Sinni Khat

1K 49 13
                                    

Dari balik baju putihnya, tabib Yu mengeluarkan benda menyerupa alat tulis berbahan kayu. Di ujungnya terdapat bulu menyerupa kuas. Tabib Yu meletakkan alat tulis itu di atas kertas dan batu tinta. Matanya menatap tajam ke atas kertas putih di hadapannya. Dengan cekatan ujung kuas ia celupkan ke batu tinta dan tangannya mencorat-coret di atas kertas. Pandangannya tak ia palingkan dari kuas dan kertas. Ia berkonsentrasi membuat tulisan indah di atas kertas. Sependidih air, kertas putih polos di hadapannya telah berisi tulisan indah.

“Sungguh indah, kongkong. Tulisan apakah ini?” Raden Sinjar bertanya.

“Ini adalah Sinni khat. Sepuluh tahun terakhir ini, aku banyak mempelajarinya. Konon katanya sinni khat ini merupakan seni tulis indah yang menggabungkan dua tradisi Cina dan Arab. Sinni khat adalah seni menulis indah aksara Arab ke Cina.” Tabib Yu memberi penjelasan singkat.

“Meskipun tulisan ini indah, apa pentingnya kongkong menjelaskan sinni khat ini kepadaku?”

“Sinni khat adalah tradisi peninggalan leluhur yang telah aku gubah menjadi seni menjaga diri. Ini adalah kuas bulu Serigala atau Langhao. Benda ini nantinya akan kuberikan kepadamu, cucuku.” Tabib Yu memberikan kuas itu kepada Raden Sinjar.

“Terimakasih Kongkong. Namun izinkan cucumu ini kembali untuk bertanya. Apa hebatnya kuas ini hingga bisa menjaga diriku?”

“Aku telah menciptakan jurus seni menjaga diri dengan kuas ini. Saat ini juga aku akan turunkan kepadamu.” Tabib Yu segera melompat berdiri dan berjalan keluar rumah. Tepat di tanah lapang di samping rumah, Tabib Yu berhenti melangkah. Ia kemudian mengangkat Langhao ke atas hingga sejajar dengan matanya.

“Perhatikan gerakanku ini. Jurus pertama kuberi nama melukis alas. Ciri jurus ini adalah melukis bumi. Lihatlah jurus pertama ini. Hiyat!” Tabib Yu memberi petunjuk dengan gerakan. Tangan kanannya yang memegang Langhao mencorat-coret angin di hadapannya. Sekilas gerakan itu seperti gerakan yang tidak beraturan. Tetapi setelah mengulangi jurus itu untuk kedua kali, Raden Sinjar dapat menangkap adanya sebuah pola teratur yang dihasilkan Langhao itu. Angin berciutan ketika tangan sepuh tabib Yu bergerak cepat melukis alas. Inti gerakan melukis alas lebih banyak tertuju ke tanah.

Selanjutnya tabib Yu mengubah gerakannya. Langhao di tangannya ia angkat sejajar kepala kemudian ditusukkannya ke arah tanah. Namun belum sempat mengenai tanah di hadapannya, tangannya ia belokkan ke atas membentuk gerakan melengkung. Langhao terus menusuk ke atas hingga tabib Yu yang memainkan jurus itu menghentakkan kakinya melompat setinggi tombak.

“Ini adalah jurus kedua, melukis langit. Inti dari jurus ini adalah bertumpu kepada gerakan menusuk. Kau perhatikanlah baik-baik gerakan dasarnya.”

Raden Sinjar mengawasi kongkongnya memainkan jurus aneh bersenjata Langhao itu. Matanya tak berkedip menyaksikan gerakan yang seumur hidup baru dilihatnya itu. Dasar gerak silat itu berbeda jauh dengan gerak silat yang ia pelajari dari Putri Cala. Gerakan tabib Yu terlihat kaku dan bertenaga.

“Aku sudah paham gerak dasarnya kongkong. Mohon dilanjutkan ke jurus berikutnya!” Raden Sinjar tertawa senang. Jurus kedua telah ia pahami dasar geraknya. Tabib Yu segera menghentikan gerakan jurus kedua. Ia kemudian berdiam diri memandang ke depan. Langhao ia sandarkan di depan dada, kakinya maju selangkah.

“Jurus ketiga adalah melukis amurkana. Bentuklah sketsa gambar naga di udara. Khayalkan sosok naga dalam kepalamu seperti apa. Himpun nafasmu di pusar dan hempaskan semuanya ke Langhao. Lihat gerakanku!” Tabib Yu mencoret langit di atas kepalanya dengan lukisan naga. Tenaganya ia kerahkan melalui kuas bulu serigala. Sosok naga buatan tabib Yu, tak sempat terekam oleh mata Raden Sinjar. Ia hanya memperhatikan bahwa di antara gerakan yang tidak beraturan itu, Langhao di tangan tabib Yu saat mulai dan selesai gerakan bertemu di titik awal. Menutup jurus melukis amurkana, tabib Yueren menghantamkan Langhao ke angkasa. Tetiba terdengar ledakan keras.

“Dar, dar, dar!” Suara menyerupa geledek terdengar keras di pagi menjelang siang itu. Raden Sinjar yang menyaksikan kehebatan jurus amurkana, berubah air mukanya. Ia tak menyangka jurus itu akan meninggalkan pengaruh demikian hebatnya.

“Cepat engkau praktekkan tiga jurus sinni khat ini. Aku akan melihat apakah dasar gerak jurus-jurus itu telah sempurna engkau tangkap.” Tabib Yu segera memberi perintah kepada Raden Sinjar untuk berlatih.

“Baik, kongkong. Pinjamkan Langhao itu kepadaku.” Raden Sinjar segera menerima Langhao dari tangan tabib Yu. Dengan cekatan ia mulai mempraktekkan jurus pertama melukis alas. Langhao di tangannya bergerak tak beraturan ke bawah. Terkadang menusuk, dan terkadang mencongkel. Meskipun terlihat tak beraturan, tetapi Langhao di tangan Raden Sinjar membuat gerakan inti di bagian bumi sebagaimana petunjuk dari tabib Yu. Mengakhiri jurus pertama, Raden Sinjar melompat ke atas dan membuat gerakan menggampar bumi. Gerakan ini tidak ada dalam contoh yang diajarkan oleh tabib Yueren.

“Haiya, engkau memang cerdas cucuku. Dalam sekali lihat engkau telah berhasil mengembangkan jurus melukis alas. Lanjutkan jurus yang kedua!” Tabib Yueren berseru senang.

“Tabik, kongkong. Selanjutnya jurus melukis langit. Aku minta petunjuk!” Raden Sinjar bersemangat.

Gerakan dasar jurus itu adalah gerakan menusuk ke atas. Jika pada jurus pertama Langhao bertumpu pada sasaran bumi, jurus kedua sangat berbeda. Gerakan Langhao lebih dominan gerakan menusuk. Namun di tangan Raden Sinjar, gerakan Langhao yang sebelumnya kaku berubah menjadi indah. Tubuhnya meliuk seperti orang menari sedangkan tangannya mencorat-coret angin di hadapannya. Gerakan itu menjadi gerakan awal dari jurus kedua.

Setelah menari dengan Langhao di tangan, Raden Sinjar menusukkan kuas bulu serigala itu ke tanah dengan sekuat tenaga. Kemudian Langhao yang meluncur ke bawah itu berbelok seratus delapan puluh derajat. Ini adalah gerakan tipuan yang dapat memperdaya musuh. Langhao berubah arah menusuk ke atas diiringi dengan lompatan tubuh Raden Sinjar. Ia bersalto di udara menutup jurus kedua.

“Memang aku tak salah menurunkan jurus ciptaanku ini kepadamu, Sinjar. Engkau tidak mengecewakanku!” Tabib Yueren tak dapat menahan kagumnya. Ia bersorak kegirangan melihat jurus kedua juga telah dikuasai dengan baik oleh Raden Sinjar.

“Ini jurus ketiga, kongkong. Melukis amurkana!” Raden Sinjar meletakkan Langhao di dadanya. Sejenak ia berkonsentrasi menghimpun tenaga di pusar. Seketika tenaganya ia salurkan ke tangan yang memegang Langhao. Tangannya melukis naga yang bertubuh panjang. Tubuhnya dengan gesit menyambar dari kanan ke kiri hingga tiga tombak. Ia melakukan gerakan itu sambil meliukkan tubuhnya seperti naga yang tengah dilukisnya.

Seketika tubuhnya berbalik arah seolah menarik lukisan yang telah diguratnya tadi. Tubuhnya meliuk dari kiri ke kanan hingga bertemu titik pangkal. Menutup jurusnya, Raden Sinjar menghempaskan pukulan ke pohon Bungur besar yang ada di depannya.

Seketika terdengar suara bercuitan. Dalam pandangan tabib Yu dari Langhao di tangan Raden Sinjar seperti mengeluarkan gelombang magnet. Pukulan itu berhenti ketika mengenai pohon Bungur besar. Jika sebelumnya jurus ketiga menimbulkan suara seperti geledek di angkasa, tetapi pukulan jurus ketiga yang dilakukan Raden Sinjar tidak menimbulkan bunyi ledakan. Tabib Yueren yang berpengalaman diam tak memberikan komentar. Sepertinya ia masih menunggu apa yang akan terjadi dengan pohon Bungur besar itu.

“Srkkkkk, wus!” Tetiba dedaunan pohon Bungur besar itu rontok seketika. Ribuan daun itu jatuh beterbangan. Seketika suaranya menimbulkan gelombang angin hingga terasa oleh tabib Yueren. Itulah kehebatan jurus amurkana.

“Hebat engkau cucuku. Pribadimu memang lembut. Jurus melukis amurkana yang keras bahkan berubah menjadi lembut di tanganmu. Jika engkau menyempurnakan tiga jurus ini, maka legalah hatiku untuk melepasmu.” Mata tabib Yueren terlihat berkaca-kaca. Ia tetiba diserang rasa haru menyaksikan kecerdasan Raden Sinjar.

Namun belum sempat membalas pujian tabib Yu, tetiba Raden Sinjar menyaksikan orang tua itu terhuyung ke depan. Beruntung dengan sigap, Raden Sinjar berhasil menangkap tubuhnya hingga urung jatuh terjerembab ke tanah.

(Bersambung)

Apa yang terjadi dengan tabib Yueren. Baca terus lanjutan kisahnya ya...
Yang setia baca kisah ini, follow dong akun penulis...

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now