Glatom Sakti

781 43 2
                                    

Dengan belati terhunus, dua pemuda itu mengendap-ngendap mendekati Kedum yang tengah pulas. Keduanya berbagi tempat masing-masing di sebelah kanan dan kiri sasaran. Setelah dekat dengan calon korbannya, Kedum menggeliat dari tidurnya. Tetiba matanya terbuka. Bola matanya menyala seperti kunang-kunang dan di atas bibirnya tumbuh kumis seperti harimau.

“Puyang Masumai. Lari….!” Dua pemuda itu lari pontang-panting. Mereka tak berani lagi menoleh ke belakang. Mendengar kegaduhan yang terjadi, Kedum tetap bergeming. Ia masih terlihat tidur dengan pulasnya. Entah apa yang menyebabkan mereka yang berniat jahat kepadanya melihat wajahnya seperti makhluk jadi-jadian yang ditakuti warga sekitar Gunung Dempo.

Setelah upaya pembunuhan yang dilakukan kedua pemuda itu, tak ada peristiwa yang terjadi. Kedum bangun saat fajar tiba dan melaksanakan sholat subuh. Saat fajar menyingsing, Kedum mencari kudanya di tempat ia dilepaskan. Kuda yang menjadi temannya itu tak kelihatan.

“Suit, suit!” Suara siulan membahana di tempat itu. Kedum memanggil kudanya dengan siulan. Dari kejauhan terdengar derap kaki kuda berlari. Rupanya hewan jinak itu tahu jika tuannya telah kembali. Dengan penuh kasih sayang, Kedum memeluk leher hewan tunggangan berwarna hitam pekat itu. Dielusnya jambul kuda dengan lembut. Tak nampak lagi kelelahan di mata hewan tunggangan itu. Sebagai wujud senangnya, kuda hitam tersebut menggoyang-goyangkan buntutnya.

“Ayo hitam, kita masih ada pekerjaan yang belum selesai dilakukan,” bisiknya lembut. Ia langsung melompat ke atas pelana dan membedal dengan lembut. Kuda hitam jinak itu merespon dengan berjalan perlahan. Tujuan mereka adalah dusun yang ditunjuk oleh sesepuh Panji. Mereka menuju ke arah matahari terbenam.

Dusun kecil itu memiliki pintu gerbang yang terbuat dari kayu Jati pillihan. Di samping kiri kanan gerbang juga melingkar pagar dari kayu usuk. Dua orang yang berjaga di depan gerbang membuka pintu dan mempersilakan lelaki berkudis itu masuk. Tak ada sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Sepertinya mereka telah mendapat pesan dari tuannya perihal kedatangan lelaki dekil itu.

Kuda yang ditungganginya berjalan dengan santai. Penunggangnya terlihat gagah meskipun jika diamati seluruh kulit tangan dan kakinya nampak beruntul-beruntul merah pertanda ia menderita penyakit kulit. Dengan isyarat anggukan kepala, Kedum melewati dua orang penjaga gerbang. Anggukan kepalanya tak diindahkan oleh anak muda itu. Mereka memilih tetap diam mengambil sikap sempurna tanpa memandang ke arah tamu yang baru datang.

Sependidih air, kuda hitam besar itu telah masuk ke dalam area pemukiman warga. Dari kejauhan ia dapat melihat warga berkumpul di lapangan yang ditumbuhi rumput hijau. Persis di tengah-tengah tanah lapang itu tumbuh sebatang pohon besar. Kedum segera melompat dari kudanya. Ia tak ingin warga salah duga dengan kedatangannya. Kudanya ia tuntun dan mereka berjalan perlahan menuju keramaian.

“Assalamualaikum. Mohon maaf aku Kedum datang kemari atas perintah sesepuh Panji,” ujarnya dengan halus.

“Ooo, pasti engkau yang dimaksud oleh tetua dapat menebang pohon ini. Ayolah kalian susul tetua di rumahnya. Kalian ajaklah tamu kita ini untuk mengisi perut terlebih dahulu. Dua orang pemuda kemudian mendekatinya dan mengajak Kedum ke pinggir lapangan. Di tempat itu berdiri sebuah balai yang mungkin dipergunakan oleh warga untuk menggelar keramaian. Dua pemuda itu sempat tertegun ketika dilihatnya lelaki yang menjadi tamu di dusun itu ternyata tubuhnya dipenuhi penyakit kulit.

“Jika kalian jijik denganku, jagalah jarak. Awas penyakit kulitku ini dapat menulari kalian,” ujar Kedum memotong lamunan mereka. Ia sengaja menakuti kedua pemuda itu dengan penyakitnya. Betul saja, kedua pemuda itu segera menjaga jarak dengannya karena khawatir tertular penyakit kulit.

“Aih, dunia ini memang semata hanya memandang dari kulit luarnya saja,” gumam Kedum pelan.
“Engkau datang tepat waktu, Kedum. Santaplah kudapan itu dahulu. Baru setelah itu aku akan menugasimu syarat yang kedua.” Tetiba di tempat itu telah hadir sesepuh Panji. Orang tua itu ternyata dipanggil dengan sebutan tetua di dusun kecil tersebut. Panggilan tetua menandakan bahwa ia adalah orang yang sangat dihormati di seantero dusun. Kedum mahfum dengan penghormatan tinggi dari warga desa untuk orang yang akan menjadi gurunya itu.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now