Dempo

796 47 7
                                    

“Namaku Panji. Aku tinggal di atas gunung sana,” ujar lelaki sepuh itu sambil menunjuk ke arah Gunung Dempo.

“Apakah kamu adalah orang yang dimaksud Kakang Arya Belanga dapat mengobati penyakitku ini, tuan?” Kedum mengulurkan tangannya dan keduanya bersalaman.

“Tadinya aku berencana mendaki ke atas sana, tetapi tetiba langkah kakiku mengarahkan ke sini. Itu artinya kita memang berjodoh. Siapa namamu dan dari mana kamu berasal?”

“Namaku Kedum. Aku murid padepokan Tinggi Panular di dusun Lubuk Rukam.”

“Coba aku lihat tanganmu.” Orang bernama Panji itu memegang tangan Punggawa Kedum. “Bagaimana kamu bisa mengidap penyakit gatal ini?” tanyanya lagi.

“Aku diracun orang. Sesuai petunjuk yang aku terima, di tempat inilah aku akan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi guruku. Jika memang itu kiranya adalah kamu, maka terimalah aku sebagai muridmu, tuan.”

“Aih, penyakit kulitmu ini sangat parah. Hampir di seluruh tubuhmu muncul bintik merah. Di sana sini kulitmu mengelupas dan terluka akibat garukan. Bagaimana aku yang orang biasa ini dapat mengobati lukamu jika engkau yang memiliki kepandaian tinggi saja tak mampu mengobati dirimu sendiri?” tanya Panji dengan mata menyelidik. Dalam pandangannya, orang yang kini berada di hadapannya itu bukan orang biasa. Beberapa kali Panji melirik ke arah buntalan yang dibawanya. Pastilah di dalam buntalan itu terdapat senjata untuk menjaga diri.

“Terimalah aku sebagai muridmu, tuan. Jika pun penyakit gatalku ini tak bisa diobati, aku ingin belajar ilmu agama darimu,” tukas Kedum. Sorot matanya yang tulus membuat lawan bicaranya mulai menaruh simpati kepadanya.

“Baiklah, jika itu memang keinginanmu. Aku akan terima kamu menjadi muridku dengan syarat. Yang pertama engkau harus mampu mendaki Gunung Dempo hingga ke puncaknya. Selanjutnya di puncak gunung engkau harus bisa mengambil kayu api dan kayu panjang umur. Itu ujian pertama yang harus engkau lakukan. Temuilah aku kembali di sini selepas engkau berhasil menunaikan syarat itu!”

“Baik, tuan. Besok sehabis sholat subuh aku akan langsung mendaki ke puncak.” Kedum menundukkan kepala pertanda takzim. Ketika ia mengangkat kepalanya, Tuan Panji tak ada lagi di hadapannya. Kedum takjub, bagaimana mungkin orang tua itu mampu melakukannya. Lamunannya tetiba terpotong dengan datangnya suara berbisik di telinganya.

“Akan banyak rintangan yang akan engkau temui besok, Kedum. Kuncinya adalah pasrahkan dirimu hanya kepada Allah!” Kedum menoleh ke arah sumber suara dari belakang tubuhnya. Tetapi matanya tak mampu menemukan orang yang baru saja berbisik kepadanya.

“Aih, sungguh di atas langit ada langit.”

Ia kemudian mencari ranting pohon. Sependidih air, di tempat itu sudah diterangi oleh perapian. Udara dingin khas pegunungan membuat cuaca malam yang dingin itu semakin dingin. Waktu sholat Isya tiba, Kedum kembali menuju sungai kecil untuk bersuci. Ia menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim menutup malamnya dengan membaca kalimat tauhid dan tasbih, memuji kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta.

Pagi menjelang, kegelapan perlahan-lahan berganti terang. Kabut masih terlihat menghalangi pandangan mata. Rerimbun dedaunan dari pokok pohon Tanjung mengandung titik air yang sebentar lagi akan berubah menjadi embun. Di kejauhan nampak kokoh tegak menjulang Gunung Dempo dengan jutaan kisah di dalamnya.

Kisah tentang pemuda sakti bernama Serunting yang kemudian dikenal sebagai si Pahit Lidah yang beradu kesaktian dengan si Mata Empat. Keduanya bertarung hingga akhirnya sama-sama menghembuskan nafas terakhirnya. Kisah itu menempatkan Gunung Dempo sebagai gunung larangan bagi suku Komering. Si Pahit Lidah mengharamkan keturunan si Mata Empat yang dipercaya merupakan leluhur suku Komering dan Lampung untuk mendaki Gunung Dempo. Berbagai kisah mitos itu dipercaya oleh masyarakat setempat dan diteladani sebagai warisan peninggalan leluhur yang tidak hanya diyakini kebenarannya tetapi juga menambah cerita mitos tentang Gunung Dempo.

“Siiiit, siiit!” Suara melengking tinggi itu membuyarkan lamunan Kedum. Segera ia melompat dari duduknya dan melolos keris di tangan kanannya. Kuda-kudanya terpasang kokoh siaga menyambut kedatangan musuh. Namun sependidih air, tidak ada satu pun orang yang melintas di tempatnya berdiri dan suara seperti orang bersiulan itu kembali terdengar. Kali ini suaranya bersahutan.

“Suara apakah itu?” Kedum berkata-kata sendiri. Ia menengadah ke atas dan mengalihkan pandangan matanya ke pokok kayu Tanjung yang berada di sebalah kanannya. Ketika itu sinar matahari pagi membuat embun di dedaunan memantulkan cahaya menyilaukan mata. Pandangan matanya akhirnya menemukan sumber suara siulan itu. Ternyata suara itu berasal dari kicauan burung yang berwarna hitam mengkilap.

“Hei itu burung Ciung Mungkal. Pertanda apa ini, burung langka itu menampakkan diri di tempat ini?” Kedum bergumam sendiri.

Di pokok dahan yang tinggi itu terlihat sepasang burung Ciung Mungkal. Burung itu seukuran jengkal manusia. Bulu burung jantan dominan warna hitam mengkilat dengan mahkota, garis sayap dan pangkal ekor berwarna biru. Sedangkan burung betina berwarna lebih pudar dari yang jantan, dengan pipi dan tenggorokan berwarna kekuningan krem. Kicauan burung langka itu seperti orang bersiul.

“Ya Allah, ya Rabb. Mudahkanlah perjalanan hamba.” Kedum menengadahkan kedua tangannya berdoa.

Perjalanan menuju puncak Gunung Dempo bukanlah perkara mudah. Terlebih di pagi hari itu, kabut tebal menghalangi pandangan mata. Kedum melepaskan ikat kudanya. Ia membiarkan kuda itu liar agar bisa mencari makanan. Perjalanannya akan memakan waktu yang tak bisa ditentukan. Terlebih perjalanan itu bukanlah perjalanan biasa.

“Carilah makanan di sekitar sini. Jangan engkau pergi jauh-jauh dari sini. Tunggulah tuanmu kembali,” ujarnya seraya menepuk-nepuk punggung kuda.

Bergegas disambarnya buntalan pakaian yang digantung di pokok pohon. Tanpa menoleh ke belakang, perjalanan spirituil itu dimulai. Asap kabut memang menjadi rintangan utama perjalanannya. Semakin ke atas, semakin tebal asap kabul yang menghadang. Meskipun ia dapat merasakan bahwa di bawah sana matahari sudah meninggi, tetapi di puncak Gunung Dempo cuaca masih terhalang kabut.

Kedum mengira-ngira, mungkin ia sudah separuh jalan. Tetiba di depannya membentang asap kabut tebal. Berbeda dengan asap kabut yang ditemui sebelumnya, asap kabut kali ini sangat tebal. Ia ragu apakah di depan sana adalah jalan yang dituju, ataukah malah terbentang jurang menganga.

“Aum!” Di tengah kebingungan itu terdengar suara auman. Kedum bersiap. Pastilah di depan sana tengah melintas harimau ganas.

(Bersambung)

Readers Raden Kuning, jangan lupa follow akun penulis ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now