Cara Dewasa

12.6K 1.5K 57
                                    

"Mas serius gak apa-apa?"

"Soal mantan suamimu?"

"Iya."

Aku menggeleng. Sejak menikah, aku sudah menerima istriku janda. Mantan suaminya tak mempengaruhi harga diriku. Aku tak cemburu sedikitpun.

"Ferdian bukan siapa-siapa karena cintamu hanya untukku. Kita tetap hadir, okay?"

"Aaaaaa, Mas kok jadi romantis, sih? Makasih ya sayang."

Sebisa mungkin kuberi senyum. Walau tak cemburu, aku masih dendam pada Ferdian. Si keparat itu pernah memakiku. Aku tak bercanda urusan itu.

"Dia punya asuransi kesehatan?"

"Hah?"

"Ah, gak apa-apa, hahaha!"

Enam bulan lamanya kami menikah.  16 bulan sejak pertama kali kami bertemu. Hari ini kami berada di kereta yang sama dengan keadaan yang jauh berbeda. Aku semakin matang, begitu pula istriku. Semua telah berubah setelah kami sejauh ini.

Kecuali Izra.

Dia masih petasan kecil yang membangunkan orang segerbong.

"Dedek jangan lari-lari!"

"Doh! Eta! Eta!"

"Sudah tengah malam nih, bobok gih."

"Gak mau!"

"Aduh, maaf Pak. Anak saya lepas."

"Oh, gak apa-apa, Mbak."

Istriku mengejar si kecil yang penasaran dengan penumpang. Izra berlarian kesana kemari bersama pistol mainannya. Orang-orang terbangun. Sebagian menggerutu oleh tingkah usil anakku. Dan sebagai ayahnya, aku tak punya pilihan selain pura-pura mendengkur.

"Mas ini jahat banget ih!" Fitria mencubitku setelah menangkap si setan kecil. "Anaknya lepas dibiarin!"

"Psstttt ... jangan berisik. Malu sama penumpang lain."

"Gak tanggung jawab! Bantu diemin Dedek kek."

Puteraku meronta saat Fitria menahan badannya. Dia merengek keras hingga penumpang mulai berbisik. Keadaan itu sangat familiar. Aku pernah mengalaminya. Aku colek lengan Fitria dan pura-pura tak mengenalnya.

"Mbak, tolong dedeknya ditenangkan, saya mau istirahat."

Cubitan istriku semakin sakit. Tapi dia tersenyum malu saat kuucapkan kalimat itu. Bukan aku saja, gerbong eksekutif ini juga memberinya kenangan manis.

Kenangan waktu kami masih orang asing.

"Mas, pangku dedek dulu dong."

"Ntar kabur lagi kalau aku yang mangku."

"Tapi dedek gak mau sama aku."

"Ah, soal itu gampang."

Kuangkat badan Izra. Begitu mata kami sejajar, penuh antusias kuajak bicara seolah kami teman seumuran.

"Dedek mau lihat lampu?"

"Ampu?"

"Iya, lampunya bagus loh. Tuh lihat," ucapku sembari menunjuk jendela.

"Ampu! Eyip!"

Perhatian Izra langsung teralih. Matanya menangkap lampu kota yang kerlap-kerlip di kejauhan. Dia ingin melihatnya lebih dekat. Fitria langsung memangkunya karena berada di sisi jendela.

"Mas, nomor bangkunya sama loh. Mas sengaja milih ya?"

Sudut bibirku sedikit naik.

"Iya. Dulu aku GR sendiri pura-pura jadi suami. Gak tahunya suami beneran."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now