Guru Sejati

1K 40 0
                                    

Angin berhembus semilir. Raden Kuning duduk bersemedi di sebuah padepokan. Sejauh mata memandang hanya terlihat pepohonan dan dedaunan yang menghijau. Kicau burung menambah indah suasana. Ia duduk bersama bersila bersama dua orang yang seperti dirinya. Dihadapan mereka duduk seorang yang berpakaian putih mengenakan sorban. Raden Kuning memperhatikan mereka. Ia terkesiap ketika diketahuinya dua orang yang berada di dekatnya itu kesemuanya bertampang buruk rupa.  Sedangkan pria bersorban kebalikan dari kedua orang itu. Ia bertampang bersih dan gagah sehingga enak dipandang mata.

“Kita harus mengenali dengan baik, siapa diri kita ini. Pelajaran yang paling sulit adalah mengetahui diri kita.” Pria bersorban bicara dengan suara lantang.

“Lalu bagaimana caranya agar kita bisa mengenali diri kita?” Laki-laki yang duduk di sebelah Raden Kuning bertanya.

“Caranya dengan melakukan olah rasa, maka kita akan menemukan guru sejati,” jawabnya.

“Bagaimana menemui guru sejati. Siapakah orang itu?” tanyanya lagi.

“Guru sejati adalah diri kita sendiri!”

Raden Kuning kembali memperhatikan tiga orang yang berada di dekatnya. Dua orang bertampang buruk rupa itu dilihatnya tanpa berkedip. Ia kaget, ternyata kedua orang itu memiliki kemiripan wajah dengannya. Selanjutnya ia mengamati pria bersorban yang kini menjadi guru mereka itu. Wajahnya pun mirip dengan dirinya.

“Mohon maaf jika aku lancang. Siapakah kalian tiga orang yang kini bersamaku. Jika aku tidak salah lihat, kalian adalah aku dan aku adalah kalian.”

Ketiga orang itu semuanya menoleh ke arah Raden Kuning. Selanjutnya mereka tertawa terbahak-bahak. Dua orang yang bertampang buruk rupa bahkan terpingkal-pingkal hingga membuat gaduh suasana.

“Engkau pergilah dulu ke sendang di sana. Cuci mukamu dan bersihkan pikiranmu. Setelah itu berkacalah di sana, baru engkau ke sini lagi!” Pria bersorban memberi perintah.

Meski masih menyisakan tanda tanya di hatinya, Raden Kuning menuruti perintah itu. Sendang kecil itu memiliki air yang sangat jernih. Raden Kuning melihat wajahnya yang terlihat letih. Tetiba dia melihat air di sendang itu menampilkan wajahnya dalam bentuk yang berbeda. Wajahnya dipenuhi kerutan malang melintang. Ya, dia kini mirip sekali dengan dua orang pria bertampang buruk rupa itu.

“Pyar!” Dipukulnya air di sendang. Bayangan wajahnya yang buruk rupa seketika lenyap. Raden Kuning menggunakan kedua tangannya untuk menampung air. Selanjutnya air itu dibasuhkan ke wajahnya. Dinginnya air menyegarkan matanya. Beberapa kali ia mengulangi membasuh wajah hingga pikirannya ikut tercerahkan. Meskipun terlihat ragu, Raden Kuning kemudian memberanikan diri melihat ke dalam sendang lagi. Ia melihat wajahnya telah kembali normal seperti sedia kala. Dengan berlari kecil, ia kembali ke padepokan.

“Aku bercermin di air dan melihat wajahku berubah menjadi buruk rupa. Pertanda apakah itu. Tolong berikan penjelasan kepadaku, kisanak.”

“Dalam setiap diri manusia selalu terdapat sifat baik dan sifat buruk. Keduanya terus bergulat untuk mempengaruhi satu sama lainnya. Jika saat ini engkau berbuat baik, maka itu berarti saat ini juga sifat baikmu yang lebih dominan. Begitu pula terjadi sebaliknya,” jelas pria bersorban.

“Jadi menurutmu prilaku baik dan buruk itu adalah keadaan yang tidak menentu?” tanya Raden Kuning.

“Prilaku baik atau buruk itu adalah keadaan. Ia akan sangat tergantung kepada keadaan diri kita. Oleh karena itu, agar keadaan yang terjadi sesuai dengan apa yang kita mau, maka kita harus mengenali diri kita sendiri.”

“Aih, sungguh berat aku mencerna pelajaranmu itu. Dengan kata lain menurut pendapatmu jika kita belum kenal dengan diri kita sendiri, maka kita yang akan terpengaruh oleh keadaan. Prilaku kita pun akan acak saat ini bisa baik, nanti bisa pula berprilaku buruk. Begitukah?”

“Ya, seperti itulah yang aku maksud.”

“Kembali kepada pertanyaanku semula. Bagaimana caranya agar aku bisa mengenali diriku sendiri?”

“Kami bertiga di sini adalah dirimu. Kami hidup di dalam pikiranmu. Kami menjalankan perintah-perintahmu. Jika engkau memerintahkan untuk marah, maka dirimu yang bertampang buruk itulah yang akan melaksanakannya. Jika engkau memerintahkan berbuat baik, maka akulah yang akan melaksanakannya.”

“Lalu mengapa jumlah kalian tidak imbang. Aku yang bertampang buruk berjumlah dua orang, sedangkan engkau yang bertampang gagah hanya engkau sendiri. Dimana kawanmu?”

“Nah, inilah cerminan dari dirimu. Hal ini berarti engkau lebih condong akan melakukan hal-hal yang buruk ketimbang berbuat kebaikan.”

“Seingatku, aku ini selalu berpegang teguh dengan ajaran tentang kebaikan. Tak mungkin aku melakukan hal-hal yang buruk.”

“Itulah keburukanmu. Engkau selalu merasa, tetapi pernahkan engkau merenungi setiap perbuatanmu?”

Raden Kuning terdiam. Ia seperti tertohok dengan pernyataan yang baru ia dengar barusan. Ia memang selama ini tidak pernah merenungi semua perbuatan yang telah dilakukannya. Raden Kuning lebih memilih bertindak mengikuti kehendak hatinya. Jika itu menurutnya baik, maka tak perlu lagi direnungkan apakah tindakan itu memang benar-benar baik.

“Oh, aku paham sekarang. Merasa berbuat baik itu adalah keburukanku. Jadi menurutmu semua perbuatan baik yang telah aku lakukan itu hanyalah perasaanku saja. Aku tidak pernah mengkaji semua tindakanku, tetapi lebih memilih merasa benar atas semua perbuatanku itu.”

“Tepat sekali, kisanak. Engkau telah tercerahkan. Memang sifat buruk yang mendominasi pikiranmu itu adalah bahwa engkau selalu merasa. Untuk mengobati hatimu itu, maka dirimu harus belajar cara tentang olah rasa. Tutuplah semua panca inderamu dan berserah dirilah hanya kepada-Nya. Serahkanlah hidup dan matimu hanya semata-mata untuk Sang Maha Pencipta.”

Raden Kuning mengangguk-anggukan kepalanya. Ada dua pelajaran berharga yang ditemuinya dalam dimensi pikirannya. Yang pertama adalah keseimbangan dan yang kedua adalah penyerahan diri atau penghambaan. Dengan jalan itu, maka ia akan mampu mengendalikan keadaan sehingga keadaan itu dapat sesuai dengan prilaku baik yang diinginkannya.

“Terimakasih, kisanak. Engkau telah membuka hatiku.” Raden Kuning menjura hormat. Tetiba ketiga bayangan orang yang berada di dekatnya itu menghilang. Raden Kuning seperti tertarik oleh sebuah pusaran tenaga dalam aneka warna. Awalnya ia berusaha melawannya, namun selanjutnya ia kehabisan tenaga. Akhirnya ia pasrah dibawa oleh pusaran tenaga itu hingga jauh ke dimensi lain yang belum pernah ia kunjungi.

Tetiba terjadi suara ledakan keras. Debu-debu berhamburan ke udara. Raden Kuning tak sempat menghindar. Ia hanya menutupi wajahnya dari siraman debu dengan kedua tangannya. Setelah debu itu hilang dari pandangan, barulah ia berani membuka matanya.

Ternyata ia berada di dataran luas yang dipagari oleh dinding batu. Dilihatnya sosok Eyang Kyai ada di sana. Beliau tengah melatih silat seorang muridnya. Raden Kuning mulanya hanya melihat dari kejauhan. Tetapi setelah berada di dekat dinding batu itu, ia bisa menyaksikan bahwa yang tengah berlatih silat adalah ia dan bayangan dirinya. Meskipun tak berwujud, bayangan dirinya itu mampu dengan baik melatih jurus demi jurus yang terpahat di dinding batu itu.

“Maafkan aku, Eyang Kyai. Aku Raden Kuning. Siapakah orang yang tengah berlatih itu?”

Belum sempat menjawab pertanyaan itu, si orang yang berlatih jurus suluk kawedar, berhenti berlatih. Ia memandang Raden Kuning dengan tatapan mata kesal.

“Engkau ini, hanya membuang-buang waktu guru saja. Pergilah jauh dari sini!”

Raden Kuning terkejut karena diusir oleh pria itu. Belum sempat ia pergi dari sana, si pria yang tengah berlatih silat tetiba melompat ke arahnya dan melolos senjata keris yang dimilikinya. Suara berciutan yang ditimbulkan oleh angin pukulan keris membuat bulu kuduk merinding.

“Hei, anak muda! Jangan engkau lukai tamuku!”Seru sosok yang mirip Eyang Kyai itu.

(Bersambung)100
Jangan lupa vote ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now