Hadapi Resiko

23.6K 2K 29
                                    

Kamar Fitria masih asing walau aku sering berkunjung. Ranjangnya lebih empuk, ruangannya lebih luas. Dan hari ini makin berbeda karena untuk pertama kalinya kami boleh tidur bersama.

Yeah, malam ini malam pertamaku sebagai suami di Kota Bandung. Aku tinggal di kamar Fitria karena Bu Eulis yang memintanya. Seluruh barang telah berpindah. Perabotan sudah tertata. Di jam tujuh malam, kami bermain bersama si kecil untuk rayakan kebersamaan.

"Mas, lihat nih si Dedek lucu banget. Wajahnya bengong gitu."

"Dia bingung kok ayahnya masih di kamar malem-malem," jawabku setelah menata sisa baju yang baru disetrika. Kuhampiri buah hatiku yang mulai tertawa saat aku mendekatinya. "Mulai sekarang ayah bobo bareng sama bunda. Dedek seneng kan?"

Tangan kecilnya meraba daguku yang mulai berbulu. Dia mengerti bahasaku. Aku duduk di samping si kecil yang makin ceria di antara ayah dan ibunya.

10 bulan lebih kami bersama.

Baru kali ini hidupku lengkap sebagai ayah.

"Mas, si dedek dulu rewel banget kalau malem. Mas sampai bergadang di ruang tamu."

"Iya, aku masih ingat minggu-minggu pertama kita di sini."

Fitria meletakkan baju yang dia lipat. Mata cantiknya menatap mataku saat kenangan datang berkunjung.

"Mas dulu sampai jarang tidur. Rasanya mau nangis kalau diingat-ingat."

"Ya jangan diingat lah. Sekarang kan aku sudah di sini? Sudah gak wira wiri lagi di ruang tamu.

Istriku tersenyum manis. Dia tidur telungkup bersanggakan kedua sikunya. Tangannya pun menyangga pipi. Kakinya berayun-ayun seperti gadis kecil yang sedang dibacakan dongeng. Fitria lupa umurnya kalau sudah antusias. Terkadang aku merasa jadi kakaknya, bahkan ayahnya saat dia ingin dimanja.

"Mas, aku masih gak percaya loh kalau kita sudah nikah. Ya ampun, aku gak pernah mimpi punya suami seperti Mas."

"Memangnya aku sebaik itu?"

"Iya lah. Karena Mas, mimpiku justru terwujud setelah kita menikah."

"Mimpi?"

Dahiku spontan terkenyit. Fitria mengangguk cepat bersama rautnya yang makin ekspresif.

"Dulu aku pingin banget jadi wanita karir, Mas. Seperti di film-film. Tapi sama pamanku gak dibolehin. Buat apa sekolah, katanya. Cewek kan ujung-ujungnya di dapur."

Aku berusaha keras untuk tidak mengubah ekspresi. Paman Fitria adalah salah satu dari sekian orang yang ingin kubenamkan ke adonan semen.

"Terus, ayahmu gimana?" balasku mengikutinya.

"Aku jarang ngobrol sama almarhum. Kalau ngomong, aku milih diam. Aku membabu jaman SMA karena ayah tak memberi nafkah. Justru duitku dia pakai mabuk-mabukan. Aku sampai disantuni teman sekolah saking inginnya kuliah. "

Kubelai rambutnya. Kubiarkan Fitria menceritakan masa lalu saat mood-nya sedang bagus. Dia tak nampak sedih saat berujar. Aku jadi tergoda untuk menggalinya lebih jauh.

"Terus, Ferdiansyah gimana?"

Fitria diam sejenak.

Pertanyaan itu agak sensitif.

"Dia deketin aku di sekolah. Tapi aku gak mau pacaran. Aku pingin kuliah, Mas. Pingin jadi wanita karir. Ferdian gak terima karena aku satu-satunya cewek yang nolak dia. Akhirnya kami menikah karena ..."

Napas panjang keluar dari mulutku. Perasaanku campur aduk antara kasihan, kesal dan rasa tak terima karena Fitria pernah bersamanya.

Istriku langsung paham. Dia mendekatiku dan memberi pelukan hangat.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now