Segera Cuci Tangan

25.8K 2.4K 56
                                    

Mas Iwan menunjukan Fatebook seseorang yang nampaknya masih belasan. Namanya Ferdiansyah. Aku bisa nilai umurnya dari caranya bergaya, juga dari tanggal rilis foto-fotonya yang masih berseragam. Anak SMA. Aku kaget ada foto Fitria di sana. Aku lebih kaget lagi saat menyadari bahwa foto-foto itu ternyata ada di album privasi.

"Mas Iwan bobol akun orang?"

"Ah, cuma ngintip sebentar."

"Itu melanggar hukum, Mas."

Hacker sialan itu menanggapi cuek. Dia ketuk ujung jidatku dan berkata, "Siapa di sini yang sering ke kantor polisi?"

Aku tak bisa menjawab. Aku memilih diam menatap monitor, daripada aibku diungkit-ungkit.

"Okay Mas. Kembali ke Laptop," ucapku agak ketus. Aku merasa terganggu karena Mas Iwan melihatku dengan tatapan membanding-bandingkan.

"Wow, si Ferdiansyah ini sungguh tamfan dan pemberani. Seperti oppah-oppah Koreah. Daku jadi kasihan lihat wajahmu."

Aku ingin bilang tampang Mas Iwan lebih mengenaskan. Tapi kusimpan kalimat itu dalam hati, saat jemari si ceking itu mengetuk kotak rokok yang dia hibahkan.

"Mau bilang sesuatu?"

"Enggak, Mas."

"Hubungi dia besok. Mumpung urusanmu sama Fitria belum jauh, segera cuci tanganmu. Jangan banyak terlibat."

Aku terdiam. Ucapannya masuk akal. Untuk menanggung hidupku saja aku masih belum tahu, apalagi menanggung dua manusia yang baru kemarin aku temui. Pikiranku berusaha logis. Fitria mungkin masih bisa kembali ke suaminya. Bisa saja pertengkaran mereka hanya sementara, mengingat keduanya masih belia.

Akan tetapi, jauh di dasar hatiku, kenapa aku tak rela?

"Mas dengar sendiri dari Fitria kan mantan suaminya seperti apa?"

"Iya, memangnya kenapa? Itu kan cuma opini dari bibir Fitria. Dan opini itu separuh kebenaran, Anak Muda."

Sekali lagi aku terdiam. Pikiranku kembali berdebat setelah Mas Iwan memaksa agar aku mau dewasa. Lagi-lagi ucapannya benar. Lagi-lagi pula aku sulit berpikir jernih. Emosiku masih terpengaruh ucapan Fitria yang mendeskripsikan seperti apa suaminya. Lebih tepatnya mantan suami. Sulit bagiku mengiyakan ucapan Mas Iwan karena terlanjur benci dengan bocah yang bernama Ferdiansyah.

Kebencian yang aneh.

"Hando, daku percaya Fitria itu wanita jujur. Tapi ini masalah sensitif, Anak Muda. Masalah hukum. Sekalipun ucapannya benar, dikau kena masalah jikalau-kalau langkahmu salah. Serindu itukah dikau ke kantor polisi?"

"Iya, Mas. Aku paham," balasku menyerah. Kuhisap rokok perlahan agar pikiranku kembali tenang. "Terus, gimana enaknya sama Fitria? Punya ide gak?"

"Nikahi saja?"

"Uhuek!" Aku tersedak asap rokok.

"Nikah saja, wajah kalian mirip kok. Siapa tahu jodoh."

"Mau bilang apa ke orang tuaku? Ayolah, jangan menggodaku. Dipikir nikah itu gampang?"

"Gampang kok."

"Terus, kenapa Mas masih jomlo?"

Mas Iwan sewot. Dia tarik lagi kotak rokok yang sempat dia sodorkan.

"Bilang apa tadi?"

"Okay, okay, sorry Mas. Lupakan soal nikah." Aku menjilat demi rokok gratisan. "Walau gimanapun aku gak bisa mengusir Fitria begitu saja, kan?"

"Iya."

"Nah, uangku tinggal tiga ratus ribu, sekarang. Mas sudah ada lowongan cepat? Setidaknya cukup untuk biaya hidup kami bertiga."

"Kami bertiga? Ow, so sweet."

"Serius, Mas. Berhenti menyindirku. Aku tidak bisa menelantarkan dia begitu saja."

Mas Iwan masih silangkan tangan ke dada dengan muka tertekuk.

"Mau sampai kapan, Hando?"

"Sampai ..."

"Mau sampai kapan? Mau sampai bulan depan? Tahun depan?"

Jakunku naik turun. Aku memang tak punya rencana sampai kapan menanggung hidupnya. Keputusanku karena emosi sesaat. Semua karena belas kasihan.

Memangnya mau sampai kapan?

Tapi untunglah, Mas Iwan tak memperpanjang. Dia memberiku solusi mudah saat aku dilanda susah.

"Ada pekerjaan yang duitnya gedhe."

"Apa?"

"Jadi gigolo mau? Cocok sama namamu, Handoko. Hanya ... bondho ... kon-

"Mas, aku serius!"

Mas Iwan terbahak-bahak. "Sabar, Bread PITT," katanya, menyebut julukan yang aku benci. "Dinginkan kepalamu, Anak Muda. Biarkan kakandamu ini yang cari solasi. Lebih baik dikau urus ini dulu." Dia serahkan selembar kertas padaku setelah sesaat mencoret-coret.

"Nomor siapa ini?"

"Nomor ponsel suami Fitria-

"Mantan suami."

"Terserahlah. Segera hubungi bocah tampan itu. Baru dikau bisa ambil keputusan sampai kapan jadi suami dadakan."

Sumpah orang ini menyebalkan. Tapi aku tak bisa membalasnya. Orang ini terlewat baik. Aku hanya bisa terdiam diri, sampai Mas Iwan mencolekku karena mendengar suara tangisan.

"Buah hatimu, tuh."

Telingaku pun mendengar tangisan sama yang makin lama makin mendekat. Itu suara Izra. Dia pasti menangis mencariku. Dengan penuh semangat aku buka pintu sebelum Fitria sempat mengetuk.

"Mas, Izra nangis lagi nih. Aku sudah susuin kok masih nangis?"

"Popoknya?"

"Kering, Mas. Baru kuganti tadi. Dia juga gak demam."

Kusodorkan tangan. Begitu kugendong, bayi itu berhenti menangis. Dia justru tertawa ceria hingga hatiku luluh dibuatnya. Aku yakin Izra kurang nyaman di lingkungan barunya. Aku yakin dia mencariku karena menganggap gendongankulah tempat paling aman.

"Uuhhh, nyariin aku terus. Jangan nangis lagi ya Dedek?" ucapku gemas. Hingga tanpa kuasa kucium pipinya, mengajaknya bercanda, tanpa pedulikan pria keriting yang sudah gatal mau menyindir.

"Sungguh keluarga kecil yang sakinah mawaddah dan warrohmah."

"Berisik!"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now