RACUN BUNGA UNGU

776 42 4
                                    


"Aiih, apa yang terjadi denganmu, Kongkong. Tolong bantu aku!" Suara Raden Sinjar yang kencang seketika mengumpulkan warga. Mereka berdatangan dan segera membawa tubuh Tabib Yueren ke dalam rumah. Berita sakitnya Tabib Yueren segera menyebar sehingga di depan rumah yang ditempati Putri Cinde ramai berkumpul orang. Mereka bergantian membesuk ke dalam.

"Jangan obati aku. Berikan saja aku air minum." Tetiba Tabib Yu yang sebelumnya pingsan itu siuman. Bergegas Putri Cinde mengambilkan segelas air putih untuk orang yang sudah seperti orang tuanya sendiri itu. Ya, Hamnah Putri Cinde memang sangat dekat dengan sesepuh perkumpulan Li itu. Betapa panik ia saat melihat keadaan orang yang dikasihinya tersebut tergolek tak berdaya. Melihat betapa ibunya seperti orang yang bingung, Raden Sinjar segera menyusul ibunya ke dapur. Tak lama kemudian ia membawa kendi berisi air minum dan cangkir porselen bermotif ukiran bunga berwarna biru di atas tempayan.

"Ini minumlah, Kongkong!" Raden Sinjar segera menyuguhkan air putih dari gelas porselen. Tanpa bicara, orang tua itu menghabiskan isi gelas porselen itu. Wajahnya seketika memerah.

"Kalian mendekatlah kemari, aku ingin bicara!" Tabib Yu melambaikan tangannya kepada ibu dan anak yang memang sedari tadi berada di dekatnya.

"Sepertinya waktuku tak banyak lagi. Chun hua, alhamdulillah di usiaku yang telah senja ini, aku masih berkesempatan menurunkan kepandaianku kepada Raden Sinjar. Dengan begitu, legalah hatiku. Dalam keadaan perkumpulan kita yang seperti sekarang ini dan belum kembalinya suamimu, aku rasa Raden Sinjar dapat engkau andalkan untuk menjaga anggota perkumpulan kita. Sebelum aku pergi, ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan kepadamu, anakku Chun hua." Tabib Yu memanggil nama asli Putri Cinde.

"Ya, Laope." Putri Cinde menjawab sambil terisak. Kesedihan nampak kentara sekali di wajahnya.

"Ini tempat petunjuk penyimpanan buku pengobatan Fenghuang dari leluhur kita. Pelajarilah kitab itu, aku sangat yakin engkau dapat menguasainya. Tetapi untuk itu aku ingin engkau berjanji di hadapanku!" Tabib Yueren setengah memaksa. Ya, Putri Cinde memang selama ini terkenal mewarisi ilmu pengobatan dari tabib Yu. Namun kepergian Raden Kuning ke tanah Jawa membuatnya berhenti belajar ilmu pengobatan.

"Ya, Laope. Aku berjanji akan mempelajari kitab pengobatan Fenghuang."

"Hahahaha..... legalah hatiku." Suara tabib Yu seperti orang tersedak. Selepas ia tertawa, nafasnya tersengal-sengal. Raden Sinjar segera mendekatkan bibirnya ke telinga tabib Yueren. Ia melafazkan asma Allah untuk melepas kepergian orang yang sangat dihormati di perkumpulan Li itu.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Semua yang hidup pasti akan kembali kepada Allah!" Suara Raden Sinjar parau. Di pelupuk matanya menetes bulir-bulir air mata. Seketika suasana haru pecah dengan sedu sedang. Hamnah Putri Cinde bahkan terkulai lesu melihat tabib Yu telah tiada. Raden Sinjar terpaksa membawanya ke dalam kamar. Ia tidak ingin di masa pendudukan musuh itu ibunya yang merupakan pimpinan di perkumpulan mereka terlihat lemah.

Dengan cekatan Raden Sinjar memberikan instruksi kepada anggota perkumpulan Li untuk memproses pemakaman tabib Yu. Mereka segera memandikan jenazah tabib Yu dan mendirikan sholat jenazah. Proses pemakaman segera dilakukan. Sebagaimana keinginan tabib Yu, maka tubuhnya dimakamkan di dekat air laguna tempat bunga ungu beracun tumbuh. Raden Sinjar berkali-kali menguatkan hati ibunya agar ia tidak kembali jatuh pingsan.

"Ayolah ibu. Hari sudah hampir gelap. Para anggota perkumpulan tidak ada yang berani meninggalkan makam ini jika ibu masih berada di sini." Raden Sinjar kembali membujuk ibunya agar wanita cantik itu mau kembali pulang ke rumah. Setelah berkali-kali berbisik kepada ibunya, akhirnya Putri Cinde menganggukan kepala.

Raden Sinjar kemudian memapah tubuh ibunya yang sempoyongan agar tidak terjatuh ke tanah. Ya, para anggota perkumpulan sangat paham dengan kedekatan Putri Cinde dengan tabib Yu. Bahkan Putri Cinde disebut-sebut warga lebih dekat dengan tabib Yu ketimbang dengan ayahnya sendiri.

Setiba di rumah, adzan magrib berkumandang. Raden Sinjar tak tega meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Ia menunaikan sholat magrib dan sholat isya berjamaah malam itu dengan ibunya di dalam kamar. Suara jangkrik malam terdengar kencang ketika dua orang ibu dan anak itu berbicara.

"Ibu kita harus menunaikan janji ibu dengan Kongkong. Aku sendiri yang akan mengantar ibu ke tempat penyimpanan kitab obat. Mengingat setelah ini aku harus meninggalkan lembah Putri Cinde untuk mencari tahu keberadaan ayah dan Kongkong Li, maka urusan menunaikan janji itu tak bisa ditunda-tunda lagi." Raden Sinjar mengingatkan ibunya.

"Ya, Sinjar. Memang sebaiknya aku segera menemukan kitab Fenghuang. Tanpa kitab itu, maka engkau tidak boleh kemana-mana," jawab Putri Cinde.

"Aih, mengapa bisa begitu ibu. Adakah hal yang aku tidak ketahui?"

"Ya, Sinjar. Sebelum menurunkan ilmu Sinni Khat kepadamu, Laope meminta izin terlebih dahulu kepada ibu. Sebetulnya pengolahan tenaga dalam sebagai dasar dari jurus Amurkana memiliki pengaruh buruk untuk tubuhmu."

"Pengaruh buruk seperti apakah ibu?"

"Ia perlahan-lahan akan menggerogoti tenaga murnimu. Itulah sebabnya mengapa kita tidak pernah melihat Kongkongmu itu menggunakan jurus tersebut. Penggunaan jurus Amurkana yang dicontohkannya kepadamu tadilah yang mempercepat proses kepergian Kongkongmu. Ilmu itu belum sempurna. Namun beberapa bulan ini, Kongkongmu telah berhasil meramu bunga ungu beracun yang berada di balik air terjun, sebagai penangkalnya. Engkau belum merasakan pengaruh jurus pamungkas Sinni Khat itu karena sebelumnya pernah keracunan bunga ungu itu. Karena alasan itulah, ibu setuju Kongkongmu mewariskan jurus langka itu kepadamu."

"Bunga ungu beracun yang pernah hampir membunuhku saat aku kecil itu ibu?"

"Ya, anakku. Bunga ungu itulah yang ternyata dapat mencegah pengaruh buruk jurus Amurkana. Kitab Fenghuang yang dimaksudkan oleh Kongkongmu itu adalah petunjuk khusus untuk mengolah bunga ungu itu agar berkhasiat sebagai obat."

"Dimanakah Kongkong menyimpan kitab itu ibu?"

"Tidakkah engkau merasa heran mengapa Laope berwasiat agar ia dimakamkan di tempat sepi di laguna itu?"

"Ya ibu. Aku merasa sedikit aneh dengan wasiat kongkong itu."

"Itulah petunjuk bahwa betapa pentingnya bunga ungu itu untuk kita. Hingga di akhir hayatnya pun, Laope ingin menjaga tempat itu."

"Aih, baru mengerti aku sekarang ibu. Jadi jika aku tidak salah terka, maka kitab Fenghuang itu berada tak jauh dari makam Kongkong. Benarkah ibu?"

"Ya benar, anakku. Kitab itu ada di dalam gua kecil di balik air terjun."

"Hah? Di tempat bunga beracun itu tumbuh. Bagaimana kita dapat masuk dan tidak menghirup hawa racun ganasnya?"

"Saat ini, hanya engkaulah yang dapat masuk tanpa keracunan."

"Maksud ibu?"

"Sebagaimana penjelasan ibu tadi, maka racun bunga ungu dan tenaga dasar jurus Amurkana saling meniadakan. Orang yang menguasai jurus Amurkana tidak akan pernah teracuni oleh hawa bunga ungu."

"Aih, Kongkong meninggalkan warisan yang maha karya. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya!" Raden Sinjar terperanjat dengan penjelasan Putri Cinde. Tak disangkanya jika ilmu Sinni Khat yang baru dikuasainya memiliki keterkaitan dengan racun bunga ungu.

"Laope tadi meminta ibu untuk berjanji agar mau mempelajari kitab Fenghuang. Apakah engkau mengerti maksudnya?"

"Terus terang aku bingung dengan permintaan Kongkong tadi. Mengapa ibu harus berjanji seperti itu. Bukankah selama ini ibu memang secara tidak langsung telah menjadi murid Kongkong. Untuk apa lagi ibu harus berjanji seperti itu."

"Cobalah engkau berpikir, mengapa Laope meminta ibu berjanji seperti itu?" Putri Cinde malah balik bertanya kepada anaknya.

(Bersambung)

Apa yang menjadi latar belakang Tabib Yueren meminta agar Hamnah Putri Cinde berjanji? Baca terus kelanjutan kisahnya ya.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now