Tanah baru, Ogan

1.1K 49 0
                                    

Dalam perjalanan Suma Banding menawarkan dua tempat di pedalaman yang bisa dibuka menjadi wilayah baru. Yang pertama di sepanjang sungai Komering dan yang kedua di sepanjang sungai Ogan. Pangeran Arya Mataram langsung tertarik dengan pilihan yang kedua.

“Kita akan menelusuri sungai Ogan. Jika di sepanjang sungai itu ada daratan yang cocok untuk dibuka menjadi perkampungan baru, maka kita akan mendarat di sana,” ujarnya.

Matahari hampir kembali ke peraduan saat rombongan pelarian dari keraton Djipang itu melihat sebuah pohon Rukam yang tumbuh di pinggir sungai. Daratannya membentuk tanjung yang cukup unik untuk daratan sungai.

“Turunkan sekoci, telusurilah Tanjung itu. Sepertinya tempat ini cocok untuk kita bermukim!” Perintah Pangeran Arya Mataram.

Bujang Jawa dan Punggawa Kedum segera meninjau lokasi yang dimaksud. Mereka membawa serta dua orang prajurit. Ternyata pangkal dan ujung tanjung itu membentuk lingkaran yang jika tidak cermat dapat membuat perahu yang melintas  berputar-putar di situ-situ saja. Setelah mencatat keunikan tanjung yang ditumbuhi pohon Rukam itu, Bujang Jawa dan Punggawa Kedum kembali ke kapal Jung. Mereka melaporkan perihal tanjung yang unik itu. Pangeran Arya Mataram mendengarkan laporan prajuritnya dengan mata berbinar.

“Besok kita akan babat alas di tanjung itu. Di sanalah kita akan tinggal dan bermukim. Mengingat senja hampir padam, besok kita gotong royong membangun rumah untuk kita tinggal. Kedum, kau pimpinlah sebagian prajurit kita untuk mencari kayu di daratan, Bujang Jawa yang memiliki keahlian pertukangan kayu dapat memimpin pembuatan rumah yang akan kita tempati kelak.”

Malam itu Pangeran Arya Mataram tak lelap tidur. Perasaannya campur aduk. Ia tak pernah membayangkan akan sampai di pedalaman Palembang dan membangun tempat tinggal. Namun dalam hatinya pewaris tahta keraton Djipang itu sudah bertekad untuk menjauhi urusan pemerintahan dan akan memilih jalan dakwah untuk penyebaran agama Islam di tempat barunya itu.

Keesokan harinya, seluruh penumpang kapal bekerja guyub untuk mewujudkan berdirinya pemukiman baru di pinggir sungai Ogan. Babat alas dipimpin langsung oleh Pangeran Arya Mataram sehingga membuat seluruh pengikutnya bersemangat. Dalam waktu singkat, secara bertahap berdiri rumah-rumah panggung dari kayu pilihan. Bujang Jawa mendahulukan membuat rumah panggung besar dari kayu yang akan ditempati oleh keluarga Pangeran Arya Mataram dan istrinya Mimi Aisyah. Bentuk rumah kayu itu dibuat mirip dengan rumah kayu yang ada di Djipang. Bahan baku kayunya sebagian diambil dari kapal Jung yang dirombak menjadi kapal kecil. Sisa kayu dari kapal Jung milik keraton Djipang itu semuanya dilekatkan di rumah utama yang ditempati keluarga Pangeran Arya Mataram. Tak ada lagi peninggalan Djipang yang terlihat oleh mata. Semuanya telah disamarkan dengan tujuan untuk menghilangkan jejak pelarian mereka. Pangeran Arya Mataram mengagumi hasil kerja Bujang Jawa yang berhasil membangun rumah kayu mewah di atas tanah tak bertuan yang sebelumnya alas itu.

“Ini sebuah karya besarmu, Bujang Jawa. Engkau tidak saja hebat dalam pertempuran, tetapi juga hebat dalam seni perkayuan. Aku yakin di suatu saat nanti keberadaan kita di sini akan dapat diketahui oleh anak cucu keturunan kita lewat hasil karya rumah buatanmu ini. Pastilah rakyat Djipang tidak akan lupa dengan lambang bunga mawar kelopak sembilan adalah tanda kebesaran keraton Djipang yang hanya boleh dibuat di tempat tinggal keluarga keraton.” Pangeran Arya Mataram tersenyum sumringah. Meskipun ukiran kayu di rumah panggung yang dibuat Bujang Jawa tidak sehalus buatan ahli pertukangan kayu dari Demak, tetapi ukiran rumah kayu buatannya tak kalah dengan ukiran yang pernah dilihat Pangeran Arya Mataram di Demak maupun di keraton-keraton lain di Jawa. Rumah buatan Bujang Jawa itu hanya kurang serutan akhir dengan menggunakan penghalus kayu yang bahannya tidak tersedia di sungai Ogan.

Dalam hitungan dua purnama, rumah-rumah kayu itu sudah berdiri megah di pangkal tanjung sungai Ogan. Penghuninya adalah orang-orang pilihan pelarian dari keraton Demak Djipang yang berbahasa lembut dan berpenampilan menarik. Berita tentang kedatangan orang-orang baru yang bermukim di tanjung yang ada di sisi sungai Ogan tersebar dari mulut ke mulut. Ternyata tempat pohon Rukam besar yang menarik perhatian Pangeran Arya Mataram itu adalah lubuk yang ditempati banyak ikan besar. Tempat itu menjadi salah satu tujuan nelayan setempat untuk mencari ikan. Mereka yang datang mencari ikan dikejutkan dengan berdirinya pemukiman baru tak jauh dari lubuk itu. Apalagi penduduk yang bermukim di sana berbeda dengan penduduk lokal baik dari penampilan maupun dari tutur kata mereka yang halus. Bahasa sehari-hari yang digunakan pun berbeda dengan bahasa penduduk di sana. Kampung yang baru dibuat itu langsung membuat penduduk di sekitar sungai Ogan tertarik untuk bergabung. Apalagi Pangeran Arya Mataram sangat membuka diri untuk warga di sana untuk ikut berbaur bersama mereka. Pangeran Arya Mataram kemudian memberi nama kampung mereka dengan nama Lubuk Rukam yang berarti Lubuk yang banyak berisi ikan yang ditumbuhi pohon Rukam.

“Kampung kita ini diberi nama Lubuk Rukam. Dan tanjung tempat rumah mereka berdiri diberi nama Tanjung Asa yang berarti Tanjung Harapan." Demikian Pangeran Arya Mataram mengumumkan nama kampung barunya itu kepada seluruh penghuni kampung dan warga sekitar yang ikut diundang.

Ya, untuk peresmian kampung Lubuk Rukam, ia mengundang  penduduk setempat yang telah lebih dahulu bermukim di sepanjang Sungai Ogan. Dalam kesempatan itu, Pangeran Arya Mataram juga mensyiarkan ajaran Islam kepada penduduk yang tinggal di sepanjang sungai Ogan yang ketika itu umumnya memeluk kepercayaan nenek moyang. Ada juga beberapa diantaranya yang telah memeluk agama Buddha sisa peninggalan kejayaan kerajaan Sriwijaya.

Pangeran Arya Mataram hanya memberitahukan namanya depannya saja, Arya kepada penduduk lokal. Hal itu dilakukan untuk menyamarkan identitasnya. Jika ada yang bertanya asal-usul mereka, mereka kompak menjawab bahwa sebelum pindah ke Lubuk Rukam mereka berasal dari kerajaan Demak.

Tibalah saatnya menyantap hidangan, Pangeran Arya Mataram menyuguhkan nasi dari padi yang telah dimasak sisa bekal mereka selama dalam pelarian. Tempat nasi itu adalah sebuah belanga besar yang berbahan baku tanah liat. Keanehan terjadi saat itu. Warga setempat yang belum merasakan enaknya nasi, dengan lahap menyantap nasi putih dan lauk pauk yang telah disiapkan. Anehnya, nasi dalam belanga itu tak pernah habis meskipun telah berkali-kali di kurangi.
“Aih, ini ajaib sekali, tuan. Karena keajaiban ini izinkan kami memanggil namamu dengan gelar Arya Belanga. Engkau juga kami angkat sebagai pemimpin sekaligus guru kami. Terimalah kami semua sebagai muridmu dan ajari kami tentang agama Islam.” Salah satu penduduk lokal yang belakang diketahui bernama Nate Dise mengajak teman-temannya bersujud di depan Arya belanga agar diterima sebagai murid.

Sejak saat itulah nama pewaris tahta Djipang itu berubah menjadi Arya Belanga. Karena kepandaiannya mengambil hati, masyarakat sekitar akhirnya mengikuti ajaran agama Islam. Sedikit demi sedikit Arya Belanga menanamkan nilai-nilai ke-Islaman dengan mengajarkan ajaran yang didapatnya langsung dari Sunan Kudus. Ia juga terus mempelajari buku suluk Kawedar yang diberikan oleh Eyang Kyai dari Tuban yang berisi filsafat kehidupan.

Punggawa Kedum selalu mendampingi junjungannya Pangeran Arya Mataram yang kini telah berubah menjadi orang biasa. Mereka juga mengajarkan cara bercocok tanam, menanam padi, umbi-umbian dan sayuran yang bibitnya dibawa dari Jawa.

Tidak berhenti di situ saja, Arya Belanga beserta pengikutnya rajin menjelajah hingga ke pedalaman untuk menyampaikan syiar tentang Islam dan cara bercocok tanam. Mereka bahkan banyak sekali menangkap perompak yang bersembunyi di perairan sungai Komering dan menjadikan mereka pemeluk agama Islam.

Arya Belanga kemudian memerintahkan kepada Bujang Jawa dan Suma Banding untuk kembali ke Palembang. Mereka berdua mendapat tugas membantu perjuangan Ki Gede Ing Suro untuk menguasai dan mendirikan lagi kadipaten Palembang. Meskipun berat hati, Bujang Jawa dan Suma banding akhirnya meninggalkan kampung Lubuk Rukam untuk kembali ke Palembang menghimpun kekuatanan pasukan perang.

(Bersambung)
Jangan lupa vote ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang