Pertarungan hidup mati

1K 39 0
                                    

Dari sela-sela bibir Raden Kuning menetes darah segar. Akibat adu tenaga itu, ia menderita luka dalam ringan. Segera dihimpunnya tenaga semesta di dada dan secara bersamaan ia menghimpun tenaga Sembilang. Dengan cara menggabungkan kedua tenaga itu, Raden Kuning dengan cepat dapat menyembuhkan luka dalamnya. Selanjutnya ia menatap tajam musuhnya yang telah bersiap menyerangnya dengan pukulan ganas.

“Pada kesempatan pertama tadi engkau sengaja mengurangi tenaga dalammu agar aku tertipu. Ternyata pada kesempatan kedua engkau mengeluarkan seluruh tenagamu. Engkau memang lawan tangguh, Cupat.” Meski kesal karena tertipu, Raden Kuning tak kuasa memuji kepandaian lawan.

“Hahahaha….., jangan engkau banyak komentar. Terimalah pukulanku selanjutnya, 𝘬𝘪𝘯𝘢𝘳𝘢𝘮 𝘦𝘬.”

Mpu Sanca menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Nafasnya terdengar berat. Dari kedua telinganya keluar asap putih. Pada pertemuan terakhir, Raden Kuning menerima jurus pukulan lawan dengan jurus 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘢𝘬 𝘫𝘦𝘳𝘰𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱. Namun kali ini, Raden Kuning tak lagi mau bersiasat. Ia terlihat berkonsentrasi untuk menghadang dengan keras dilawan keras.

Pilihan Raden Kuning cukup aneh memang. Meskipun sebelumnya kalah tenaga dengan lawan, Raden Kuning malah terlihat tidak gentar menyambut pukulan lawan. Ia pun merubah jurusnya. Kedua matanya dipejamkan. Ia berkonsentrasi menyambut pukulan musuh. Tetapi ketika pukulan lawan hampir sampai ke tubuhnya, ia melompat mundur ke belakang. Bersamaan dengan itu, Raden Kuning membuka matanya kemudian memutar telunjuk kanan searah jarum jam sebanyak lima putaran. Raden Kuning menarik tangannya merapat ke bahu, dan dengan sekuat tenaga ia menunjuk ke arah pukulan lawan.

“Terimalah jurus langka dari bumi Sriwijaya, Mantra Tunjuk!”  Raden Kuning menghardik lawannya.

Hebat sekali pengaruh suara yang dikirim Raden Kuning. Prajurit yang menonton pertarungan itu hatinya tergetar oleh aroma gaib. Bulu kuduk mereka berdiri hanya dengan mendengar suara Raden Kuning. Ya, jurus Mantra Tunjuk memang berfungsi juga untuk mengacaukan pikiran lawan.

“Dar.” Kedua jurus pukulan beradu. Kali ini Mpu Sanca yang terkejut bukan kepalang. Tenaga lawan meningkat pesat. Jika sebelumnya ia berhasil melukai lawan dengan tenaga dalamnya, kali ini akibat beradu pukulan dengan Raden Kuning, tubuhnyalah yang terdorong tiga langkah ke belakang. Dari sela bibirnya terlihat darah segar. Kali ini Mpu Sanca yang terjebak beradu tenaga dengan musuhnya.

“Aih, engkau ternyata juga menyimpan tenaga dalammu. Engkau menggunakan cara serupa untuk menjebakku. Baiklah anak muda, aku tak akan lagi bersiasat, mengingat engkau adalah lawan yang tangguh dan cerdas.”

Mpu Sanca memanfaatkan waktunya bicara dengan mengobati luka dalamnya. Tubuhnya bergoyang ke kiri ke kanan seperti ular. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. Dengan masih bersidekap tangannya ditusukkan ke kiri lalu ke kanan kemudian ia mengempos tubuhnya menusuk ke arah lawan. Luar biasa angin pukulannya dapat dirasakan Raden Kuning hingga membuat rambutnya bergoyang. Jurus ini belum pernah dilihat oleh Raden Kuning. Wajah pemuda tampan itu berkerut. Sepertinya ia tengah menakar kekuatan jurus lawan.

“Terimalah jurusku ini, Kuning. Jurus ini kuberi nama Ratapan Sanca Merindu.”

Meski awalnya terlihat ragu, Raden Kuning akhirnya memilih menangkal jurus lawan dengan jurus yang baru dipelajarinya dari Pangeran Arya Mataram. Ia memasang kuda-kuda. Ya, jurus yang dipersiapkannya itu adalah jurus pamungkas Manut Gusti. Setelah mengempos nafasnya, kali ini hatinya lebih mantap. Tak nampak keraguan di wajahnya meskipun harus berjual beli pukulan menggunakan jurus yang belum dikuasai benar olehnya itu. Jurus Manut Gusti terdiri dari lima gerakan. Raden Kuning memasang kuda-kuda gerakan pertama. Kedua tangannya dibuka dan diangkat sejajar telinga.  Itu adalah gerakan takbir. Kedua tangan terbuka itu lalu didorongnya menyambut jurus lawan. Angin kencang yang sebelumnya menerpa wajah Raden Kuning, kali ini berbalik arah menggoyangkan sorban lawan.

Melihat kedahsyatan angin pukulan lawan, Mpu Sanca yang sebelumnya berupaya menusuk lawan dengan kedua tangannya yang dirapatkan seperti ular, tetiba merubah gerakannya dengan melengos ke samping kiri. Ternyata dari sela-sela jarinya menyembur asap berwarna putih bersih. Asap itu beracun. Ya, Mpu dari Hindi ini memang mengandalkan racun-racun ganas untuk melumpuhkan lawan.

Raden Kuning terlihat tenang menghadapi racun ganas lawan. Ia menahan nafasnya dan melanjutkan serangannya dengan melakukan gerakan kedua. Tangannya yang sebelumnya didorong ke depan dialihkannya. Tangan kiri menempel di dada, sedangkan tangan kanannya menumpang di atas tangan kiri. Ya, itu adalah gerakan sidekap. Ajaib, aura tubuh Raden Kuning nampak memancarkan cahaya terang berwarna kuning. Ini akibat pengaruh jurus Manut Gusti. Tenaga dalam semesta dan sembilang menyatu, memancarkan aura tubuh Raden Kuning. Anehnya, dengan muncul aura kuning itu, tubuh Raden Kuning seperti dilindungi selaput kasat mata. Asap beracun lawan tak mampu menyentuh pernafasannya.

“Aih, pesat sekali kemajuan ilmu kepandaianmu, anak muda. Tetapi jangan engkau besar kepala, lihatlah jurus tuan besarmu ini.” Mpu Sanca kembali mengerahkan kekuatan batinnya untuk melemahkan musuh.

Raden Kuning yang kembali diserang melalui mantra sihir Mpu Sanca nampak tenang. Ia melanjutkan dengan gerakan ketiga. Kedua tangannya diangkat ke atas diikuti oleh tubuhnya membungkuk dengan tangan menopang di lutut. Belum sempat lawannya menganalisa gerakannya, Raden Kuning langsung menjatuhkan kepalanya ke bawah dengan melakukan gerakan salto ke depan dengan kedua tangan terbuka. Mereka yang menonton pertarungan itu merasakan keanehan jurus yang digunakan Raden Kuning. Alih-alih memukul lawan, Raden Kuning justru melakukan sujud ke bumi.

Tetapi apa yang terlihat kasat mata itu tak seperti yang terlihat. Jurus Manut Gusti pada intinya memang menggunakan kekuatan bumi untuk menghimpun tenaga semesta sebelum melepaskan pukulan. Selanjutnya Raden Kuning bangun dari sujudnya dan melakukan gerakan pamungkas dengan bersimpuh di tanah.Tangannya yang sebelumnya menempel ke tanah menyerap kekuatan bumi, dengan kekuatan tenaga semesta ia kemudian mendorong tenaga dalamnya yang telah penuh sesak di dada itu ke arah lawan. Sepertinya Raden Kuning tak punya pilihan lain selain mengadu jiwa.

Orang yang diserang tetiba menjatuhkan dirinya seperti orang bersemedi. Kedua tangannya membentuk gerakan ular yang bergerak liar ke kiri dan ke kanan. Mpu Sanca lalu memejamkan matanya . Ia kembali merapal mantra. Ketika pukulan lawan tiba, Mpu Sanca menapaki pukulan lawan dengan tangan terbuka sehingga kedua pukulan itu beradu.

Tak terdengar ledakan dahsyat akibat beradunya pukulan maut. Tangan mereka saling menempel, mendorong dengan tenaga terkuat yang mereka miliki. Jurus Manut Gusti memendarkan aura kuning dari tubuh prajurit pilih tanding asal keraton Djipang itu. Sedangkan aura hitam gelap memendar dari tubuh Mpu Sanca.

Tenaga Mpu Sanca bergulung-gulung datang berupaya merangsek pertahanan lawan. Licik sekali apa yang dilakukan Mpu Sanca. Ketika dalam situasi antara hidup dan mati itu, dari mulutnya menyembur asap berwarna hitam pekat. Tanpa dapat dicegah, asap beracun ganas itu menyerang Raden Kuning dari jarak dekat.

“Aih, Raden Kuning. Licik sekali Mpu Sanca itu. Ia telah berbuat curang, biarlah aku membantumu, Kakang. Orang jahat seperti dia tak pantas mendapat pertarungan yang adil.” Pangeran Sekar Tanjung menjerit tertahan. Ia langsung memasang kuda-kuda untuk memukul lawan dengan jurus pamungkasnya, Glagah Maruta. Seketika hawa di sekitar lokasi berubah panas. Pangeran Sekar Tanjung bersiap untuk melepas serangan terhadap Mpu Bengawan Sanca.

Namun tetiba ada hawa dingin yang menempel di pundaknya. Hawa dingin itu menekan tenaga panas dari pukulan Glagah Maruta. Pangeran Sekar Tanjung refleks menoleh ke arah sampingnya. Ia terkejut ketika dilihatnya orang yang menekan pundaknya itu adalah ayahandanya sendiri, Kanjeng Gusti Raden Haryo Balewot.

“Jangan engkau menurunkan tangan jahat apalagi dengan cara membokong lawan. Adu kepandaian kedua orang sakti itu berlangsung adil. Tak mungkin kita mengharapkan pertandingan hidup mati berlangsung jujur. Masing-masing pihak pasti akan mengeluarkan semua kepandaiannya termasuk di dalamnya tipu daya.” Raden Balewot berbisik di telinga putranya.

“Njih, Gusti.” Pangeran Sekar Tanjung mengangguk malu. Selanjutnya terlihat Raden Haryo Balewot kembali membisikkan sesuatu di telinga putranya. Tak lama kemudian, kedua pemimpin Tuban itu berkelabat melesat masuk ke dalam keraton.

(Bersambung)89

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang