Telik sandi baru

1K 59 2
                                    

Ki Ageng Selamana memerintahkan Raden Kuning dan Rembalun kembali ke pesanggrahan. Orang nomor satu perguruan wanakerta itu menghadapi kedua muridnya yang duduk bersila di hadapannya. Baju hitam-hitam ciri khas wanakerta yang digunakan ketiganya menambah angker suasana di dalam pesanggrahan.

“Kyai Layang Bulan belum sempurna. Menggunakan kekuatannya saat ini sama dengan menyimpangkannya agar menjadi racun bagi pemiliknya. Ia akan merongrong tenagamu, Ngger!” Ki Ageng Selamana membuka kata dengan memberi petunjuk.

“Njih, guru. Lalu apa yang harus aku lakukan agar Kyai Layang Bulan sempurna?”

“Ini berhubungan dengan proses penciptaan. Garis keturunan Mpu Supa Mandrangi memang dikarunia kelebihan dalam bidang pandai besi. Tetapi harus diingat, kakangmu Rembalun belum sempurna menguasai kepandaiannya menempa besi. Terlebih konsentrasinya belajar di wanakerta ini adalah melakukan tirakat ilmu bayangan. Jadi, tentu saja penguasaannya atas penciptaan keris juga terabaikan!”

“Apa yang diutarakan guru, semuanya benar adanya Dimas Raden. Dalam hal penciptaan, Kyai Layang Bulan memang belum sempurna. Ada tirakat puasa yang harus dilakukan. Tetapi tirakat puasa itu bukanlah ditujukan untuk mencipta keris, tetapi sebagai bentuk takzim dan tunduk kita kepada Sang Maha Pencipta. Hanya ia yang bisa memberikan kesempurnaan. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya wajib berserah diri agar dalam proses mencipta benda akan mendapat ridho dari Sang Maha Tinggi.”

“Ya, kakang. Aku mahfum!”

“Kyai Layang Bulan adalah keris pertama yang aku buat di mana semua inti ilmu bayangan aku titipkan di dalamnya. Tubuh keris yang berbahan meteorit merespon negatif tenaga luar. Oleh karena itu, jika sering digunakan, Kyai Layang Bulan akan menjadi racun bagi tenagamu sebagaimana yang disampaikan oleh guru.” Rembalun mengakhiri katanya dengan menganggukkan kepalanya. Ia sepertinya sepaham dengan pandangan Ki Ageng Selamana.

“Bagaimana caranya agar Kyai Layang Bulan sempurna?”

“Tak ada cara lain. Engkau harus menguasai tenaga inti bayangan. Muridku Rembalun, tugasmu adalah mengajari adikmu ini bagaimana melakukan tirakat bayangan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan, itu tergantung bakat dan keseriusannya. Buatlah pesanggrahan khusus untuk adikmu, Raden Kuning agar ia bisa berkonsentrasi penuh menjalani lakonnya. Untuk menjalankan titahku ini, mintalah bantu seluruh murid perguruan wanakerta. Aku akan berkunjung sesekali melihat kemajuan latihan kalian.”

“Kakang Rembalun, bagaimana proses penguasaan tenaga bayangan. Bisakah latihannya dipercepat mengingat aku memiliki tugas lain di pulau sebrang?” Raden Kuning tak mampu menahan penasarannya. Pernyataan Ki Ageng Selamana tentang lamanya berlatih tenaga inti bayangan membuatnya khawatir akan terlalu lama di perantauan.

“Cepat atau lambatnya engkau menguasainya tergantung bakatmu. Pada intinya tenaga bayangan hanya bisa dilatih dengan cara menerima transfer tenaga. Aku sendiri nanti yang akan memberikan sebagian tenaga bayangan ke dalam tubuhmu nanti. Setelah itu, engkau sendirilah yang akan melakukan tirakat bayangan. Selama empat puluh hari lebih, engkau diwajibkan menahan hawa nafsumu, berpuasa. Puasamu bisa mengikuti sunah puasa Kanjeng Gusti Nabi Daud.”

“Njih, kakang, Kapan kita bisa memulai latihan?”

“Sesuai petunjuk guru, kita akan membangun pesanggrahan terlebih dahulu. Ada tanah kosong di sebelah rumahku. Kita akan membangun pesanggrahanmu di sana.”

Kedua kakak beradik seperguruan itu kemudian nyuwun pamit. Mereka kemudian mengumpulkan seluruh murid utama wanakerta di pesanggrahan Rembalun. Pekerjaan membuat pesanggrahan baru akan dimulai. Seluruh murid perguruan wanakerta gotong royong mengolah kayu simpanan yang akan digunakan sebagai bahan utnuk rumah kayu yang akan ditempati Raden Kuning. Tak butuh waktu lama, pesanggrahan baru itu sudah mulai terlihat bentuknya. Dalam satu pekan, pesanggrahan Raden Kuning sudah selesai dibangun dan langsung ditempati oleh pemiliknya.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now