Keris Bayangan

961 39 2
                                    

Air seperti dicurahkan dari langit. Di saat yang sama, perapian berisi bara itu tengah bertugas melebur telur besi. Namun ketika Rangga Balun panik karena hujan pasti akan memadamkan api, keanehan terjadi. Telur besi yang tengah dipanggang di atas bara api, tetiba berpendar cahaya. Sinarnya seperti membentuk labirin yang tidak dapat ditembus oleh air hujan.

“Telur besi melindungi dirinya. Bahkan air hujan tak mampu menyentuh perapian. Fenomena apa ini. Sulit sekali diterima akal sehat!” Rempa Balin berseru. Ia dan mereka yang berada di sana takjub.

Di dalam pesanggrahan, Rembalun baru saja menyelesaikan tirakatnya. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukan lelaki aneh itu di dalam rumah. Mereka tidak diperkenankan untuk mengintip aktivitas yang dilakukan olehnya. Selanjutnya ia menuruni anak tangga di belakang rumah. Rembalun mengamati hujan yang mulai reda. Sependidih air, ia menuju perapian.

“Kalian semua menyingkir dari perapian. Aku akan bekerja!” Suaranya terdengar mentereng. Semua yang disana termasuk Raden Kuning segera menjauh dari perapian.

“Trang, trang!” Suara besi pemukul memekakkan telinga. Rembalun seolah tak perduli dengan sekelilingnya. Matanya fokus menyelesaikan tugasnya sebagai pandai besi. Perlahan tapi pasti, telur besi mulai terurai menjadi lempengan. Rembalun terlihat mahir sekali membentuk lempengan besi itu hingga membentuk sebilah keris. Tenaganya yang kuat membuat proses menempa besi yang keras itu menjadi terlihat mudah.

Suara besi pemukul masih terdengar hingga tengah malam. Rangga Balun kulu-kilir di tempat itu. Ia beberapa kali mendekat sambil membawa kendi minuman. Tetapi Rembalun seperti tidak melihat kehadiran adiknya itu. Ia terus menenggelamkan konsentrasinya di perapian.

“Kakang, minumlah dulu." Rangga Balun akhirnya berani bicara. Tetapi suaranya seperti tenggelam dalam pukulan besi yang diayunkan oleh tangan kekar Rembalun. Lempengan besi itu di mata Rangga Balun lebih besar dari keris biasa. Benar saja, untuk ukuran sebilah keris, lempengan besi yang masih merah karena terpanggang bara api itu lebih besar dari yang biasa mereka lihat.

Menjelang subuh, Rembalun menyelesaikan pekerjaannya. Ia mendinginkan besi yang baru ditempa itu dengan mencelupkan ke dalam air. Raden Kuning yang sedari tadi tidak beranjak dari tempat duduknya seperti menghembuskan nafas lega. Dalam hatinya ia memperkirakan jika keris itu pastilah lebih dari sembilan luk.

“Keris yang tengah ditempa kakang Rembalun itu lebih besar dari keris Jawa. Menurut perkiraanku luknya akan bisa mencapai tiga belas luk.” Raden Kuning setengah berbisik bicara dengan Rempa Balin. Ia tidak berani bersuara keras karena khawatir mengganggu konsentrasi Rembalun.

“Ya, Raden. Keris itu terlihat sangat besar. Pamornya sudah terlihat meskipun pembuatannya belum selesai,” jawab Rempa Balin.

Rembalun meminta mereka semua masuk ke dalam rumahnya. Ia sendiri yang menjadi imam sholat subuh di dalam rumah yang penuh dengan ukiran kayu itu. Setelah menunaikan sholat berjamaah, Rembalun menugaskan mereka untuk membaca ayat-ayat suci . Sementara dirinya melanjutkan proses pembuatan keris.  Dari dalam bilik di rumah itu, Rembalun mengambil gagang keris. Raden Kuning takjub melihat gagang keris berkepala burung ternyata telah siap dipasangkan dengan tubuh keris. Dalam pandangannya ukiran kepala burung yang akan menjadi gagang keris itu mirip sekali dengan kepala burung elang raksasa yang ditemuinya dalam dimensi bayangan.

“Aih, mirip sekali gagang keris itu dengan burung elang raksasa yang menyerangku.” Tanpa dapat ditahan, Raden Kuning akhirnya angkat bicara.

“Ya, benar sekali, Dimas Raden. Aku memahat kayu hitam dengan menggunakan cetakan lilin sebagai pedoman. Semoga ini tidak melenceng jauh dari bentuk aslinya.” Rembalun akhirnya buka suara.

“Tidak kakang. Di mataku bentuknya amat mirip dengan elang raksasa yang kutemui!” seru Raden Kuning.

Setelah itu tak terdengar lagi mereka bicara. Rangga Balun bergantian dengan Rempa Balin melantunkan ayat-ayat suci. Bangau Jijen bertugas menyiapkan semua kebutuhan. Raden Kuning sesekali ikut melantunkan ayat-ayat suci.

Dengan hati-hati, Rembalun memasangkan tubuh keris dengan gagangnya. Ketika kedua bagian keris itu bersatu, Raden Kuning melihat pamor keris membuat suasana di dalam rumah kayu berubah magis. Rembalun kemudian mengeluarkan potongan kayu hitam yang telah dibuat menjadi dua bagian menyerupai warangka. Benar saja, ukurannya sangat tepat dengan badan keris. Dengan cekatan ia merakit kayu hitam itu menjadi warangka.

Pekerjaan membuat keris itu dilakukan tanpa terputus. Hingga tak terasa matahari telah tenggelam di orbitnya. Malam kembali datang. Raden Kuning melihat bahwa keris yang akan diserahkan kepadanya itu hampir selesai dibuat. Setelah mereka menunaikan sholat isya, Rembalun memanggil namanya.

“Dimas Raden Kuning. Keris bayangan akan segera kuserahkan kepadamu. Aku hanya berharap engkau dapat merawatnya dengan baik. Di tanganmu aku yakin jika nantinya keris bayangan akan bermanfaat bagi orang banyak,” ujar Rembalun seraya memegang keris bayangan.

“Ya, kakang. Insya Allah aku akan menjaga keris bayangan dan mempergunakannya untuk kepentingan umat. Doakan agar aku tetap istiqomah,” jawab Raden Kuning.

“Aku percaya kepadamu. Dan, aku yakin guru juga memiliki pendapat yang sama denganku. Kebijaksanaan beliau pastilah akan membuat penglihatannya akan dirimu tidak akan salah. Terimalah keris ini!”

“Baik, kakang.”

Raden Kuning menerima keris bayangan dengan tangan kanannya. Namun betapa terkejutnya ia ketika melolos keris itu dari warangkanya, penglihatannya berbayang. Satu persatu orang yang berada di sekitarnya seperti raib ditiup angin.

“Aih, keanehan apalagi sekarang yang kualami!” Raden Kuning dilanda kebingungan. Setelah memegang keris, ia tetiba terlempar jauh dari tempat itu. Semua berubah bentuk. Selanjutnya ia merasakan kepalanya berdenyut hebat.

“Bangunlah, Ngger. Tirakat matimu telah selesai!” Suara Ki Ageng Selamana seolah menyadarkannya dari lelap tidurnya.

“Ada dimanakah, aku. Apakah saat ini aku masih bermimpi, ataukah sekarang ini adalah alam nyata?”

“Alhamdulilllah engkau telah sadar, Dimas Raden. Jangan dulu banyak bicara. Tubuhmu masih lemah setelah dua pekan dalam keadaan mati suri.” Suara itu adalah kepunyaan Rembalun. Raden Kuning membuka matanya dan melihat bahwa dirinya masih berada di rumah gurunya Ki Ageng Selamana.

“Ooh, ternyata aku masih di sini. Aku bermimpi diserang burung raksasa. Setelah berhasil mengambil telurnya, guru datang menolongku. Dan, kakang Rembalun membuatkanku sebilah keris yang besar dari telur burung itu. Syukurlah ternyata hanya mimpi!” Raden Kuning seperti meracau.

“Yang kau maksudkan apakah keris ini, Dimas Raden?” Rembalun mengeluarkan sebilah keris besar dari balik surjannya.

(Bersambung)

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang