Putih dan abangan

1.9K 53 4
                                    

Eyang Kyai hanya mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Raden Haryo Balewot menceritakan peristiwa yang baru terjadi di Tuban. Pada beberapa bagian termasuk urusan dengan Pajang dan Djipang, orang tua sepuh itu seperti tak mau ambil perduli. Tetapi matanya merespon tanpa berkedip ketika Raden Haryo Balewot mengutarakan akan mengambil Raden Kuning sebagai suami keponakannya Putri Retno Wulan.

“Ah, pandanganmu jauh ke depan anakku. Tak salah engkau mengikat anak muda itu dengan perkawinan. Ia akan menjadi benteng pertahanan Tuban di masa depan. Hanya satu saja permintaanku, tanamkanlah kepadanya bahwa huru-hara di Djipang baru-baru ini menjadi pertanda Islam Puritan telah digeser oleh kelompok abangan. Masya Allah gusti, maafkan hambamu ini yang pernah tersesat dalam upaya mencari kebenaran-Mu.”

Suara Eyang Kyai nampak parau. Terlihat kesedihan di raut wajahnya yang telah keriput. Tatap matanya kosong. Arah pandangannya nanar ke depan. Tanpa disadari, Eyang Kyai termenung membayangkan kondisi masyarakat Jawa pasca tewasnya Arya Penangsang.

Ya, penyebaran agama Islam di tanah Jawa di masa kejayaan Kerajaan Demak, memang banyak mengalami pasang-surut. Meskipun secara kuantitas pemeluk agama Islam terus bertambah, namun secara kualitas justru terjadi pergeseran nilai-nilai. Aliran kepercayaan yang sudah turun temurun diyakini leluhur orang Jawa, bercampur dengan syariat agama Islam. Kelompok-kelompok itu masih menggunakan tata cara lama dalam kesehariannya. Eyang Kyai pernah juga memiliki pendapat bahwa mencampurkan syariat dengan budaya akan memudahkan proses syiar Islam.

Penyebaran agama Islam oleh Walisongo banyak menggunakan pendekatan budaya dan sufisme. Kendati ada beberapa wali yang cenderung ketat dalam menegakkan syariat, tetapi sikap asli orang Jawa yang toleran membuat percampuran budaya tersebut tak dapat dihindarkan. Sunan Kudus dan Sunan Giri yang ketat dalam mengajarkan syariat Islam saja dalam beberapa fatwanya terkesan lentur dengan budaya lokal.

Sunan Kudus yang merupakan guru dari Arya Penangsang pernah berfatwa bahwa masyarakat Kudus dilarang menyembelih sapi untuk menghormati masyarakat beragama Hindu. Kebijakan ini berlatar belakang toleransi sesama umat beragama. Dalam perkembangannya, kebijakan itu justru berbaur dengan budaya lokal sehingga orang Kudus dikenal tidak mau menyembelih sapi tetapi menggantinya dengan menyembelih kerbau.

Di masa awal syiarnya, Eyang Kyai termasuk salah satu penyebar agama Islam yang melakukan pendekatan budaya dan sufisme yang kemudian melahirkan akulturasi budaya. Dari proses itulah, maka asimilasi budaya Nusantara dengan nilai-nilai Islam berkembang dengan pesat. Setelah Islam berkembang, pendekatan politik dan peperangan juga turut mempengaruhi perilaku umat.

Ajaran lama juga menyebabkan terjadinya sinkretisme Islam di Jawa. Ujar-ujar tepo seliro atau tasamuh menempatkan sikap menghormati terhadap budaya lain di tingkat atas. Secara turun temurun orang Jawa dikenal lebih mengedepankan sikap dan etika ketika berbaur dengan orang lain yang berbeda warna kulit, agama dan keyakinan.

Selanjutnya, sebelum Islam mengakar di tanah Jawa, budaya lokal juga telah dipengaruhi turun temurun oleh agama Hindu dan Budha. Akibatnya masyarakat setempat masih mempraktekkan tradisi-tradisi lama dan berbaur dengan ajaran Islam.

Raden Kuning yang baru mendapat petunjuk melatih tenaga Kawedar dari Eyang Kyai pun meskipun teguh memegang syariat Islam, ternyata dalam menekuni olah kanuragan masih menggunakan falsafah Jawa. Ilmu pamungkas yang dipelajarinya pun dinamai Sangkan Paraning Dumadi.

“Sangkan Paraning Dumadi berisi tentang bagaimana cara manusia menyikapi kehidupan. Dalam bahasa Jawa kuno, Sangkan berarti asal muasal, Paran adalah tujuan, dan Dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta. Falsafah itupun masih melekat di prajurit pilih tandingnya Keraton Djipang. Hmmm.... Kemenangan Pajang atas konflik dengan Djipang adalah kemenangan kelompok abangan atas kelompok puritan.” Eyang Kyai tiba-tiba menggumamkan ilmu pamungkas Raden Kuning.

“Maafkan saya Eyang Kyai, ada hubungan apakah falsafah Jawa itu dengan rencanaku?” Raden Haryo Balewot tak bisa menutupi rasa penasarannya.

“Raden Kuning pun masih menamai ilmu kanuragannya dengan penamaan falsafah Jawa. Tidak ada yang salah sebenarnya, tetapi aku khawatir ia nantinya salah langkah dalam menyempurnakan petunjuk yang telah aku turunkan kepadanya. Haryo Balewot, aku restui keinginanmu soal perjodohan dengan Putri Wulan. Tetapi engkau harus meminta Raden Kuning mempelajari dan mengamalkan buku yang baru selesai kutulis ini.”

Raden Haryo Balewot menerima gulungan kertas kayu. Amanat itu harus disampaikannya kepada Raden Kuning sebagai syarat tambahan atas restu Eyang Kyai. Meskipun ia tidak seberapa mengerti apa makna dari semua perkataan orang tua sepuh yang sangat dihormatinya itu, tetapi yang tertanam dibenaknya bahwa amanah ini adalah urusan yang sangat penting dan menyangkut nasib kawula di masa mendatang. Setelah menerima amanah itu, Raden Haryo Balewot undur diri.

“Oh ya, malam ini engkau akan mendapatkan kejutan!” Tandas Eyang Kyai.

(Bersambung)

Vote for Djipang

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora