Suara Depati

1K 53 10
                                    

“Ai, apo nian maksud kamu soal taruhan itu. Dak nyambung aku.” Depati Rengkaling bingung.

“Jangan kamu main bak gelebuk bae. Badan saro, masalah dak selesai. Maksud aku, belago ini harus ado taruhannyo. Kalau Depati Rengkaling yang menang, Ketua Li melok kendak kamu, begitu pulo sebaliknyo,” jelas Raden Sabtu.

“Nah, pakam kalu mak itu. Setuju aku. Kalu kamu wong limo ini pacak ngalahke aku, taruhannyo aku melok mendukung kamu. Tapi kalu aku yang menang, kamu dak usah lagi ngurusi negeri kami.” Baru selesai bicara, Ketua Li sudah memasang kuda-kuda. Dari nada suaranya sepertinya ia yakin sekali dapat mengalahkan lawan-lawannya.

“Kamu terlalu sombong, Ketua Li. Biarke aku bae dulu yang njajal ilmu kamu. Lihat jurus!” Depati Rengkaling segera menerjang lawannya. Ia menggunakan jurus andalan Nitis Jurai Kebali’an. Depati dari marga Gumay itu terkenal lihai sekali dalam ilmu silat tangan kosong.

Diserang lawannya dengan ganas, Ketua Litantong tetap tenang. Ia menggeser kaki kanannya ke samping, sedangkan tangannya menyerupa cakar harimau. Gerakan tangannya kaku dan lamban. Meski begitu, angin pukulan yang berasal dari cakaran tangannya terdengar bercuit menandakan tenaganya sangat kuat.

“Aih, itu silat Kuntau!” Raden Sabtu tak sengaja bergumam keras. Ia terkejut ketika dilihatnya lelaki keturunan Tionghoa itu memasang kuda-kuda Kuntau.

Memang, Ketua Litantong telah berbaur dengan masyarakat suku Sekayu. Setelah Raden Kuning menjadi menantunya, mata ketua Li jadi terbuka. Ia mulai bergaul dengan penduduk setempat dan berhenti merompak. Kampung perompak yang didiami mereka mulai terbuka. Huang Lo yang berdakwah keliling dusun di sepanjang wilayah Muara Sungsang lah yang berjasa membawa perubahan bagi mereka. Akibat membuka diri dengan masyarakat luar, mereka saling bertukar kebudayaan. Ketua Litantong kemudian mempelajari silat Kuntau yang menjadi bagian dari warisan turun-temurun suku Sekayu.

Menghadapi jurus lawannya, jurus pencak Nitis Jurai Kebali’an yang dimainkan Depati Rengkaling seperti bertemu tembok tinggi. Kuda-kuda silat Kuntau yang dimainkan Ketua Li sedemikian kokohnya sehingga belum mampu ditembus lawan. Beberapa kali cakar menyerupa harimau nyaris melukai Depati Rengkaling. Setelah lewat sepuluh jurus, kentara sekali jika kepandaian Ketua Li, jauh di atas lawannya.

“Hiyat, dug!” Diawali teriakan panjang, tendangan Litantong bersarang di perut lawan. Suara berdebug menandai jatuhnya Depati Rengkaling di atas tanah. Dari sela-sela bibirnya terlihat menetes darah. Meski tak terluka hebat, namun tendangan Ketua Li membuatnya tak mampu lagi melanjutkan pertarungan.

“Aku mengaku kalah, Ketuo Li. Setelah ini, dak lagi aku nak ngurusi Muara Sungsang,” Depati Rengkaling yang jujur mengakui kekalahannya.

“Jangan terlalu cepat ngambek kesimpulan, Depati Rengkaling. Besak kepala kagek Ketuo Li. Ingat, kami berempat masih ado di sini. Tadi awak nantangi kami berlimo. Jadi sekarang kami penuhi kendak awak itu.” Depati Berunja langsung memasang kuda-kuda.

“Jela nian. Aku memang nantangi kamu berlimo bebarengan. Biar cepat kelar gawe kito ini. Ayo majulah.” Terancam dikeroyok para Depati yang berkepandaian tinggi, Ketua Li bahkan tak terlihat gentar.

Merasa dilecehkan oleh lawannya, keempat Depati itu segera masuk ke arena pertarungan. Depati Santun bahkan ikut memainkan jurus silat Kuntau sebagaimana yang tadi dimainkan Ketua Li. Cakar harimau dari silat Kuntau yang dimainkan Depati Santun seolah menyerap gerakan lawannya yang memainkan jurus serupa. Setelah puluhan jurus berlalu, terlihat Ketua Li mulai keteter. Usianya yang tak lagi muda membuat ia kalah nafas. Akhirnya pukulan dari Depati Santun bersarang di dadanya. Lelaki bekas perompak di Selat Malaka yang disegani itu terhuyung tiga langkah ke belakang.

Melihat lawannya terhuyung, serangan keempat Depati semakin ganas. Belum sempat ia memasang kuda-kuda secara sempurna akibat terkena pukulan Depati Santun, tetiba tendangan Depati Berunja dari arah belakang mampir di pinggangnya. Malang, tendangan yang bersarang dari belakang tubuhnya itu membuat Ketua Li terhuyung ke depan. Dengan mudah Depati Masyhur yang sudah siaga di depan mendaratkan pukulan di pundak Ketua Li. Selanjutnya tendangan Depati Santun juga bersarang di tubuhnya. Pertarungan tak seimbang itu membuat Ketua Li seperti tak berdaya.

“Lihat jurusku ini, Ketuo Li.” Suara Depati Huni yang keras mengejutkan mereka yang menonton pertarungan. Ketua Li berada di ujung tanduk. Angin pukulan berciutan menandakan bahwa jurus pukulan tangan kosong yang mengarah kepala Litantong sangat kuat.

“Plak, bus!” Tetiba sesosok bayangan berkelebat menyeret tubuh Ketua Li yang sudah tak berdaya menahan serangan lawan. Pukulan sepenuh tenaga dari Depati Huni memukul di tempat kosong. Ketua Li selamat dari ancaman pukulan lawannya. Ia kini menarik nafas panjang di pinggir arena.

“Berani-beraninyo kamu melawan wong tuo ini keroyoan. Cubo lawanlah aku yang masih sehat!” Tetiba di tempat itu telah berdiri remaja tanggung dengan sorot mata aneh. Ia tertawa terbahak-bahak setelah berhasil menolong Ketua Li. Meskipun prilakunya konyol, tetapi paras wajah bocah tanggung itu sangatlah tampan.

“Aih, Raden Gatra, ngapo pulo kau nak melok campur urusan wong tuo. Ayo cepat ke sini, jangan buat ringam urusan!” Raden Sabtu yang sedari tadi mengawasi jalannya pertarungan, tetiba mengenali bocah tanggung yang menolong Litantong.

“Dak pacak mak itu, Kang. Kalu nak belago sikok lawan sikok. Aku dak terimo kalu Ketuo Li dikeroyok rami-rami cak ini.” Bocah yang dipanggil Raden Gatra itu bersikeras. Sorot matanya yang ganjil menyiratkan kemarahan.

“Payo kalau mak itu. Kito selesaike sampai di sini bae pertarungan ini. Aku dak mungking ngijinkan budak kecik cak kau ini ngurusi masalah wong tuo.” Raden Sabtu akhirnya memutuskan bahwa urusan para Depati dengan Ketua Li disudahi saja.

“Lalu cak mano dengan maksud kedatangan kami ke sini, Raden Sabtu. Tadi Pangeran Arya Belanga sudah menunjuk awak untuk ngurusinyo.” Raden Santun mengingatkan bahwa kedatangan mereka adalah untuk meminta dukungan dari Pangeran Arya Mataram. Mereka ingin agar persoalan penunjukkan Depati di Muara Sungsang ditunda terlebih dahulu.

“Hm….. Ngapo urusan ini jadi susah cak ini. Baik, besok kita ke Palembang menghadap Yang Mulia Ki Gede Ing Suro. Para Depati sampaike langsung bae urusan ini ke beliau. Menurut aku supayo urusan ini dak jadi masalah, lebih baik memang para Depati ngusulke saran agar penunjukkan Depati di Muara Sungsang menunggu Raden Kuning balik dari perantauan. Kalu saran itu yang disampaike ke rajo, pasti Ketua Li dan kelompok-kelompok keras di sano setuju. Bukan begitu, Ketuo Li?” Raden Sabtu yang terkenal berpandangan luas memalingkan wajahnya ke Ketua Li. Yang dimintai pendapat kemudian menganggukan kepala.

“Yo, menurut aku memang bagusnyo urusan Muara Sungsang itu diserahke ke Yang Mulia Ki Gede Ing Suro bae. Pastilah beliau punyo rencana dan pandangan yang baik untuk kami ke depannyo. Persoalan kekhawatiran kamu bahwa kami bekas kelompok perompak ini nak ngacau itu yang aku dak terimo. Kami ini siap ngalangke leher untuk Palembang.” Ketua Li menutup perkataannya dengan kalimat heroic.

Para Depati terkejut melihat pernyataan yang diucapkan oleh bekas ketua perompak ganas di Selat Malaka itu. Mereka sebelumnya hanya mendengar desas-desus bahwa kelompok perompak yang bersarang di Muara Sungsang adalah kelompok beringas yang tak berprikemanusiaan. Tentunya setelah bertemu langsung dengan Ketua Li, pandangan mereka akan berita burung itu terbantahkan.

“Yo, Raden. Setelah kami betegah langsung dengan Ketuo Li, kami sadar bahwa sas-sus soal komplotan perompak di sano dak lah bener galo. Kami pikir usul kamu tadi bagus. Biarlah besok kami melok awak ke Palembang.” Depati Santun mewakili Depati lainnya menerima jalan tengah yang ditawarkan Raden Sabtu.

“Ai cacam, dak pacak mak itu kamu. Kalu aku masih dak terimo dengan perlakuan kamu ngeroyok Ketuo Li, mak mano. Kamu tau dak, beliau ini adalah mertuo ayah aku, Raden Kuning.” Tetiba Raden Gatra kembali mencak-mencak.

Mendengar pernyataan Raden Gatra, para Depati kaget. Mereka tidak mengetahui hal ihwal hubungan kekerabatan Ketua Li dengan keluarga penasehat Keraton Palembang. Jika saja mereka tahu hubungan itu, tentu saja para Depati akan sungkan meladeni permintaan Ketua Li untuk bertarung. Di tengah kebimbangan itu, tetiba di tempat itu terdengar suara nyaring dari seorang perempuan.

“Raden Gatra, ngapo kamu ninggalkan Nyai di hutan. Ai kuwalat kagek kamu kalu galak mainke wong tuwo!” Entah dari mana asalnya, tetiba di tempat itu telah berdiri seorang nenek berkebaya. Sorot matanya juga ganjil. Perhatiannya hanya ditujukan kepada Raden Gatra yang tetiba berlindung di belakang tubuh Raden Sabtu.

(Bersambung)

Note:
Minta 10 komen dulu ah, baru update kisahnya lagi😁😁😁

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Место, где живут истории. Откройте их для себя