Merebut Kampung Perompak

821 43 1
                                    

Mpu Bayan terdorong lima langkah ke belakang. Kelengahannya karena meremehkan lawan, membuatnya terluka dalam. Dari sela bibirnya menetes darah segar. Lelaki bersorban yang telah membuat geger keraton Palembang dalam ajang adu tanding ternyata dikalahkan hanya dengan satu pukulan.

Keadaan Mpu Taliwa yang tengah beradu tenaga dengan Tabib Yu juga tak kalah mengenaskan. Dorongan tenaga dingin tetiba memukulnya dari belakang. Ya, pukulan tangan kosong yang dihadang oleh Mpu Bayan ternyata ikut tak bisa terkendali. Setelah beradu pukulan, tenaga pukulan remaja tanggung yang tetiba hadir itu seolah menjadi tenaga liar. Mpu Taliwa terhimpit dua tenaga besar. Tenaga panas dan dingin. Tubuhnya terlontar ke atas setinggi dua depa. Beruntung beberapa kaki tangannya yang menonton pertandingan segera menyambar tubuhnya.

“Serang mereka dengan panah!” Mpu Bayan tetiba berseru memberi perintah. Ratusan prajurit tetiba muncul memenuhi tempat itu. Entah dari mana mereka datang. Sepertinya musuh memang telah mempersiapkan penyerangan itu dengan matang. Seketika ratusan anak panah meluncur ke arah tabib Yu dan pemuda yang baru saja datang menolongnya.

Tabib Yu mencabut tongkat yang sebelumnya ditancapkannya di tanah. Dengan sekali renggut, tongkat itu langsung berputar-putar membentuk perisai pelindung. Ratusan anak panah yang datang seperti air bah tak bisa menembus angin yang ditimbuilkan dari putaran tongkat.

“Aih, engkau membahayakan dirimu, Pangeran Sungsang. Ayo cepat kita tinggal tempat ini!” Tabib Yu memberi isyarat kepada pemuda tanggung itu untuk melarikan diri. Seketika dua bayangan berkelebat melesat melebihi laju anak panah meninggalkan pinggiran sungai.

“Jangan dikejar. Biarkan saja mereka pergi. Tujuan kita bukan untuk menangkap mereka, tetapi merebut tempat ini!” Terdengar suara mentereng memberi komando kepada ratusan prajurit. Orang yang memberi perintah itu adalah lelaki muda berwajah tampan. Jika melihat wajahnya, orang itu pastilah memiliki darah keturunan India.

“Prajurit, letakkan senjata. Bentuk barisan, kita akan memasuki kampung di depan sana. Awas, jangan lengah!” Lelaki berparas rupawan itu kembali memberi perintah. Ratusan prajurit dengan langkah kaki berderap berbaris rapih memasuki jalan setapak menuju bekas perkampungan perompak. Benar saja, baru lima langkah mereka menapaki jalan menuju kampung, terdengar suara bersuitan.

“Argh. Aduh!” Terdengar suara mengaduh dari prajurit yang berada di barisan paling depan. Mereka terluka disambar anak panah yang melesat dari balik rerimbunan pohon.

“Cepat kalian mundur. Hulubalang pembuka jalur, segera ambil alih pasukan di depan. Sisir terlebih dahulu jalan yang hendak kita lalui. Kalian segera bawa prajurit yang terluka untuk diobati. Bawa prajurit yang tidak lagi bernyawa ke pinggir sungai untuk disemayamkan!”

“Siap menjalankan perintah, Punggawa Wijamanggala!” seru salah seorang berpangkat hulubalang. Ia bersama lima belas orang berpangkat hulubalang segera mengambil alih kendali pasukan di depan. Dengan cekatan, para hulubalang yang berpengalaman menyapu ranjau di medang perang itu segera menemukan banyak jebakan yang terhubung dengan busur panah yang tersembunyi.

Matahari tepat bersinar tepat di atas kepala. Musim angin Barat membuat angin berhembus kencang menuju perkampungan. Rumah-rumah kayu yang berjejer rapih di perkampungan yang didirikan Litantong itu sunyi. Penghuninya sudah sedari pagi meninggalkan rumah.

Sepenanak nasi, enam belas hulubalang penyapu ranjau telah kembali. Mereka melaporkan kepada Punggawa Wijamanggala bahwa jalur menuju kampung perompak itu telah diamankan. Mereka telah memastikan bahwa tidak ada lagi jebakan yang terpasang. Ya, para hulubalang itu memang menjadi pasukan elite yang berada di bawah kendali Punggawa Wijamanggala.

“Ayo, kalian hulubalang bawa aku menuju kampung. Kalian para prajurit berjagalah dulu di sini jangan membuat gerakan apapun!” Lelaki berpangkat Punggawa itu berjalan cepat menuju kampung yang baru mereka taklukan.

“Kami sudah mengamankan rumah kayu yang paling besar di kampung itu, Punggawa. Menurut dugaanku, rumah itu pastilah rumah yang dihuni pemimpin di kampung ini. Baiknya tuan meninjau ke sana.” Salah seorang hulubalang memberi penjelasan.

“Aku ingin kalian mengantarkan aku hingga ke ujung kampung. Kita harus memastikan bahwa kampung ini benar-benar telah kita kuasai.”

Para hulubalang itu hanya menganggukkan kepala. Mereka baru saja melintas di depan rumah tabib Yu yang bersebelahan dengan rumah kayu besar yang didiami ketua Li. Rumah besar itu ternyata tidak menarik perhatian Punggawa Wijamanggala. Mereka meneruskan perjalanan hingga ke ujung kampung.

“Allahu akbar Allahu akbar!” Terdengar suara adzan dari pinggir kampung. Seketika para hulubalang tersentak. Wajah mereka pucat pasi. Mereka segera berlari menuju arah suara. Sontak dua orang hulubalang terdepan berlari cepat menuju ke pinggiran kampung. Punggawa Wijamanggala mengejar mereka. Seketika para hulubalang mengerahkan kecepatan mengejar perwira pemimpin pasukan tersebut.

Rumah kayu yang mengumandangkan lafazh adzan itu sama seperti rumah lainnya di sana. Perbedaannya hanya terdapat pahatan kayu menyerupai kubah yang menandakan tempat itu adalah rumah ibadah. Dua orang hulubalang yang lebih dulu mencari asal suara telah masuk ke dalam rumah kayu yang merangkap mushola itu.

“Hei engkau orang kampung, hentikan adzanmu. Kami sekarang yang berkuasa atas kampung ini!” Salah seorang hulubalang menghardik orang yang mengumandakan adzan. Lelaki itu bergeming. Ia tetap melantunkan adzan meskipun suara hulubalang yang menghardik cukup keras untuk ia dengar. Lelaki itu sudah berusia sepuh. Dari balik songkok hitam yang dikenakannya tersembul rambut yang keseluruhannya telah memutih.

“Apakah telingamu tuli, orang tua. Jangan salahkan kami yang muda ini menghajarmu!” Hulubalang berusia separuh baya itu terlihat emosi. Ia sudah mengangkat kaki kanannya untuk menendang orang tua yang sedang mengumandangk adzan itu. Beruntung sebelum kakinya mendarat di tubuh kakek pengumandang adzan, Punggawa Wijamanggala memberikan isyarat agar hulubalang itu mengurungkan tendangannya.

Seketika suasana hening. Punggawa Wijamanggala komat-kamit membaca doa ketika kakek tua itu selesai mengumandangkan adzan. Hulubalang yang mengawalnya terpaksa manut saja kelakuan punggawa yang menjadi pimpinannya itu.

“Kalian tamu yang datang dari jauh, bersihkanlah dulu tubuh kalian. Berwudhulah dulu sebelum masuk ke rumah Allah ini. Sungguh Rasulullah telah mengajarkan kepada kita untuk menjaga kebersihan dan menjaga wudhu.” Suara kakek tua itu sedemikian sejuknya. Punggawa Wijamanggala dan hulubalang pengawalnya langsung beringsut dari tempat itu menuruni tangga rumah kayu. Mereka menuju tempat wudhu sebagaimana ditunjukkan oleh kakek tua di dalam mushola.

Rumah kayu yang dijadikan mushola itu ternyata lebih tinggi dibanding rumah-rumah kayu lainnya. Sepertinya rumah itu dibangun lebih tinggi agar meninggalkan kesan berbeda dengan bangunan lain di tempat itu. Ornamemen kayu yang dipahat menyerupai kubah itu menambah kesan anggun mushola tersebut.

Dalam hatinya Punggawa Wijamanggala kagum dengan kakek pelantun adzan. Bagaimana mungkin orang tua sepertinya dapat mengeluarkan suara keras sehingga dapat terdengar ke seluruh perkampungan itu. Meskipun banyak pertanyaan dalam otaknya, namun lelaki berhidung mancung itu lebih memilih memendam rasa penasarannya terlebih dulu. Punggawa dan para hulubalang yang baru saja berhasil merebut perkampungan bekas sarang perompak itu kembali memasuki mushola untuk menunaikan sholat dzuhur.

“Sungguh hari ini aku merasa bahagia karena kalian yang baru saja melakukan dosa besar saling membunuh ternyata tergerak hatinya mendengar seruan sholat. Ayo tuan-tuan semua, sawwu shufuufakum, lurus dan rapatkan saff kalian!” Seketika mereka tenggelam dalam khusu’ menunaikan sholat fardhu. Punggawa Wijamanggala berada tepat di belakang kakek tua yang menjadi imam. Ia tenggelam dalam ibadah menghadap sang Illahi. Tak ada nafsu membunuh dan merampas sebagaimana prajurit yang menang perang. Sungguh pemandangan langka yang terjadi di perkampungan bekas sarang perompak itu.

(Bersambung)

Siapakah kakek tua yang mengumandangkan adzan. Mengapa ia tidak ikut mengungsi keluar kampung. Bagaimana pula dengan pelarian tabib Yu dan pemuda yang menolongnya. Misteri apakah yang selanjutnya terjadi. Baca lanjutan kisahnya ya...

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now