanding kekuatan Sang Maha Pencipta. Hanya kepada-Nya lah manusia berserah diri dan memohon pertolongan. Ayat-ayat suci Al-Qur’an ia kumandangkan seiring ayunan parang yang menembus batang kayu Glatom Sakti. Kedum tak lagi mengatur akan kemanakah pohon besar itu tumbang. Ia hanya berkonsentrasi mengayunkan parang untuk menembus batang kayu besar itu.

“Hentikan, hentikan. Jika tidak aku akan membunuh diri!” Tetiba dari arah pinggir lapangan berlari seorang pemuda bertelanjang dada. Ia seperti orang gila berteriak-teriak sendiri. Ia berlari menuju pohon Glatom Sakti. Beberapa pemuda yang mengejarnya berhasil menangkap tubuh pemuda yang tengah kesurupan itu. Mereka bergulingan di tanah. Si pemuda yang kesurupan melakukan perlawanan.

“Hentikan, hentikan. Jangan menebang pohon itu. Jika tidak akan ada bencana besar yang melanda dusun ini!” tetiba dua pemuda yang berhasil menangkap pemuda pertama ikut tertular kesurupan. Tiga pemuda itu kemudian bergulingan menuju pohon Glatom Sakti. Melihat peristiwa itu, Kedum menghentikan ayunan parangnya. Ia tertegun menatap ke arah pemuda yang tengah bergulingan menuju tempatnya berdiri.

“Hei iblis yang bersemayam di pohon Glatom Sakti. Mereka bukanlah lawanmu, hadapilah aku!” tetiba tetua Panji berkelebat mengejar tiga pemuda yang masih bergulingan di lapangan. Sekali lompatan saja, ia telah berhasil menghadang para pemuda yang tengah dirasuki kekuatan setan itu.

“Hentikan, jangan halangi kami tua bangka.” Tiga pemuda itu melompat bangkit dan menyerang tetua Panji secara serabutan. Namun meskipun mereka memiliki kekuatan, tetapi mereka tetaplah bukan lawan yang seimbang bagi tetua Panji. Dengan satu gerakan saja, ketiga pemuda itu telah berhasil dilumpuhkan. Mereka jatuh dalam keadaan lemas dan tertotok.

“Ambilkan aku air minum!” Tetua Panji memberi perintah kepada warga yang kemudian berdatangan. Bergegas seorang pemuda mengambil secangkir air minum dan memberikannya kepada tetua Panji. Ia terpaksa menyibak kerumunan warga menonton tiga pemuda kesurupan itu dari dekat.

“Ini air minum yang engkau minta tetua.”

“Terimakasih, anak muda. Kau bantulah aku memegang kepala mereka.” Tetua Panji kemudian membacakan surah Al-Fatihah. Matanya terpejam pertanda ia tengah berkonsenterasi memanggil rasa.

Pemuda yang mengambilkan air minum langsung memegang kepala pemuda yang kerasukan dimulai dari pemuda yang pertama. Sesuai dengan perintah tetua Panji ia menegakkan kepala pemuda tersebut agar ia bisa diberikan seteguk air minum. Benar saja, selanjutnya dengan isyarat tangannya tetua Panji meminta mulut pemuda yang tengah kerasukan itu dibuka. Dengan cepat ia memberikan air minum masing-masing seteguk kepada tiga pemuda yang masih kerasukan tersebut. Benar saja, hanya sekedipan mata ketiganya terbangun dari mimpi buruknya.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now