Ayo Ikut Aku

30.3K 2.6K 50
                                    

Waktu menunjukkan pukul empat sore

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Waktu menunjukkan pukul empat sore. Tanpa terasa 10 jam lamanya aku berada di sekitaran stasiun. Mas Iwan sudah menelponku. Seharusnya sejak pagi aku sudah di Ujung Berung. Tapi aku tak bisa pergi karena Fitria sampai sekarang masih bersama.

Serius, dia masih mengikutiku kemana-mana. Kami berpindah tempat seperti nomaden. Kadang ke warung, halte, kadang pula ke taman stasiun. Tahu-tahu sudah sore. Jangankan ada yang jemput, Fitria bahkan tak sekalipun mengeluarkan ponsel. Aku makin curiga dan tak tega meninggalkannya.

"Tang ting tung ting tang ting tung!" Aku juga belum puas bermain-main bersama Izra.

Sumpah, bayi itu lucu sekali.

"Mas Handoko kerja?"

Aku menggeleng pelan. Pertanyaan itu sangat sensitif bagi pengangguran 25 tahun. Tapi gara-gara Izra, aku tak keberatan menjawabnya.

"Nanti pasti dapat kerja kok, hahaha!"

Fitria duduk gelisah. Pertanyaannya hanya sepatah. Aku menolehnya setelah puas main petasan.

"Aku minggat, Fitria. Ayahku Kolonel. Kamu bisa bayangkan? Aku tak nyaman di rumah. Apalagi aku tak mau jadi prajurit. Lebih baik hijrah daripada kena omel, hahahaha!" Aku tertawa lagi seperti idiot.

Untuk ketiga kalinya kami makan sejak tiba di Kota Bandung. Hanya saja bukan makan nasi. Melainkan makan kue di cafe kecil. Fitria tak sungkan lagi memesan menu. Dan ternyata makannya banyak. Ibu muda itu sudah menghabiskan tiga box kue. Bahkan sampai sekarang masih nyamil seperti hamster.

Apa perempuan suka nyamil?

"Kamu suka makanan manis?"

Dia mengangguk cepat.

Andai ini kencan, hari ini kencan pertamaku. Kini aku mengerti kenapa ayah melarang pacaran selama belum mencari uang.

Aku bangkrut!

Tahu-tahu tagihannya 150 ribu.

Aku memilih diam daripada merusak mood-nya. Toh, aku mengajaknya ke Cafe agar dia mau bicara. Waktu semakin sore. Kami tak mungkin terus bersama sampai malam. Fitria harus terbuka kalau memang punya masalah.

Dengan terpaksa, kutanyakan kecurigaan dengan nada seramah mungkin.

"Fitria, anu."

"Hiks!"

Baru bilang anu, dia langsung mewek. Fitria seakan merasa aku akan menginterogasinya. Perempuan ternyata sensitif. Aku memilih bersikap tegas walau dia mau menangis.

"Fitria, aku tak mau bertanya dua kali. Kamu gak sedang minggat, kan?" tanyaku to the point.

Terserahlah walau dia akan menangis. Aku terima resikonya. Itu lebih baik daripada lama-lama menyusun kata. Aku tak mau Izra terlantar. Dia masih bayi. Aku harus memastikan si kecil itu malam ini di ranjang hangat.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now