Penyebar wabah

833 37 3
                                    

Arya Belanga segera memejamkan matanya. Melalui mata batinnya lelaki bijaksana itu kembali melihat bahwa pengaruh sirap yang membuat tujuh anak lumpuh layu mendadak itu paling besar kekuatannya ada pada anak yang tak sadarkan diri. Bergegas ia melarang anak yang baru diobatinya itu untuk menginjak bumi. Seketika lolongan dari enam anak lainnya terhenti.

“Anak yang kita obati ini terhubung dengan anak lainnya. Racun sirap paling kuat ada pada tubuhnya. Meskipun ia kini sudah terlihat sehat, tetapi jika yang lain belum diobati, maka ia belum bisa menginjak bumi.” Arya Belanga bergumam sendiri.

“Jika begitu kakang Riye, bagaimana cara mengobati yang lainnya. Apakah menggunakan cara yang sama dengan media air?” tanya Kedum.

“Sebentar Kedum. Aku ingin mencari petunjuk terlebih dahulu.” Arya Belanga segera memegang kaki anak yang sirapnya baru saja diobati itu. Ia terlihat menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya membuka mata.

“Rendam kaki anak ini dengan air. Lalu basuh kakinya. Air basuhan itu minumkan kepada anak-anak yang masih terpengaruh sirap.” Cara pengobatan Arya Belanga sangat aneh. Namun mereka yang berada di balai dusun itu tak berani membantah. Bergegas dua orang lelaki paruh baya mengambil air dan membasuh kaki anak yang baru selesai diobati. Tanpa banyak bertanya mereka berdua segera menciduk air bilasan kaki dengan cangkir.

“Ya, cepatlah kalian berikan air minum itu kepada mereka disertai dengan membaca lafaz surah Al-Fatihah!” Arya Belanga memberi perintah sekaligus mengingatkan mereka agar semua bentuk pengobatan yang dilakukannya itu tak akan membuahkan hasil jika tanpa pertolongan dari Allah. Begitulah cara ia berdakwah selalu mengingatkan dari hal-hal yang sepele. Pada masa itu Islam telah berkembang dengan cukup pesat sehingga hampir seluruh kawula di pedalaman Palembang telah menjadi muslim dan muslimah. Hal itu tidak terlepas dari dakwah rutin yang diwajibkan bagi seluruh murid padepokan Tinggi Panular. Paling sedikit dua kali dalam satu tahun. Mereka melakukan itikaf di masjid-masjid yang ada di perkampungan sembari melakukan dakwah dari dusun ke dusun.

Ajaib, setelah minum air basuhan kaki, enam anak lainnya langsung sembuh. Berawal dari jari-jari kaki yang bisa digerakkan, selanjutnya anak-anak itu bisa berdiri, berjalan dan berlari seperti semula. Melihat kesembuhan itu, kepala dusun yang mendampingi proses pengobatan dari awal hingga selesai tetiba menjatuhkan diri berlutut. Ia menyampaikan ucapan terimakasih kepada dua orang lelaki gagah yang sengaja datang ke dusun mereka untuk menyelamatkan anak-anak yang diracuni orang jahat.

“Aku dikde pacak bekate lain kecuali ucapan terimekaseh ngok tuan behdue. Hanya Allah yang pacak malas budi kamu ni. Kalu dek ngatik kamu, entah mak mane nasib anak-anak kami, Tuan Rye Belange dan Tuan Kedum!” Suara kepala dusun terdengar serak tanda bahwa ia terharu. Seketika puluhan orang yang berada di balai dusun menjatuhkan diri berlutut mengikuti kepala dusun mereka. Seketika pecah isak tangis dari para wanita yang terharu karena baru saja anak-anak mereka sembuh dari kelumpuhan.

Arya Belanga segera menghampiri kepala dusun dan membangunkannya dari tanah. Ia kemudian merangkul lelaki paruh baya itu seraya menepuk-nepuk pundaknya. Nampak bahwa Arya Belanga sangat terharu dengan tindakan para warga dusun itu.

“Janganlah kalian mengagung-agungkan manusia lebih dari kodratnya. Nanti manusia itu akan jumawa. Kalian semua segera bangun, jangan bersujud dengan sesama manusia. Lakukanlah sujud syukur mengucap terimakasih kepada Allah!” Kembali Arya Belanga mengingatkan kawula.

Selanjutnya tujuh orang anak yang baru sembuh dari sirap lumpuh layu mendadak, dimintai keterangan. Kepala dusun menggamit orang tua para korban dan bertanya kepada mereka. Meskipun awalnya mereka terlihat masih trauma dengan kejadian yang hampir merenggut nyawa mereka, namun setelah pertanyaan serupa dilontarkan oleh orang tuanya, anak-anak itu akhirnya mau juga bicara.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora