Adu Siasat

781 37 2
                                    

Lanjutan 21

“Wut, crash!”

Punggawa Wijamanggala melihat dengan mata kepalanya sendiri jika keris yang dilemparkannya itu menusuk dada sebelah kiri pemuda Sinjar. Seketika dada lawannya yang masih belia itu berlumuran darah. Wijamanggala tersenyum senang.

“Nah baru saja aku berhasil melukaimu dengan menggunakan siasat. Dengan kecerdikan dan mengatur rencana dengan matang, aku bisa melukaimu dengan mudah. Siasat diperlukan dalam peperangan.” Wijamanggala bicara dengan nada pongah.

“Membokong lawan dengan cara tidak ksatria seperti tadi kau bilang siasat. Aih, sungguh tak layak dipelajari ilmu berperang itu, paman.” Sinjar memegang keris yang menancap di dadanya.

“Ksatria tidak ada dalam perang, yang ada bagaimana kita bisa menang.” Wijamanggala memotong pembicaraan lawannya.

“Tak patut, tak patut. Tetapi siasatmu itu tidak berlaku di sini, paman!” Pemuda Sinjar menarik keris yang menancap di dadanya. Sontak darah bercucuran dari bekas luka menganga. Namun betapa kagetnya, Wijamanggala. Berbarengan terlepasnya keris dari dada pemuda Sinjar, lelaki tampan itu raib dari hadapannya. Seketika mereka yang menonton pertarungan menolehkan kepalanya ke segala arah mencari kemana raibnya pemuda belia itu.

“Hei, engkau menggunakan sihir. Jangan engkau permainkan kami orang tua ini.” Wijamanggala segera mengusap wajah dengan kedua tangannya. Ia memperkuat mata batin untuk menghilangkan pengaruh ilusi yang tengah dimainkan lawan.

Matanya tetiba melihat pemuda Sinjar tengah duduk di atas tangga masjid. Di sebelah pemuda itu terlihat Kakek Huanglo. Keduanya terlihat sedang bercengkrama seolah tengah menertawakan kebodohan Wijamanggala.

“Merogoh sukma sejati. Bagaimana mungkin anak ingusan sepertimu menguasai ilmu itu?” Wijamanggala bergumam sendiri. Warna wajahnya berubah-ubah kadang merah kadang pias pertanda ia tengah terguncang batinnya.

“Teruskan pelajaranmu tentang siasat dalam perang itu, Paman. Sungguh aku sedari tadi mendengarkannya!” Pemuda Sinjar terkekeh. Suaranya yang kecil terdengar jelas meskipun dari kejauhan.

“Sungguh di atas langit ada langit. Aku mengaku kalah cerdik. Bagaimana mungkin aku yang bodoh ini mengajarimu tentang siasat. Tolong isi batinku yang dahaga ini dengan ilmu kehidupan Kakek Huanglo.” Wijamanggala menyadari kesalahannya. Ia kemudian menjura hormat kepada kakek dan cucu dihadapannya.

“Memang tak salah dugaanku. Engkau adalah orang baik, paman. Tetapi mengapa kalian bisa ditugaskan untuk merampas tempat ini. Apa salah Palembang dengan kalian sehingga kalian datang dengan ribuan bala tentara untuk menyerang kami?” Pemuda Sinjar segera bangkit dari duduknya dan membalas penghormatan Wijamanggala.

“Panjang ceritanya, Sinjar. Aku hanya prajurit berpangkat punggawa tak kuasa menolak rencana perang ini. Tetapi yakinlah engkau, jika di dalam hatiku sungguh aku tak pernah setuju dengan rencana perang ini!” Wijamanggala terlihat sedih. Ia kemudian berjalan mendekat menuju pintu depan masjid.

Ketiganya kemudian masuk ke dalam masjid. Sementara seluruh prajurit pengawal Wijamanggala berjaga di depan. Kakek Huanglo mempersilakan lelaki paruh baya berpakaian perang itu duduk. Mereka kembali terlibat perbincangan serius.

“Cucuku ini hanya memastikan apakah engkau adalah benar orang baik atau bukan. Ia tak ingin melihat kakeknya yang sudah renta ini celaka. Setelah kuyakinkan bahwa kalian tidak mengganggu kakek dan neneknya disini, tentu saja dirinya tak menganggap engkau sebagai musuh yang berbahaya lagi.” Kakek Huanglo menjelaskan perihal kedatangan Sinjar yang langsung membuat onar.

“Terimakasih, Kakek Huanglo sudah mau menerima kami di sini. Dengan segala kerendahan hati, saya sekali lagi mewakili ribuan prajurit mengucapkan permohonan maaf sekiranya kedatangan kami dengan cara paksa ini telah mengganggu keheningan di kampung ini. Sekali lagi sebagaimana yang telah aku utarakan tadi, kami hanyalah prajurit yang menjalankan titah sultan. Tak ada permusuhan pribadi kami dengan orang-orang di sini,” jawab Wijamanggala.

“Sungguh kami mengerti posisi kalian di sini, paman. Namun satu yang mengganjal di hatiku, mengapa kalian menduduki kampung kami yang berada jauh dari pusat kota Palembang. Jika tujuan kalian menggempur Palembang, mengapa kami rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa ini harus ikut menanggungnya?” Pemuda Sinjar bertanya. Terlihat mimik wajahnya serius.

“Sebelum kedatangan kami di kampung ini sudah ada beberapa prajurit telik sandi yang datang melakukan pengawasan di sepanjang jalur menuju Palembang. Berdasarkan hasil pengawasan para telik sandi itulah, maka Sultan Banten mengirim pasukannya untuk menduduki wilayah Muara Sungsang ini. Bukankah kampung kalian ini adalah pintu masuk menuju Sungai Musi?”

“Ya, paman. Apalah artinya merebut pintu masuk, sedangkan isinya tidak kalian kuasai?”

“Engkau belum punya pengalaman bertempur, Sinjar. Setelah kami menguasai pintu masuk, bukankah tugas menguasai isi rumah lebih mudah?”

“Aku kurang sepaham dengan anggapan itu, paman. Bukankah Muara itu adalah wilayah paling hilir dari sebuah sungai. Kalian tidak bisa meracuni hulu dari hilir?”

“Ya, tetapi muara ini tempat keluar masuk bala bantuan. Itulah yang ingin kami kontrol?”

“Aih, rupanya tempat ini hanya seperti pos jaga bagi rencana kalian. Lalu perang sesungguhnya benarkan akan terjadi di daratan sana?” Pemuda Sinjar menunjuk ke arah Selatan.

“Engkau cukup cerdas menangkap arah pembicaraanku. Tetapi janganlah engkau mudah untuk menyimpulkan anak muda.” Wijamanggala tersenyum kecil. Aura wajahnya menyiratkan bahwa lelaki itu seorang yang bijaksana.

“Lalu, mengapa paman terlihat lunak dengan kakek Huanglo?”

“Bukankah Islam membuat kita bersaudara?” Pertanyaan Sinjar dijawab dengan pertanyaan. Pemuda tampan itu mengangguk perlahan. Sejenak ia terdiam seperti berupaya mencerna pernyataan dari pimpinan pasukan kesultanan Banten yang kini duduk berhadapan dengannya.

“Aku masih penasaran, bagaimana remaja seumuran engkau ini telah mampu menguasai ilmu merogoh sukma, Sinjar?” Pertanyaan Wijamanggala itu membuat pemuda Sinjar tersadar dari lamunannya.

“Aih rupanya paman masih penasaran dengan adu siasat di depan tadi. Aku mau menjelaskannya kepada paman, tetapi apa yang bisa paman tawarkan kepadaku untuk hal itu?”

“Sungguh engkau pemuda yang cerdas Sinjar. Baiklah sebutkan apa yang engkau inginkan.”

“Aku ingin keselamatan Kakek Huanglo dan Nyai Jhiwyen engkau jamin. Lalu, engkau harus berjanji menceritakan semua perihal kesultanan Banten dan perihal apa yang menjadi alasan kalian hendak menyerang keraton Palembang!” Suara Sinjar terdengar tegas. Matanya menyorot tajam menunggu respon dari lawan bicaranya.

“Baik, aku akan memenuhi semua permintaanmu itu. Sekarang jelaskan kepadaku tentang merogoh sukma sejati.” Tanpa pikir panjang, Wijamanggala memenuhi syarat yang diminta Sinjar. Seketika wajah Sinjar terlihat dipenuhi aura suka cita.

“Baik, paman. Engkau tamparlah aku sekarang!” Sinjar membuat permintaan aneh. Tak ingin berdebat dengan permintaan itu, Wijamanggala segera menampar pipi pemuda Sinjar.

“Plak, aduh!” Wijamanggala mengaduh kesakitan. Ternyata ia tamparan keras yang mengayun dari tangan kanannya mendarat di pipinya sendiri.

“Tampar lagi sekuat tenaga, Paman!” Sinjar kembali meminta Wijamanggala menampar pipinya. Untuk kedua kalinya Wijamanggala mengaduh kesakitan.

“Sihir apa yang engkau lakukan kepadaku, Sinjar!”

“Itu bukan sihir, paman. Inilah sangkan paraning dumadi!”

(Bersambung)

Bagaimana kelanjutan kisahnya. Baca terus dan jangan lupa komen serta follow

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang