Jalan Sang Kyai

1K 42 0
                                    

Mpu Bengawan Sanca membedal kudanya dengan kecepatan tinggi. Meskipun terluka dalam cukup parah, ia masih mampu mengendali kuda tunggangannya. Muridnya yang hanya tersisa sebelas orang mengiringi dengan menunggang kuda-kuda pilihan milik keraton Tuban. Sedangkan Pangeran Ngangsar berada di dalam kereta kuda yang dikemudikan dua orang murid Mpu Sanca.

Tetiba kuda yang dipacu Mpu Bengawan Sanca berhenti. Pelarian mereka terhenti karena di tengah jalan terdapat pokok kayu besar yang tumbang. Seketika murid-muridnya melompat dari pelana kuda dan bergegas menyingkirkan halangan itu. Namun mereka terkejut karena batang kayu tumbang itu seperti terpaku di tanah. Meskipun telah mengeluarkan seluruh tenaganya, murid-murid Mpu Sanca yang memiliki kepandaian lumayan itu tak mampu menggesernya dari jalanan.

Mpu Sanca mengernyitkan keningnya. Ia merasakan ada kejanggalan. Dengan sisa tenaganya, ia turun dari kuda dan menghampiri kerumunan muridnya yang berupaya menyingkirkan kayu besar yang tumbang menutupi jalan. Namun baru sependidih air, tetiba di atas batang kayu itu dilihatnya sesosok pria sepuh mengembangkan senyuman.

“Assalamulaikum, Cupat. Mengapa engkau terlihat terburu-buru pergi meninggalkan Tuban. Begitu gentingnya kah urusanmu sehingga engkau tidak lagi berpamitan dengan orang tua ini.” Eyang Kyai menegur pria bersorban yang pernah menjadi muridnya itu.

“Waalaikum salam. Maafkan saya, Kyai. Takdir kita memang bersebrangan di jalan ini. Biarkan aku mengembangkan ajaranku dengan jalanku sendiri. Semua yang aku lakukan ini adalah sebuah pemikiran baru bagaimana menyebarkan ajaran dengan cepat.” Mpu Bengawan Sanca membalas salam.

“Apakah yang engkau maksud menyebarkan ajaran agama dengan cepat itu dengan cara melalui kekerasan?”

“Ya, Kyai. Jalan yang aku akan tempuh adalah jalan pedang. Bukankah dalam kisah-kisah penyebaran Islam banyak terjadi pertumpahan darah.”

“Engkau salah memilih jalan, muridku. Kepandaianmu tentang ilmu thoriqoh masihlah sedikit. Janganlah engkau menyimpulkan tarekat berdasarkan pemikiranmu sendiri.”

“Aku mengerti pemahamanku tentang jalan itu masihlah cetek. Tetapi menurut pemahamanku upaya mendekatkan diri kepada Sang Khalik sebagaimana konsep thoreqoh yang engkau ajarkan hanya bersifat orang per orang. Sebagai pendakwah tak ada gunanya jika jalan itu hanya difungsikan bagi diri sendiri saja. Manusia harus dipaksa untuk taat dan mengerti konsep jalan itu dengan cara kekerasan.”

“Masya Allah. Engkau tersesat Cupat. Tarekat adalah jalan-jalan yang ditempuh oleh para sufi. Ia berperan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat. Oleh karena itu jalanan utamanya adalah syar’, anak jalannya adalah thariq itu sendiri. Tidak bisa engkau putar keadaan itu dengan memaksa manusia agar melompat ke anak jalan, sedangkan syariatnya dilupakan. Orang memeluk keyakinannya itu bukan berdasar ketakutan.”

“Lalu apa bedanya dengan cabang jalan kebatinan yang bersifat gaib jika ia bukan bagian dari hukum ilahi?” Mpu Sanca tetap bersikukuh dengan pendiriannya.

“Tidak mungkin jika ada anak jalan atau cabang jalan bila tidak ada jalan utamanya tempat ia berpangkal. Kekuatan batin tidak mungkin akan didapat bila perintah syariat yang mengikat itu diabaikan. Kuncinya jalankan syariat dengan keyakinan itu adalah jalan utamanya. Sedangkan thoreqoh adalah jalan untuk meningkatkan ketakwaan di jalan syariat.”

“Aku tetap tidak bersepakat dengan dirimu, Kyai. Biarlah aku menempuh jalanku sendiri. Jalan pedang dan jalan mistis itu bisa menjadi jalanan utama yang menjadi daya tarik agar manusia mau mengikuti ajaranku.”

“Engkau benar-benar telah tersesat. Aku menyesal tidak dapat mendidikmu dengan baik. Tak kusangka di usiaku yang telah senja ini, aku harus menanggung dosa karena tak mampu mendidikmu.”

“Lebih baik seperti itu, Kyai. Biarkan aku menjemput sendiri takdirku di tanah Jawa ini.”

“Ingatlah hanya Allah yang Maha membolak-balikkan hati manusia. Aku selalu berdoa agar engkau mendapat hidayah agar kembali ke jalan yang lurus. Namun jangan engkau memaksakan takdirmu kepada orang lain. Kembalikan Pangeran Ngangsar kepadaku. Takdirnya bukan bersamamu.”

“Hahahaha…., lucu sekali. Engkau yang memiliki pandangan jauh ke depan Kyai. Tak mungkin dirimu tidak mengetahuinya jika anak ini berjodoh denganku. Ia akan menemukan jalannya untuk Tuban di masa mendatang tanpa seorang pun mampu mencegahnya karena semua itu telah tercatat di Lauhul Mahfuz. Biarkan ia bersamaku selama dua belas purnama.”

“Subhanallah, Cupat. Sayang sekali kekuatan batinmu engkau salah gunakan seperti ini. Aku memang tak mampu merubah takdir, tetapi salah jika aku hari ini tidak mencampuri urusan takdir itu karena manusia disyaratkan harus berusaha.”

“Mohon maaf, Kyai. Aku rasa sudah cukup kita bicara. Biarkan kami lewat. Ingatlah janjiku, dua belas purnama, Pangeran Ngangsar akan pulang ke Tuban.”

Perdebatan alot itu akhirnya selesai. Setelah memastikan keselamatan Pangeran Ngangsar, sosok asralnya raib dari pandangan. Mpu Bengawan Sanca memerintahkan kepada muridnya untuk menyingkirkan kayu tumbang itu dari tengah jalanan. Ajaib, jika sebelumnya pokok kayu itu tak mau bergeser, setelah sosok Eyang Kyai raib dengan mudah mereka mengangkat kayu itu.

“Ngerogoh sukma sejati. Hanya orang-orang pilihan saja yang dapat melakukannya. Engkau tetap menjadi sosok yang aku kagumi, Kyai. Tetapi kita ditakdirkan memilih jalan berbeda.” Mpu Bengawan Sanca bergumam sendiri. Ia kemudian kembali membedal kudanya ke arah Barat. Dalam mimpinya ia mendapat petunjuk untuk menginjakkan kaki di bumi para jawara, Banten.

Sosok asral Eyang Kyai hadir di keraton Tuban. Saat itu Raden Haryo Balewot tengah mengadakan pisowanan dengan seluruh petinggi keraton. Seluruh yang peserta pisowanan diminta tanggapannya tentang Tuban ke depan setelah pemberontakan Pangeran Sentapa yang berhasil digagalkan.

“Eyang Kyai. Terimalah hormat kami.” Raden Balewot menjura ke arah sosok pria sepuh yang tetiba berada di paseban.

“Sebagaimana janjiku kepada Putri Retno Wulan dan Pangeran Sekar Tanjung, maka anakmu Pangeran Ngangsar akan kembali ke tanah Tuban dua belas purnama ke depan. Ia saat ini menjalani takdirnya menjadi murid Mpu Bengawan Sanca. Tak perlu kalian khawatirkan keselamatannya, Mpu Sanca telah berjanji kepadaku dan menjamin bahwa anakmu itu akan baik-baik saja”

“Alhamdulillah, terimakasih Eyang Kyai.” Raden Balewot kembali menundukkan tubuhnya. Ia sangat menghormati kakek buyutnya ini sebagaimana ia mendapat penghormatan yang sama di keraton-keraton lain di tanah Jawa.”

“Cucuku, Raden Kuning. Engkau menjemput takdirmu di Tuban. Langsungkanlah pernikahan dengan Putri Retno Wulan, aku memberi restuku.”

“Ada hal lain yang ingin aku mintakan restumu, Eyang Kyai.” Raden Kuning melangkah menghampiri pria sepuh itu. Bersama beberapa pemimpin pasukan keraton Palembang, mereka memberi penghormatan.

“Kami membawa amanah dari Yang Mulia Pangeran Arya Mataram untuk meminta restumu untuk keraton Palembang. Tanpa restu darimu, beliau khawatir keraton Palembang akan diperangi oleh kerajaan-kerajaan dari Pulau Jawa. Kami merasa belum kuat untuk mandiri. Mohon petunjukmu!”

“Bawalah lencana ini. Ia akan menjadi pertanda restuku atas lahirnya kerajaan Palembang.” Eyang Kyai memberikan sebuah lencana yang terbuat dari kuningan. Dengan hati-hati, Raden Kuning menyambut lencana itu.

“Semua urusan dunia ini telah selesai. Jangan ganggu aku lagi dengan urusan dunia. Aku pergi. Assalamualaikum.” Sosok Eyang Kyai raib dari pandangan.

“Maafkan hamba Yang Mulia Kanjeng Gusti Raden Haryo Balewot. Aku meminta kebijaksanaanmu untuk mempertimbangkan kembali pernikahanku dengan Raden Kuning.” Tetiba Putri Wuwu bicara. Suaranya tegas penuh kepastian. Semua yang hadir di paseban termasuk Raden Kuning terperanjat.

(Bersambung)92

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt