Luka Menganga

7.1K 1K 189
                                    

Jam satu dini hari, target kami masih banyak. Aku masih membaca berbagai materi tentang kontruksi. Sesekali kutelpon konsultan jika aku butuh bimbingan. Berkali-kali kupijit kening sendiri, karena sebuah bidang yang secepat mungkin harus kutelan.

"Untuk footplate tergantung jenis gedung, Pak Handoko. Kalau hanya rumah dua lantai, hitungan kolomnya sederhana. Tapi di atas itu, distribusi bebannya semakin rumit. Acuannya ke beban hidup dan beban mati," ujar konsultan teknik sipil dengan suara terkantuk-kantuk.

Beban hidup?

Hutang?

Aku sama sekali tidak paham. Bukan hanya karena banyaknya istilah teknis dan rumus-rumus, pikiranku pun susah fokus. Aku masih gelisah karena misteri tentang Linda, serta perubahan sikapnya hanya karena sebuah nama.

Sial! Kenapa aku pusingkan itu?

"Kalau anda seperti sekarang, setahun belajarpun tak akan cukup, Pak Handoko. Waktu kita hanya setahun. Tolong fokus." Linda menegur lagi.

"Saya sudah berusaha, Bu. Ini bukan bidang saya."

Perempuan itu menghela napasnya. Dia berkata, "anda bahkan beralasan. Apa yang terjadi dengan anda?" Wajahnya nampak tertekan. Entah karena performaku yang kurang memuaskan, atau karena pengaruh dari kata-kataku yang dia potong.

Linda menghentikan kegiatannya. Dia menghampiriku yang sedang duduk di sofa kerja.

"Pak Handoko, tolong jujurlah. Anda masih penasaran tentang saya?"

"Kalau anda tak mau cerita, saya tak keberatan."

Linda seperti orang asing. Dia menahan diri untuk tidak menatap benci. Aku tahu dia tersinggung. Perempuan itu menggigit bibirnya sendiri, karena dia tahu jawabanku setengah hati.

Iya, aku ingin dia cerita. Linda bisa membaca keinginan itu dari raut wajahku. Untuk pertama kali sejak mengenalnya, dia tunjukan seraut ekspresi yang selalu dia sembunyikan di balik senyum formal.

"Pria itu mantan tunanganku. Saya pernah mencintainya, sumpah setia padanya, sampai tak punya tujuan hidup lagi sejak hubungan kami berhenti. Dan itu terjadi 13 tahun lalu." Linda menarik napas panjang. Dia pasang lagi senyum palsunya setelah memberi misteri baru. "Saya harap jawaban itu memuaskan anda, Pak Handoko."

Linda kembali ke meja komputer. Aku justru merenung karena kalimatnya, hingga perempuan itu pun terpengaruh.

Sekali lagi dia duduk di sofa yang sama setelah memencet tombol shutdown.

"Ternyata anda tetaplah pemuda 28 tahun," ucapnya datar dengan tatapan kesal. "Saya tak mau cerita ini, Pak Handoko. Tapi anda tak memberi pilihan."

"Maafkan saya."

"Daripada meminta maaf, lebih baik berkomitmenlah. Setelah saya cerita, tolong pura-puralah lupa ingatan. Tolong berhenti memikirkan masalah pribadi saya dan fokuslah ke pekerjaan."

"Jangan paksakan diri anda—

"Saya bisa ceritakan sejelas mungkin karena anda tak mungkin paham kalimat kiasan," sanggahnya separuh menyindir. "Anda mau berjanji?"

"Baiklah, saya berjanji. Ceritakan diri anda."

Linda menyilangkan kaki dan sandarkan punggung. Dia berusaha setenang mungkin menceritakan masa lalunya. Kudengarkan dengan saksama. Aku berusaha menjaga ketenangan, saat Linda membeberkan luka lama yang ternyata masih menganga.

"Pak Handoko, saya pernah jadi perempuan bodoh untuk pria kasar. Selalu yakin ada waktunya dia berubah. Saya selalu bayangkan punya rumah tangga sederhana bersamanya sampai rela berbuat jauh. Entah berapa kali saya aborsi demi menjaga nama baiknya. Sampai saya mengalami pendarahan dan rahim saya diangkat ..."

Napas Linda mulai tersengal. Iya, aku tahu dari Mas Pram bahwa Linda tidak mungkin punya anak. Itulah pertimbangan kakakku. Tapi Linda menolak gesturku yang memintanya berhenti bicara.

"Anda tahu ucapannya setelah saya tak lengkap lagi sebagai wanita? 'Aku pria normal yang masih ingin punya anak,' katanya."

Linda tertawa sarkastik. Tapi napasnya tak beraturan saat tawa itu dia tunjukan.

"Dan setelah keluarga saya tahu kelakuan calon menantu kesayangan mereka, saya yang disalahkan. Saya dibilang buang-buang peluang menikahi seorang pilot. Padahal, mereka rela anak gadisnya ditiduri demi gengsi."

Aku sampai lupa menghisap rokok yang abunya sudah memanjang. Linda masih bicara seakan aku orang pertama yang dia percaya pasang telinga. Kisah itu pun belum berhenti. Linda masih punya lanjutan lagi, yang membuatku mengerti kenapa dia seperti robot.

"Saya pernah coba mengakhiri hidup, Pak Handoko. Seorang laki-laki menolong saya, membuat saya percaya masih ada pria baik di luar sana. Dia yang bawa saya ke Bandung. Tapi kehidupan di sini ternyata sama tak ramahnya seperti Jakarta. Saya pikir pria itu akan simpati setelah tahu keadaan saya. Faktanya, watak aslinya kelihatan. Karena saya tak bisa hamil, tak bisa menstruasi, saya dia pakai ... setelah itu dibuang. Begitupun setiap laki-laki yang saya temui. Kehidupan pertama di kota ini tak ada bedanya seperti pelacur. Saya ... saya hanya ingin melupakan James. Tapi keinginan itu justru membuat harga diri saya habis tak bersisa."

Padahal bukan aku yang dia ceritakan, tapi tetap saja merasa tersindir. Aku tak percaya serendah itu laki-laki memperlakukannya. Aku pun tak sanggup lagi mendengar lanjutan yang makin lama semakin vulgar.

Linda menyadarinya.

Dia loncati topik mengerikan itu dengan cerita yang enak didengar.

"Syukurlah saya bertemu Pak Asep sebelas tahun lalu. Beliau pria pertama yang mempekerjakan saya seperti pekerja normal. Yah, walau banyak gosip miring tentang kami. Pak Asep yang membimbing saya sebagai eksekutif hingga saya bisa move on. Kesibukan kerja bisa meringankan depresi saya. Jauh lebih baik dari sex. Terlebih saat anda masuk ke perusahaan kita."

"Apa hubungannya dengan saya?"

Perempuan itu mulai memberiku senyum alami. "Sejak ada anda, banyak tantangan baru yang bisa saya kerjakan di kantor. Pikiran saya makin fokus ke pekerjaan. Saya mulai jarang meminum obat penenang demi bisa tidur nyenyak. Apalagi setelah ada Izra. Putera anda cerdas, Pak. Dia memberi saya kesempatan merasakan indahnya jadi ibu."

Aku ingin bilang bahwa dia sedang lari dari kenyataan. Tapi aku tak mau merusak senyum itu. Aku bahkan tak berani menatap matanya karena takut pikiran itu dia baca.

Dan, yeah ... Dia benar-benar membacanya.

"Sudah jam tiga, Pak. Waktunya tidur."

Linda beranjak. Kuikuti langkah kakinya dari belakang. Tapi bukannya masuk ke kamar utama, dia putar kunci kamar sebelah. Aku jelas menanyakannya karena setiap malam dia tidur bersama Fitria.

"Bu Linda, anda baik-baik saja?"

Linda menggeleng dengan posisi membelakangiku. Dia terkesan tak ingin menunjukan ekspresinya saat ini. Namun dalam sekilas, aku melihat pipinya basah. Kulihat pula tetesan air mata di lantai keramik depan kamarnya.

"Sa—saya hanya ingin sendiri, Pak ..."

Mendadak AyahHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin