Kembali ke peradaban

1K 43 0
                                    

Matahari belum seberapa tinggi, ketika sepasang suami istri beserta putranya itu menjejakkan kakinya di kampung Mentrabang. Kedatangan mereka sontak mendapat perhatian warga. Kampung yang tadinya sunyi itu tetiba riuh rendah dengan suara. Wajah-wajah mereka nampak suka cita melihat kedatangan orang yang telah lama ditunggu itu.

“Putri Cala telah kembali. Ia sehat seperti sedia kala. Cepat laporkan kepada ketua Mentrabang!” Seorang lelaki paruh baya bergegas berlari menuju rumah yang paling besar yang ada di sana. Dengan tergesa-gesa ia mengetuk pintu dan berteriak memberitahukan kedatangan anak sang ketua.

“Putri Cala telah kembali, ketua Mentrabang.”

Dari balik pintu muncul orang yang dicari. Ya, dialah ketua Mentrabang, orang yang paling ditakuti di perairan Selat Malaka. Orang itu adalah pimpinan perompak ganas yang terkenal karena dalam setiap aksinya pasti tidak meninggalkan saksi mata.

“Apa katamu tadi?” Mentrabang bertanya untuk memastikan yang didengarnya.

“Putri Cala dan penculiknya telah kembali, ketua!” kembali si lelaki paruh baya menegaskan.

Bergegas Mentrabang melompat keluar rumah kayu tinggi itu. Langkahnya terlihat ringan menandakan bahwa orang itu memiliki kepandaian. Tak lama dilihatnya putri semata wayangnya menuju ke arahnya dengan diarak oleh puluhan warga. Dilihatnya wajah Putri Cala tidak lagi bersisik, mulus seperti kebanyakan orang. Di matanya, putri semata wayang itu menjadi seperti putri yang turun dari kahyangan, cantik jelita.

Mata Mentrabang menyipit ketika dilihatnya diantara putrinya ada seorang lelaki kecil yang berada dalam gendongan Raden Kuning. Belum sempat ia bertanya, Putri Cala telah menghaturkan sembah sujud di kakinya. Putri Cala tidak sendiri, ia mengajak serta Raden Kuning dan anak kecil di gendongannya ikut bersimpuh di depan kaki Mentrabang.

“Terimalah sembah sujud kami, aku putrimu, suamiku Bagus Kuning dan putra kami Sembilang Rupagatra alias Raden Gatra."

“Apa katamu barusan, dia, dia adalah cucuku?” Mentrabang bergetar suaranya.

“Ya, ayah!” Jawab Putri Cala.

Mendengar jawaban itu, Mentrabang tak lagi mengacuhkan putrinya. Ia langsung menyambar bocah laki-laki kecil itu ke dalam pelukannya. Dipandanginya wajah Rupagatra kemudian Mentrabang tertawa-tawa senang. Anak kecil itu ditimang-timangnya dan dilontarkannya ke atas. Berbeda dengan anak kecil kebanyakan, Raden Gatra malah tertawa-tawa senang. Suaranya yang kecil nyaring terkekeh mengikuti tawa kakeknya yang kegirangan mendapatkan cucu laki-laki.

“Hai kalian semua. Lihatlah dia ini adalah cucuku. Ia akan menggantikanku menjadi pemimpin kalian. Tulangnya bagus, ia sangat berbakat menjadi seorang pendekar pilih tanding. Aku akan menurunkan semua kepandaianku kepadanya.”

Bocah laki-laki yang baru bisa berjalan itu turun dari gendongan kakeknya. Ia berjalan menuju bongkahan batu datar yang biasa menjadi tempat duduk bagi tamu yang berkunjung ke rumah Mentrabang. Meskipun masih belum pandai benar berjalan, tetapi anak itu dengan cepat menghampiri batu besar itu. Semua yang hadir di sana terbelalak ketika melihat apa yang dilakukan oleh anak sekecil itu. Ia mengangkat batu besar itu dengan satu tangannya yang kecil mungil. Satu tangannya yang lain menangkap seekor jangkrik yang ternyata membuat sarang di bawah batu besar itu. Setelah jangkrik itu ditangkapnya, tangan mungilnya meletakkan kembali batu besar itu di tempatnya semula. Semua yang memandang peristiwa itu terperangah termasuk Mentrabang.

“Apa yang baru dilakukan oleh cucuku itu, Cala. Mengapa ia dengan tubuh sekecil itu sudah mampu melakukan hal yang belum tentu mampu dilakukan oleh orang dewasa. Apa yang telah kalian tanamkan di tubuhnya sehingga ia mampu mengangkat batu sebesar itu dengan sebelah tangannya?” Mentrabang bertanya.

“Kami tidak menanamkan apapun ke dalam tubuhnya, ayah. Tetapi sepertinya ia mendapatkan kemampuan itu karena setiap hari memakan jamur dan ikan di dalam telaga Sembilang. Panjang ceritanya, nanti akan kami ceritakan satu persatu,” jelas Putri Cala.

“Eh tadi engkau mengatakan bahwa Bagus Kuning yang membawamu lari dari sini adalah suamimu. Benarkah itu. Mengapa kalian lancang mengambil keputusan sepenting itu tanpa persetujuanku!” Mata Mentrabang mendelik. Terlihat sekali ia menahan kemarahannya.

“Biarkan kami terlebih dulu masuk ke dalam, ayah. Biarlah nanti aku akan ceritakan semua peristiwa yang kami alami ketika terkurung dalam telaga Sembilang. Tak enak kita bicara soal urusan keluarga didengar oleh banyak orang.” Ucapan Putri Cala menyadarkan Mentrabang. Ia kemudian merangkul pundak putrinya dan mengajak mereka bertiga masuk ke dalam rumah.

Putri Cala kemudian menceritakan tentang Raden Kuning yang membawanya ke dalam gua dan kemudian terjebak di dalam telaga Sembilang. Ia juga menceritakan tentang jamur Sembilang yang beracun tetapi mengandung tenaga dahsyat. Putri Cala juga menceritakan tentang peninggalan Panglima Kerajaan Sriwijaya Rakryan Rupagatri. Tentang ceritanya dan tentang kitab Mantra Sembilang yang terdiri dari tiga jurus utama yang kini telah dikuasainya.

“Setelah berhasil menguasai tiga jurus dari kitab Mantra Sembilang, kami bertiga baru bisa berhasil memecahkan rahasia dan cara untuk keluar dari telaga itu. Karena tidak memiliki persediaan makanan lain, maka kami terpaksa makan jamur Sembilang dan Kakang Bagus Kuning melamarku di telaga itu. Hanya dengan cara menikah kami bisa mengatasi akibat dari racun jamur Sembilang. Maafkan aku ayah, anak yang tak tahu cara berbakti kepada orang tuanya.” Putri Cala menangis dan kembali bersujud di kaki ayahnya. Mata Mentrabang berkaca-kaca. Nampak sekali jika ia juga terharu dengan cerita yang dikisahkan putrinya.

“Menantuku, Bagus Kuning. Kesinilah engkau mendekat kepadaku. Aku ingin memberi restu kepada kalian berdua.” Mentrabang memanggilnya.

Raden Kuning yang sedari tadi diam saja segera mendekat ke sebelah istrinya dan mereka berdua kembali bersujud di depan pria yang matanya masih berkaca-kaca itu. Kedua tangan kekarnya mengusap kepala Raden Kuning dan Putri Cala.

“Aku merestui pernikahan kalian berdua. Sebagai hadiah dariku, maka besok kita akan adakan perayaan. Undang seluruh warga kampung. Aku sendiri yang akan mengumumkan pernikahan kalian berdua kepada mereka.” Mentrabang akhirnya kembali tertawa. Ia segera menggendong cucunya yang ternyata ikut tertawa senang berada dalam dekapan kakeknya. Sepertinya ia tahu jika orang yang berperawakan kokoh itu memiliki hubungan darah dengannya.

“Lihatlah, cucuku ini sepertinya ia sudah duluan tahu jika aku ini adalah kakeknya. Hahahaha…, senang sekali aku hari ini. Putriku yang dulu sakit telah sembuh seperti sediakala dan bahkan telah memberiku seorang cucu yang luar biasa. Engkau akan menjadi penerusku kelak cucuku. Dengan keistimewaanmu, maka sudah pasti engkau nanti akan lebih hebat dari kakekmu ini.” Mentrabang tertawa-tawa senang.

“Bagus Kuning, engkau telah menepati janjimu. Dan aku pun masih memegang janjiku. Ayah angkatmu tidak kurang suatu apapun di sini. Bahkan hampir seluruh warga kampung ini telah mengikuti ajarannya, memeluk agama Islam. Engkau tengoklah ia tinggal di tempat di mana dulu putriku disekap. Cala, segeralah engkau menghadap mertua angkatmu di sana!”

Sepasang suami istri itu kemudian pamit menuju tempat di mana orang tua angkat Raden Kuning tinggal. Di sebelah rumah kayu tempat tinggal, nampak bangunan baru menyerupai surau.

“Itu pastilah surau yang dibuat oleh ayahku Huang Lo. Sebagai pendakwah, ia pasti akan terlebih dahulu menyiar Islam di kampung ini. Jika sudah tegak berdiri surau, sudah pasti banyak sekarang pengikutnya di sini,” ujar Raden Kuning.

Sepasang suami istri itu kemudian naik ke atas rumah kayu itu. Mereka langsung masuk ke dalam rumah ketika tiga kali mengetuk pintu tetapi tidak kunjung dibuka. Pintu itu tak terkunci sehingga dengan mudah Raden Kuning beserta istri dan anaknya masuk ke dalam rumah. Raden Kuning memasang sikap waspada karena ia mencium gelagat tidak baik di rumah itu. Hingga akhirnya sampailah mereka ke tempat Putri Cala dulu diasingkan. Ruangan berjeruji dan di dalamnya terdapat kolam yang terhubung dengan sungai di bawahnya. Di ruangan itu nampak sesosok pria tua berdiri membelakangi mereka. Raden Kuning yakin sekali jika itu adalah ayahnya. Segera disapanya sang ayah.

“Assalamualaikum, ayah. Aku anakmu Bagus Kuning telah kembali.” Raden Kuning telah bersiap merangkul ayah angkatnya itu. Tetapi betapa terkejutnya ia ketika lelaki tua itu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah mereka.

“Anakku, Bagus Kuning. Engkau te-te-telah kembali?” Raden Kuning yang terperanjat segera merangkulnya erat-erat.

(Bersambung)77

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now