Ngerogoh Sukma Sejati

1K 42 0
                                    

“Mohon ampun, Yang Mulia. Izinkan aku melaporkan peristiwa yang terjadi di keraton Tuban kepada Eyang Kyai. Juga perihal membelotnya Mpu Bengawan Sanca yang kini menculik dimas Ngangsar.” Putri Wuwu meminta izin pamannya. Meski mengkhawatirkan kesehatan Raden Kuning yang kini bersemedi mengatur pernafasan, namun putri cantik itu lebih mengkhawatirkan keselamatan adik sepupunya Pangeran Ngangsar yang diculik Mpu Sanca.

“Baiknya memang kita melaporkan perihal ini langsung kepada Eyang Kyai. Hanya engkau yang bisa mengganggu tapa beliau Putri Wuwu. Memang sudah seharusnya Eyang Kyai tahu peristiwa ini. Pangeran Sekar Tanjung, kalian berdua segeralah menghadap beliau. Prajurit segera siapkan kuda terbaik!” Raden Balewot memberi restu.

Kedua kakak beradik itu langsung membedal kudanya menuju Selatan. Pesanggrahan Kawedar berada di Selatan kotaraja. Meskipun jaraknya tidak jauh, tetapi mengingat lokasi kediaman Eyang Kyai itu ada di pinggiran kota, maka mereka membutuhkan kuda agar dapat segera tiba di sana. Dua kuda terbaik itu segera meninggalkan halaman keraton Tuban.

Sependidih air, mereka berdua telah tiba di Pesanggrahan Kawedar. Tak nampak perubahan di pesanggrahan itu. Para murid yang mengabdi kepada Eyang Kyai nampak melakukan aktivitas seperti biasa. Mereka segera menyambut kedatangan dua petinggi keraton Tuban itu. Keduanya segera melompat turun dari pelana kuda dan memberi salam.

“Apa gerangan yang mengantarkan kedua pangeran dan putri Tuban ke tempat kami. Jika itu berkaitan dengan guru, mohon maaf kami tidak bisa mengantar. Beliau sudah berpesan agar tidak lagi diganggu dengan urusan dunia.” Salah seorang murid Eyang Kyai menyambut kedatangan tamunya.

“Kami harus segera melapor kepada Eyang Kyai. Di kotaraja baru saja terjadi pemberontakan. Pangeran Ngangsar dibawa lari oleh murid Eyang Kyai yang bernama Mpu Sanca.” Putri Wuwu menekan suaranya agar si murid mau mengantar mereka menghadap Eyang Kyai.

“Mohon maaf, Putri. Kami tak berani mengantarkan engkau.” Suara lelaki paruh baya itu terdengar tegas. Pangeran Sekar Tanjung yang melihat gelagat tak baik itu wajahnya langsung berkerut. Ia khawatir Putri Wuwu yang terkenal keras kepala itu akan melabrak murid Eyang Kyai.

“Aku mengerti engkau hanya menjalankan perintah dari Eyang. Tetapi lihatlah plakat ini. Apakah engkau juga masih bersikeras tidak mau mengantarkan aku?” Putri Wuwu mengeluarkan logo bertuliskan Kawedar. Hanya dua orang yang mendapat plakat itu langsung dari Eyang Kyai. Yang pertama adalah Raden Kuning dan yang kedua Putri Wuwu.

“Ampunkan saya, Putri. Saya tak berani lagi menolak keinginan putri karena plakat itu juga mewakili perintah guru. Ayok kalian berdua ikuti saya.” Sang murid segera melunak melihat tamunya menunjukkan plakat pemberian Eyang Kyai.

Mereka masuk ke dalam pesanggrahan dan berbelak-belok mengikuti jalan setapak hingga akhirnya berhenti di sebuah rumah yang tidak seberapa besar. Rumah berbahan kayu itu dihiasi ukiran khas Tuban. Ukiran di pintu rumah merupakan ukiran kaligrafi beraksara Arab yang dihaluskan dengan pelitur. Sang murid hanya mengantarkan mereka hingga depan rumah. Selanjutnya ia meninggalkan mereka berdua di sana.

“Assalamualaikum. Maafkan kelancangan kami Eyang. Aku Putri Wuwu cucumu dan turut bersamaku, Pangeran Sekar Tanjung. Kami minta izinmu agar bisa menghadap.” Putri Wuwu mengucapkan salam dengan mengerahkan tenaga kawedar. Dengan cara itu, maka pesan suaranya akan langsung didengar oleh Eyang Kyai yang telah semakin sepuh. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara berderit pintu yang didorong dari dalam.

“Wa alaikum salam. Silakan masuk cucuku. Pasti ada hal yang sangat penting yang membuat kalian berdua memaksa menemuiku.” Suara itu adalah suara Eyang Kyai yang dikirimkan dari dalam rumah. Meskipun pintu terbuka, Eyang Kyai tak terlihat keluar dari rumah kayu itu. Putri Wuwu mengajak Pangeran Sekar Tanjung untuk bergegas masuk ke dalam.

Keduanya melihat Eyang Kyai tengah bersemedi di tengah ruangan. Tubuhnya yang sudah sepuh itu nampak duduk mematung dengan mata tertutup. Pangeran Sekar Tanjung segera terkesima dengan kepandaian ilmu tokoh yang tersohor di tanah Jawa itu. Bagaimana mungkin dengan mata tertutup ia mampu membuka pintu rumah dan mengirimkan suara. Tentunya hanya orang-orang pilihan saja yang bisa melakukannya. Kedua mata Eyang Kyai kemudian terbuka dan dengan anggukkan kepalanya ia meminta tamunya untuk duduk di hadapannya. Putri Wuwu kembali menggamit lengan adik sepupunya agar mengikutinya duduk di hadapan Eyang Kyai.

“Aku harus memaksa bertemu dengan engkau Eyang. Pasalnya di kotaraja Tuban satu minggu yang lalu telah terjadi pemberontakan. Pangeran Sentapa dan pasukannya menyerang keraton. Ia berhasil menawan Kanjeng Gusti Raden Haryo Balewot karena dibantu oleh Mpu Bengawan Sanca yang disebut-sebut pernah menjadi muridmu,” ujar Putri Wuwu.

“Ya, memang betul. Bengawan Sanca itu pernah belajar ilmu agama kepadaku. Nama aslinya adalah Aaradhya Cupat. Bersama puluhan pengikutnya mereka datang dari tanah India untuk mencari guru. Dan ia mendapat petunjuk untuk berguru denganku. Setelah menerima petunjukku akan ilmu agama, mereka sempat mondok di sini kemudian mendirikan padepokan sendiri,”  jelas Eyang Kyai.

“Orang itu memiliki kepandaian tinggi. Meskipun penampilannya bersorban dan tutur katanya jauh dari sorbannya. Ia juga berambisi menguasai keraton Tuban. Aku pernah langsung ditawannya dan mendengar ia berkata bahwa akan mengusai Tuban dan menyerang daerah-daerah lain untuk menyebarkan ajarannya. Ia berambisi untuk menyebarkan ajarannya melalui jalan kekerasan, Eyang. Apakah benar itu sudah atas restumu?” Putri Wuwu bertanya.

“Putri Wuwu, jangan engkau lancang seperti itu terhadap Eyang Kyai.” Pangeran Sekar Tanjung kaget mendengar pertanyaan saudara sepupunya. Dalam tata krama Jawa, bertanya tanpa tedeng aling-aling dengan orang yang sangat dihormati itu adalah tabu.

“Mohon maaf Eyang Kyai dan Pangeran Sekar Tanjung. Bukan hamba bermaksud melanggar tata krama Jawa. Tetapi mengingat nasib Dimas Ngangsar yang belum jelas, maka tak tepat saat ini harus mengingat segala tata krama itu. Sekali lagi maafkan kelancangan aku, Eyang!”

“Tidak apa-apa, cucuku. Tak pernah aku memberi restu kepada Sanca untuk menyebar agama dengan cara kekerasan. Lanjutkan ceritamu.” Eyang Kyai menjawab lembut.

“Dini hari tadi, pasukan yang masih setia kepada Paman Balewot menyerang kotaraja. Pangeran Sekar Tanjung yang telah lama mengembara tetiba pulang dan menggerakkan pasukan menyerang kotaraja.

Beruntung mereka dibantu oleh Raden Kuning yang juga datang membawa pasukan dari keraton Palembang. Mpu Sanca dan Raden Kuning terlibat pertarungan dan keduanya terluka. Melihat keadaan berbalik, Mpu Sanca dan muridnya melarikan diri dengan membawa serta Dimas Ngangsar. Mohon petunjukmu Eyang agar Dimas Ngangsar bisa kami bawa kembali.” Putri Wuwu mengakhiri ceritanya.

“Masya Allah, ia memang memilih sendiri nama Sanca sebagai pengganti namanya. Rupanya nama yang dipilihnya itu mewakili sifatnya yang masih liar seperti ular. Engkau tunggulah di sini. Biar aku yang mengurusnya agar melepaskan Pangeran Ngangsar.” Eyang Kyai kemudian menganggukkan kepalanya. Itu adalah pertanda agar kedua tamunya meninggalkan rumahnya. Putri Wuwu dan Pangeran Sekar Tanjung segera mohon pamit. Keduanya kemudian kembali ke kotaraja dan memberi khabar jika Eyang Kyai yang akan mengembalikan Pangeran Ngangsar.

Di tempat pertapaannya, Eyang Kyai menggeleng-gelengkan kepala. Ia sempat tertegun sebelum akhirnya pria sepuh itu menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Ia mengambil sikap semedi. Dari bibirnya terdengar lantunan dzikir dan asma Allah. Suasana di pagi yang cerah itu berubah magis ketika dari dalam rumah kayu tempatnya bertapa keluar sesosok bayang Eyang Kyai. Murid-muridnya terkejut dengan kehadiran guru yang sangat dihormati itu. Tetapi akhirnya mereka tersadar jika yang keluar dari pesanggrahan itu hanya bayangannya saja.

Bergegas beberapa murid mengambil inisiatif untuk melongok ke dalam rumah tempat guru mereka bertapa. Di sana masih terlihat Eyang Kyai duduk bersila sambil bibirnya tak henti mengucap dzikir.

“Ngerogoh sukma sejati!” Mereka berteriak tertahan.

(Bersambung)91

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now