Kawan Lama

790 58 1
                                    

“Bagaimana caranya untuk menghentikan kawan lama itu, Raden?” tanya Suma Banding.

“Caranya dengan Sabdo Pandito Ratu. Sebagai prajurit telik sandi yang bertugas melakukan penyusupan di daerah yang dianggap lawan, kawan lama kita itu memegang teguh prinsip tersebut. Setelah beberapa hari ini berpikir keras mencari alasan apa yang membuatnya mau membelot dari keraton Palembang, aku hanya menemukan itu sebagai jawabannya,” jawab Raden Sabtu.

“Aku masih belum mengerti maksudmu dengan ujar-ujar Sabdo Pandito Ratu. Tolong jelaskan kepadaku Raden. Mengingat asalku dari Siak Medang, tentunya aku kurang paham dengan ujar-ujar Jawa itu.” Suma Banding kembali minta penjelasan. Ya, Suma Banding adalah prajurit setia Adipati Arya Karang Widara. Setelah pemimpinnya itu tiada, ia tetap menjadi abdi setia keraton Palembang di masa kepemimpinan KI Gede Ing Suro.

“Kawan lama itu jika melihat dari perjalanan tugas-tugasnya selama ini lebih banyak mengabdi kepada musuh, Paman. Ia selalu bertugas menyusup ke daerah lawan dan menjadi prajurit di sana. Tak jarang dalam menunaikan tugasnya, ia menjadi abdi setia langsung dari para pangeran dan raja. Agar ia tak membelot dalam tugasnya itu, maka pelatihan tertinggi yang diterapkan kepadanya adalah bagaimana memahami ujar-ujar Sabdo Pandito Ratu sebagai jalan untuk kembali. Ia akan bersetia dengan jiwa raganya untuk melaksanakan sabda dari rajanya. Meskipun dalam tugas penyusupan itu ia akan berada pada posisi lebih dekat dengan pangeran atau raja musuh, tetapi ketika sabda rajanya telah diturunkan tak ada alasan baginya untuk tidak melaksanakan meskipun itu harus berbuat tindakan paling keji sekalipun.”

“Aih, aku baru dengar ada pelatihan prajurit seperti itu.”

“Ya, paman. Prajurit telik sandi yang disusupkan ke pihak lawan tak jarang akan menjadi prajurit pilihan dalam tugas penyusupannya itu. Oleh karena itu, maka tak menutup kemungkinan pula bila saat menyamar ia akan berada pada posisi dekat dengan musuh dan bahkan menjadi salah satu orang kepercayaannya. Agar ia tega mengkhianati tuan barunya, maka Sabdo Pandito Ratu dibutuhkan. Artinya kawan lama kita itu hanya akan patuh dan taat dengan perintah langsung dari raja atau keturunan para raja. Aku yakin ia membelot saat ini karena ada keturunan raja Demak yang memberikan perintah kepadanya.”

“Jadi, kawan lama kita itu tega mengkhianati Ki Gede Ing Suro karena ia mendapat perintah dari keturunan Raja Demak. Aih siapakah dia, Raden?”

“Ini adalah hasil pemikiranku, paman. Mengenai siapakah orang itu, akan banyak kemungkinannya. Mengingat Banten juga memiliki kekerabatan dengan kerajaan Demak, bisa saja perintah itu datang dari salah satu kerabat keraton Demak yang ada di Banten.”

“Lalu, bagaimana cara kita untuk menghentikannya atau paling tidak memberikan perintah lain yang akan diturutinya, Raden?”

“Tidak ada cara lain kecuali menghadirkan ayahanda Pangeran Arya Mataram di sini, Paman. Tetapi mengingat ayahku itu belum juga tiba di Palembang dan adu tanding akan diselenggarakan besok, maka aku sendiri yang akan menyamar menjadi ayahku.”

“Aih, engkau pandai sekali, Raden. Bagaimana mungkin engkau bisa memiliki pikiran yang seluas samudera seperti ini. Baik Raden. Aku akan menyiapkan orang terbaik untuk mengubahmu menjadi Yang Mulia Pangeran Arya Mataram.”

“Baik, paman.” Raden Sabtu menghembuskan nafas lega setelah ia mengutarakan pikirannya. Terlebih Suma Banding yang saat itu telah memegang lencana raja Palembang bersepakat dengan apa yang ia pikirkan.

Di saat keduanya tengah berdiskusi mencari cara untuk mengatasi teka-teki yang dibuat oleh pihak musuh, orang yang disebut-sebut sebagai kawan lama itu terlihat mengendarai kereta kuda menuju penginapan Mandau. Ia mengenakan topi caping lebar dan berpakaian kawula biasa agar tidak menarik perhatian orang. Terlihat sekali jika laki-laki itu berupaya menutupi penampilannya. Mengingat penginapan Mandau adalah tempat yang disiapkan keraton Palembang untuk para peserta adu tanding yang akan mewakili Palembang, maka sudah pasti di tempat itu akan ada orang yang mengenalinya.

Benar saja ketika masuk ke dalam penginapan, ia melihat Depati Santun dan depati lainnya tengah berbincang-bincang di tempat makan. Di tempat itu juga ia melihat Ketua Litantong dan beberapa orang yang tidak dikenalinya. Dengan langkah biasa, ia masuk ke dalam penginapan dan langsung menuju lantai atas. Bangunan utama penginapan terdiri dari dua lantai, di mana di belakang bangunan utama berhadap-hadapan bangunan memanjang yang terbuat dari kayu. Penginapan itu adalah salah satu penginapan terbaik yang berada tak jauh dari keraton Palembang di Candi Laras.

“Tok, tok, tok-tok-tok!” Ia mengetuk pintu sebuah ruangan dengan pelan. Dari nada suaranya dapat disimpulkan jika itu adalah ketukan dengan tanda khusus. Tak lama seorang pria membuka pintu dan mempersilakan ia masuk.

“Perintah apa yang engkau bawa, telik sandi?” tanya si tuan rumah.

“Keadaan tengah genting, engkau diminta untuk melakukan sesuatu terkait dengan Janunar. Setelah itu engkau harus kembali ke pasukan di dalam keraton, Sahibul.”

“Apa yang harus aku lakukan terhadap pemilik penginapan Sendaru itu?”

Lelaki prajurit telik sandi pembawa pesan mendekatkan diri dan berbisik di telinga tuan rumah yang dipanggilnya Sahibul itu. Sepertinya tugas tersebut adalah sangat rahasia sehingga cara penyampaiannya pun dengan cara berbisik. Ya, Sahibul tak lain adalah wedana dari kesatuan prajurit Ulung yang ditugaskan menyamar menjadi pemilik penginapan Mandau yang menjadi tempat jagoan keraton Palembang menginap. Banyak sudah peristiwa aneh yang terjadi di penginapan itu. Terakhir Binar Lawang lelaki bertubuh tambun pemilik asli penginapan Mandau tewas dibunuh oleh orang tak dikenal.

“Jadi setelah melakukan tugas, aku harus segera kembali ke keraton dan memastikan bahwa diriku agar selalu berada di dekat senopati Sentri Payu,” ujarnya bergumam memastikan.

“Iya, Sahibul. Aku ingatkan sekali lagi, engkau janganlah mengulang-ulang tugas yang telah aku bisikkan tadi.”

“Baik prajurit telik sandi. Sampaikan sembah sujudku kepada Maha Guru.”

“Cukuplah tugasku di sini, aku pamit.” Lelaki bertopi caping itu segera keluar dari tempat itu. Setelah menuruni tangga, ia berbelok ke kiri dan berjalan menuju bangunan yang berdiri berhadapan di belakang penginapan. Langkah kakinya tergesa sehingga ia tak memperhatikan kiri dan kanan. Sepertinya ia akan keluar dari tempat itu dengan cara melalui pintu belakang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui keberadaan pintu tersebut. Tanpa kesulitan ia berhasil melalui pintu kecil di belakang penginapan dan melompat keluar dari tempat itu.

Kereta kuda yang mengantarkannya tadi telah dimintanya untuk pergi dari penginapan. Lelaki itu meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Setelah keluar dari penginapan, langkahnya tak lagi tergesa. Ia menyempatkan memandang kiri dan kanan. Di belakang penginapan ternyata adalah kawasan padat penghuni. Banyak orang berlalu-lalang di sana. Umumnya mereka yang tinggal di belakang penginapan Mandau adalah para pedagang yang berniaga di pasar Candi Laras.

“Hei engkau yang berada di depan, berhenti!” Suara itu terdengar mentereng. Lelaki itu seketika menghentikan langkahnya. Ia sangat akrab dengan suara tersebut. Segera ia membalikkan badannya dan melihat ke arah belakang. Namun meskipun matanya telah menyapu ke seluruh penjuru, pemilik suara yang menyuruhnya berhenti melangkah, belum ditemukannya.

“Aku ada di depanmu, prajurit telik sandi!” Lelaki itu segera membalikkan badannya ke posisi semula. Betapa terkejutnya ia ketika melihat orang yang menegurnya tersebut.

Matahari telah berada di ufuk Barat, sinarnya tak lagi panas seperti siang tadi. Tetapi, lelaki yang disapa sebagai prajurit telik sandi itu nampak berkeringat. Wajahnya pucat pasi dan keringat sebesar biji jagung menghiasi keningnya.

“Injih Kanjeng Gusti Pangeran,” ujarnya seraya menjatuhkan diri berlutut.

Siapakah orang yang membuat prajurit telik sandi berkeringat dan pucat pasi. Mengapa pula ia memanggil orang itu dengan sebutan Pangeran. Semakin seru ceritanya kalau reader memberi like dan komen hehehehe……. Nyambungnya besok aje yeee.

(Bersambung)

Jangan lupa follow akun penulis ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang