Kepergian Sang Kyai

982 44 0
                                    

Meskipun terkejut bukan main, Raden Kuning selanjutnya mahfum bahwa dirinya tiada daya dan upaya lain selain pasrah kepada sang Ilahi. Ia memejamkan matanya ketika pokok kayu yang tumbang itu akan menghantam tubuhnya.

“Blast!” Pokok kayu menghantam labirin putih kemudian menghilang dari pandangan. Ajaib, Raden Kuning tidak merasakan sakit. Hantaman pokok kayu tumbang itu justru membuat labirin putih yang menyelubungi tubuhnya retak seribu. Labirin yang menyelubungi tubuh Raden Kuning perlahan-lahan pecah berkeping-keping. Tubuhnya memancarkan aura kuning yang  mendorong labirin putih jatuh ke tanah.

“Aih, aku terbebas dari labirin ini.” Raden Kuning melompat dari tidurnya. Ketika kakinya menginjak bumi, ia kembali dihantam cahaya kuning pekat yang membuat tubuhnya seperti daun diterjang angin puyuh.

“Berikan ia minum!” Suara laki-laki sepuh itu amat akrab  di telinga Raden Kuning. Belum sempat otaknya berpikir tentang siapa pemilik suara itu, satu gelas air putih telah menempel di bibirnya. Sejuknya air itu membilas dahaga. Perlahan-lahan ia membuka mata. Di hadapannya nampak duduk dengan tenang Eyang Kyai. Sementara di sampingnya duduk Soka Lulung dan Putri Wuwu yang baru saja memberikan segelas air.

“Apakah gerangan yang terjadi kepadaku, Eyang Kyai. Tetiba aku berpindah-pindah dimensi. Dalam keadaan itu aku melihat ada Eyang Kyai dan guruku Ki Ageng Selamana. Tubuhku tak berdaya karena diselubungi labirin hijau. Labirin itu kemudian berubah warna menjadi putih dan akhirnya aku ditolong oleh hantaman pokok kayu tumbang.”

“Engkau baru saja selesai 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘰𝘯, Ngger. Itu adalah sebuah perjalanan spiritual dalam rangka mencari kebenaran. Beruntunglah engkau, dalam 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘰𝘯 itu dirimu mampu melewatinya dengan baik. Pastinya 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘰𝘯 tersebut akan mempengaruhi jiwa dan akalmu tentang konsep hubungan manusia dengan sang pencipta.” Eyang Kyai mengelus janggutnya perlahan.

“Berapa lama aku tak sadarkan diri?” tanya Raden Kuning.

“Engkau telah tertidur selama tiga hari, Kakang. Aku cemas sekali melihat keadaanmu yang seperti mati suri,” jelas Putri Wuwu.

“Aih, lama sekali aku tak sadarkan diri. Pantas saja perutku keroncongan.” Raden Kuning menutup herannya dengan tertawa. Bergegas istrinya yang cantik meninggalkan mereka. Ia segera kembali dengan beberapa murid Eyang Kyai yang membantunya membawa makanan.

“Ayo, Senopati Soka Lulung. Temani aku menghabiskan makanan ini.” Raden Kuning menyantap hidangan dengan lahap.

Soka Lulung dan Putri Wuwu menemani Raden Kuning menyantap kudapan. Meskipun Eyang Kyai tidak ikut makan, tetapi mereka diminta tetap menemaninya di ruang petilasan itu. Pagi sudah hampir berganti siang, ketika mereka kembali mendengarkan wasiat dari Eyang Kyai.

“Kepada kalian bertiga, aku titipkan Tuban kepada kalian. Jika sampai waktunya keris kyai Layon membuat takdirnya di singgasana Tuban, tugas kalian adalah merekatkan kembali persaudaraan di antara penerus tahta Tuban. Jangan sampai tercipta dendam di antara keturunanku di masa mendatang. Senopati Soka Lulung, wasiat ini aku khususkan kepadamu. Jika engkau sendirian tak mampu meredam imbas takdir Kyai Layon, engkau susullah Raden Kuning dan Putri Wuwu di Palembang.”

“Njih, Eyang Kyai.” Ketiganya menjawab serentak.

“Nuwun sewu, Eyang Kyai. Apakah keris Kyai Layon ini tetap berada di pesanggrahan Kawedar ataukah harus aku kembalikan ke keraton Tuban?” tanya Soka Lulung.

“Takdir baik dan takdir buruk adalah suatu hal yang tak mungkin kita elakkan. Semuanya adalah ketetapan sang pencipta. Bawalah kembali Kyai Layon. Simpan baik-baik ia di keraton Tuban. Sampaikan kepada Adipati Balewot bahwa itu adalah wasiatku.”

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now