Kehadiran

1K 42 0
                                    

Raden Kuning melompat mengejar Soka Lulung. Senopati Tuban itu seolah tak mendengar suara Raden Kuning, Ia terus berjalan keluar paseban. Raden Kuning berupaya mencegahnya dengan memegang bahunya. Tetapi Soka Lulung justru mengelit dan selanjutnya menyerangnya. Keris Kyai Layon tanpa warangka itu dipegangnya dengan tangan kanan dan digunakan untuk memainkan jurus-jurus aneh yang belum pernah terlihat dimainkan oleh Soka Lulung. Sontak paseban geger.

Mendapat serangan ganas, Raden Kuning memainkan jurus langkah ajaib. Kakinya bergerak seperti tak beraturan tetapi mampu menghindari serangan lawan. Kendati lawan tak mampu menyentuh kulit tubuhnya, tetapi Raden Kuning juga tak mampu menyerang lawan. Ia kemudian memainkan jurus pertama bene muyen. Jurus yang dimainkan Raden Kuning itu semakin membuat kacau jalannya pertarungan. Ia memukul dan menendang secara acak tak beraturan.

Menghadapi pendekar sakti itu, Soka Lulung justru terlihat tenang. Ia memainkan keris Kyai Layon dengan mantap menyerang dengan tusukan ganas ke tubuh lawannya. Setiap kali ia menyerang lawannya, Soka Lulung memutar tubuhnya seperti sedang memainkan tari. Indah sekali jurus-jurus yang dimainkannya. Kyai Layon yang menjadi senjata untuk menyerang lawan berubah menjadi kilatan biru. Di sekitar arena pertarungan menyerbak wangi bunga melati sehingga suasana magis makin terasa di sana.

“Sahabatku Soka Lulung, sadarlah. Engkau berada dalam pengaruh kekuatan Kyai Layon. Jangan biarkan hatimu kosong. Segeralah menyebut asma Allah. Dengan begitu aku yakin kekuatan Kyai Layon akan berkurang!” Raden Kuning berulang kali berseru.

“Engkau jangan mempengaruhinya, Raden Kuning. Ia tengah menerima pelajaran dariku.” Soka Lulung menceracau. Tetapi jelas sekali kata-katanya itu ditujukan kepada lawannya. Tetiba Soka Lulung melompat mundur. Kyai Layon ditempelkannya di kening dan di tempat itu tetiba terlihat Soka Lulung berubah menjadi banyak.

“Aji medhar sukma. Dari mana engkau mempelajarinya, Soka. Aih, engkau bukan Soka Lulung tetapi engkau adalah Kyai Layon. Terimalah hormatku, Kyai!” Raden Kuning menjura hormat.

“Aji medhar sukma hanya bisa dikuasai oleh orang yang telah matang batinnya, Raden. Ketika bertanding melawan Mpu Bengawan Sanca engkau justru tak bisa mengendalikannya.”

“Injih, Kyai. Aku juga heran dari mana aku tetiba bisa memecah sukmaku ketika itu. Mungkin karena pengaruh kitab Mantra Sembilang yang aku baca atau itu adalah ulah perbuatanmu yang membantuku secara diam-diam.”

“Ya, saat itu aku yang menuntunmu. Biarlah di kesempatan terakhir ini aku memberi kesempatan kepadamu untuk berlatih ajian itu. Lihat seranganku!” Soka Lulung yang telah memecah diri menjadi lima sosok menyerang Raden Kuning  dari segala arah.

Raden Kuning memusatkan pikirannya untuk merasakan angin pukulan lawan, tetapi ia kalah cepat. Sebuah tendangan mampir di bokongnya membuat pria sakti itu terhuyung ke depan. Belum sempat ia menyeimbangkan tubuhnya, sebuah pukulan kembali mampir di dadanya membuat ia terhuyung ke belakang. Meskipun tidak menderita luka dalam, tetapi akibat pukulan telak itu Raden Kuning kehilangan kepercayaan dirinya.

“Ayo, Raden Kuning. Pilihlah mana sosokku yang asli. Jika engkau lambat seperti tadi, maka jangan salahkan aku jika setelah ini aku memukul dengan sekuat tenaga.”

“Pejamkan matamu. Rasakan dengan mata batin yang manakan sosok Layon yang kini medhar dalam wujud Soka Lulung. Sesungguhnya ia kini tengah mempermainkan pikiranmu.” Raden Kuning mendengar seseorang mengirim petunjuk berupa bisikan di telinganya. Ia tak sempat lagi bertanya siapa gerangan orang yang telah memberikan petunjuk, tanpa pikir panjang Raden Kuning mengikuti petunjuk dalam bisikan itu.

Raden Kuning melompat mundur ke belakang dan mengambil destar yang digunakan salah seorang bangsawan Tuban. Destar berbahan kain halus itu digunakannya untuk menutup kedua matanya. Kali ini Raden Kuning benar-benar menutup cahaya yang masuk ke matanya sesuai dengan petunjuk yang ia terima. Selanjutny ia menghimpun tenaganya di dada dan membuka seluruh inderanya yang lain agar dapat merasakan serangan lawan. Benar saja saat telah menutup matanya, ia hanya merasakan satu angin pukulan yang menyerangnya dari depan. Diam-diam ia menggunakan jurus bumi. Selanjutnya  Raden Kuning membiarkan pukulan lawan mampir ke tubuhnya  agar ia dapat menyedot tenaga lawannya.

“Des, uh!” Pukulan Soka Lulung ternyata tak terpengaruh dengan jurus bumi. Raden Kuning yang berharap tenaga lawan tersedot oleh jurus bumi ternyata kecele. Tubuhnya kembali mental tiga tombak ke belakang. Raden Kuning yang mampu melawan Mpu Sanca ternyata dijadikan bulan-bulanan oleh Kyai Layon.

“Tak mungkin engkau menyedot tenaga yang berasal dari sosok asral. Segeralah lawan ia dengan menggunakan kekuatan batinmu!” Kembali bisikan itu terdengar.

Raden Kuning kembali berkonsentrasi. Kali ini ia tidak lagi menyerang lawannya. Sebagai gantinya, ia duduk bersemedi menghimpun kekuatan batin. Keputusannya telah diambilnya, ia akan menggunakan jurus pamungkas untuk melawan kekuata batin Kyai Layon. Kedua tangannya diangkat melakukan gerakan takbir, itu adalah gerakan awal jurus manut gusti. Anehnya ketika memainkan jurus manut gusti dengan menggunakan kekuatan batin, tetiba tubuh Raden Kuning membelah menjadi dua. Sosok aslinya masih duduk bersemedi, sedangkan sosok yang baru muncul melakukan gerakan takbir. Demikian selanjutnya tubuhnya membelah menjadi sosok orang bersidekap, rukuk, sujud dan menunjuk. Raden Kuning berhasil menguasai aji medhar sukma. Tubuhnya membelah menjadi lima sosok yang serupa dengannya. Dengan cekatan lima orang Raden Kuning menghadang serangan lawan. Soka Lulung tak mampu menahan pukulan manut gusti yang dilepaskan melalui telunjuk kanannya.

Seketika bayangan tubuh Soka Lulung sirna. Keris Kyai Layon terpental ke udara. Sesosok bayangan berkelebat meraih keris tanpa warangka itu. Harum bunga tetiba menyerbak mewangi ketika sosok sepuh itu memegang keris Kyai Layon.

“Subhanallah, takdir keris ini memang untuk keraton Tuban. Sekeras apa pun engkau berupaya merubahnya, takdir telah digariskan. Janganlah engkau mengingkari takdir itu. Kyai Layon telah melepas takdirnya denganmu Raden Kuning, Ia telah menurunkan engkau sesuatu yang sangat berharga untuk dirimu dan perjuanganmu di masa mendatang. Gunakanlah aji medhar sukma di saat-saat genting saja. Menggunakan ajian langka itu haruslah dibarengi kekuatan batin. Jika engkau sembarangan menggunakannya, ajian itu akan merusak tubuhmu dari dalam.” Sesosok sepuh berjanggut putih tetiba telah berada di sana. Seketika mereka yang ada di sana menjura hormat. Raden Kuning memberi hormat dengan bersujud di hadapannya.

“Terimalah hormat cucumu ini, Eyang Kyai!” seru Raden Kuning.

“Berdirilah, cucuku. Aku lihat kepandaianmu semakin meningkat pesat. Hanya saja aku melihat takdirmu bergelimang darah.  Ayo, kita ke pesanggrahanku. Aku akan berikan petunjuk agar aji medhar sukma bisa engkau kuasai dengan sempurna. Balewot, biarkan keris Kyai Layon ini sementara aku yang simpan. Soka Lulung engkau segera menyusul kami ke pesanggrahan.” Eyang Kyai menghampiri Raden Kuning dan keduanya selanjutnya berkelebat meninggalkan paseban. Soka Lulung segera menyusul dua orang sakti itu dengan menggunakan kuda pilihan.

Setiba di pesanggrahan kawedar, Soka Lulung telah ditunggu oleh murid Eyang Kyai. Ia selanjutnya diantarkan ke tempat Eyang Kyai mengasingkan diri. Sebuah rumah kayu yang sebelumnya pernah disinggahi oleh Putri Wuwu dan Pangeran Sekar Tanjung.

“Duduklah Senopati Soka Lulung. Tampaknya engkau berjodoh dengan Kyai Layon dan aku memintamu kembali untuk menjadi mediator bagi Kyai Layon.” Eyang Kyai ternyata membutuhkan Soka Lulung agar ia bisa kembali dirasuki Kyai Layon.

“Mohon maaf, Yang Mulia. Aku tak tahu caranya!”

(Bersambung)
Jangan lupa vote ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now