Sisa Prajurit Soreng

1K 42 2
                                    

“Tinggalkan sedekah untuk kami. Jangan melawan. Kami tak ingin melukai kalian!” Pria berpakaian lusuh berteriak dari atas perahu. Tampangnya kusut, rambutnya terjuntai tak terawat. Pandangan matanya liar.

“Kami tak ingin memberi sedekah dengan orang yang tak berhak menerimanya. Menyingkirlah, jangan menghalangi perjalanan kami.” Rempa Balin balas membentak.

“Jika menolak memberi sedekah, berarti kalian memilih kekerasan. Serang!” Mereka memasang busur dan melepas tiga batang anak panah.

Raden Kuning menjentikkan jarinya. Anak panah yang menyerang mereka jatuh sebelum sampai ke tujuan. Kerabat keraton Tuban itu kembali menjentikkan jari. Batu-batu kerikil melesat menuju perahu perompak. Terdengar suara mengaduh. Seluruh perompak yang memegang busur melenguh kesakitan. Busur terlempar dari tangan mereka jatuh ke sungai.

Tetiba, Raden Kuning melompat ke atas. Ia menggerakkan tangannya memukul ke sungai. Kembali terdengar suara dari dalam air. Tak lama muncul lima perompak yang berenang ke tepian. Nafas mereka megap-megap akibat terkena pukulan tenaga Raden Kuning.

“Minggirlah kalian dari jalan kami. Jangan sampai aku menurunkan tangan jahat!” Raden Kuning melompat lagi ke perahu yang ditumpanginya. Melihat lawannya memiliki kepandaian tinggi, perompak yang menghadang justru tak terlihat gentar.

“Kawan-kawan, lepaskan perangkap. Hari ini kita akan mendapat buruan besar.” Kembali sang pria lusuh memberi komando. Dari bawah air terdengar suara berderak. Tetiba perahu yang ditumpangi Raden Kuning oleng.

“Krak!” Perahu mereka dihantam perangkap yang terbuat dari pasak kayu. Prajurit yang mengemudi perahu lompat ke sungai. Raden Kuning dan Rempa Balin melompat ke perahu perompak. Tubuh keduanya seperti kapas, melayang ringan dengan cepat ke arah musuh. Para perompak tak sempat bersiap dengan senjatanya ketika Raden Kuning melepas tendangan. Sontak tiga perompak jatuh ke sungai.

“Jangan sebut aku Bangau Jijen jika aku menyerah kepada antek-antek Pajang. Jika pun harus meregang nyawa melawanmu, kami bangga telah berbuat untuk Djipang!” Pria yang sedari memberi komando menyerang Raden Kuning dengan kalap. Raden Kuning seketika menghentikan serangannya. Ia diam termangu meskipun lawan memukulnya.

“Des, aduh!” Bangau Jijen mengerang kesakitan ketika pukulannya mampir di dada Raden Kuning.

“Kau bilang apa tadi, Djipang?” Raden Kuning suaranya bergetar.

“Ya, kami bekas prajurit Soreng-soreng yang setia kepada Yang Mulia Arya Penangsang. Kami tak takut mati melawan antek Pajang sepertimu. Ayo pukulah aku, biar nanti arwah penasaranku yang akan menuntut balas.” Bangau Jijen sudah keburu nekad. Ia kembali menyerang Raden Kuning dengan tangan kosong.

“Berhenti. Aku Raden Kuning, kerabatmu sendiri!” Raden Kuning langsung mendorong tubuh Bangau Jijen pelan.

“Benarkah dirimu Raden Kuning. Aih, mengapa aku tak mengenalmu Raden. Terimalah hormat kami!” Seketika Bangau Jijen dan empat orang rekannya yang masih tersisa berlutut dan menangis tersedu-sedan. Raden Kuning tak mampu menahan sedihnya. Rempa Balin bahkan lebih parah lagi. Ia menangis sejadi-jadinya.

Bekas petinggi keraton Djipang itu segera memeluk para perompak yang ternyata adalah bekas prajuritnya sendiri. Ia bahkan tak sungkan lagi memeluk mereka satu persatu. Hati Raden Kuning seperti disayat sembilu. Dihadapannya kini berlutut para korban perang. Pakaian mereka jauh dari layak. Keadaan mereka sangat memprihatinkan. Tetapi dalam keadaan sulit, mereka tetap memegang teguh jiwa wira braja prajurit Djipang.

Raden Kuning berkali-kali menyeka air matanya. Rempa Balin bahkan masih terisak melihat penderitaan saudara mereka. Inilah fakta bahwa perang akan mengorbankan rakyat kecil yang tak bersalah. Prajurit kehilangan keluarganya dan keluarga kehilangan tulang punggungnya karena gugur di medan perang.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang