Masalah Personal

853 98 0
                                    

Mas Iwan terkekeh begitu kopi datang setelah OB mengantarkannya.

"Bahkan penampilan OB itu lebih rapi darimu, Mas."

"Selama kerjaku rapi, kenapa gundah gulana, Bapak Ketum?" Dia angkat kopi itu dan memamerkannya di hadapanku. "Join kopi, mau? Join kopi online."

Seperti yang kusebut tadi, hari ini kami membahas struktur manajemen perusahaanku. Langkah kami progresif. Tapi tetap mengikuti sistem. Berhubung perusahaan Pak Asep adalah induk dari Group kami, penerimaan SDM baru terselenggara di wilayahnya.

Untuk itulah kami selenggarakan rapat virtual.

"Pak Anam sudah screening seluruh jumlah SDM yang skor KPI-nya bagus. Bulan depan mereka naik jabatan. Termasuk screening SDM baru sesuai kebutuhan anda, Pak Handoko," kata CEO itu. Beliau kirim soft copy dokumen yang kuminta sesuai catatan divisi HRD. "Seperti yang kita perkirakan, sebagian dari mereka coba-coba main suap demi bisa bekerja di perusahaan anda."

Langsung kutandai nama-nama itu dari calon SDM baru. "Mereka tidak sedang daftar PNS. Kita tak butuh mereka." Kucoret juga nama-nama pekerja yang berlagak jadi calo.

"Salah satu calo itu manajer, Pak Handoko."

"Lebih baik menyiapkan pesangon daripada memelihara SDM korup. Banyak yang mau bekerja di perusahaan kita," jawabku tak ambil pusing.

Seperti pesan Respati, perusahaan kami harus bersih. Tak boleh ada korupsi, kolusi dan nepotisme dalam bentuk apapun. Aku bahkan hanya meloloskan satu orang dari keluargaku sendiri. Tak ada kompromi. Pak Asep tertawa lepas setelah menerima daftar yang kucorat-coret.

"Anda siap mereka protes, Pak Handoko?"

"Memangnya mereka siapa?"

Pak Asep tertawa lagi.

Urusanku sudah selesai. Kubagikan daftar nama SDM itu ke masing-masing direkturku. Termasuk ke Fitria yang daritadi di sebelahku.

Bagaimana susunannya?

Pak David memiliki pekerja paling banyak berhubung divisinya paling sibuk. Ada 78 orang. Terdiri dari staff administrasi, teknik sipil, serta supervisor lapangan di segala proyek. Jumlah itu belum dihitung ratusan tukang dan kuli bangunan.

Divisi Linda memiliki pekerja terbanyak kedua. Ada auditor, integrated marketing, asisten PR, serta customer service yang terhubung ke berbagai rekanan. Totalnya 34 pekerja. Linda bisa handle semuanya. Sedangkan Fitria memiliki 24 bawahan yang keseluruhan bergerak di administrasi dan keuangan, termasuk notaris.

Bagaimana dengan Mas Iwan?

Dia hanya punya 10 staff. Semuanya makhluk pecandu layar komputer. Ada arsitek, desain grafis, teknisi IT, dan operator aset digital. Pekerjanya paling sedikit. Tapi mereka adalah elit. Pekerja itu pun Mas Iwan pilih sendiri karena dia perfeksionis.

Terlalu perfeksionis sampai mempertanyakan satu nama baru di dokumennya.

"Dyah Ayu Sarahwati D.?"

"Arsitek baru. Lulusan S2 Australia. Kenapa?"

Mas Iwan melirik malas ke dokumen yang baru tercetak. Dia pasti tahu bahwa "D" adalah singkatan dari Djoyodiningrat, yang tak lain nama keluargaku. Mas Iwan nampak keberatan. Dia pasti tak mau menerima titipan yang ujung-ujungnya menjadi beban. Dan seusainya rapat itu, dia minta audiensi berdua antara aku dan dia saja

"Apa daku terlihat seperti baby sitter di mata dikau, wahai Pak Ketum?"

"Sudah dibilang dia oke, kok. Lulusan luar negeri loh, S2 pulak."

"Apalah arti pendidikan dibanding karsa dan asam garam? Daku tak mau repot."

Tidak salah kalau Mas Iwan tidak mau beban tambahan. Di layar itu pun dia nampak sibuk dan sesekali meminta jeda. Pekerjaannya efektif. Super cepat, sistem kebut semalam. Dia selalu kerjaan tugas lebih awal agar bisa malas-malasan.

"Ayolah Mas. Kasih dia kesempatan sebulan saja. Kalau gak cocok ya tinggal mutasi ke Pak David."

"Mutasi sekarang saja. Dikau sudah dikritik karena daku dan Fitria jadi direktur. Jangan cari prahara."

Orang itu memang keras kepala. Tak bisa diajak kompromi. Diskusi itupun kami akhiri tanpa hasrat berdebat apalagi kata sepakat.

Tuntas.

Kecuali satu perempuan yang daritadi harap-harap cemas.

"Mas, kita bilang apa ke Mbak Dyah atau Pak Lik Nardi? Hanya dia yang kita terima dari seluruh keluarga kita."

"Tenang saja. Aku bisa bujuk Mas Iwan kok."

"Mas yakin?" Fitria masih cemas. Dia pasti segan karena kami mendapat tekanan.

"Aku kenal dia. Mas Iwan itu seperti kelapa kopyor. Keras di luar. Tapi lembut di dalam. Mbak Dyah pasti bisa adaptasi."

Dyah Ayu Sarahwati adalah sepupu titipan Pak Lik. Ini bukan nepotisme. Dia orang ketiga dari keluargaku yang masuk mulus selain Mas Iwan dan Fitria. Aku sudah assessment kemampuannya. Perempuan itu disiplin, suka kebersihan, kerapian, dan segala sifat yang berlawanan dengan Mas Iwan.

Kecuali satu hal.

Satu sifat yang sangat mirip antara Mbak Dyah dengan calon atasannya.

"Mas, aku punya feeling kalau Mas Iwan bakalan suka sama Mbak Dyah." Istriku kedip-kedip genit. "Mereka kan sama-sama—

"Kantor kita bukan biro jodoh," jawabku tak ikuti hobi bodohnya.

***

Hari ini kami kembali ke Kota Bandung. Tak terasa dua bulan berlalu semenjak di Surabaya demi urusan keluarga. Ehem! Sekaligus agenda bisnis tentunya. Satu kesuksesan mengundang sukses lain. Mulai bermunculan rekanan baru karena cepatnya pergerakanku. Ponsel pun tak berhenti berbunyi sampai rasanya ingin kubanting.

"Pak Santoso dari PT. Dinamika Kontruksi minta bertemu sabtu nanti, Pak CEO. Bisa diagendakan?"

"Jadwal minggu ini padat."

"Pak Halim dari PT. Semen Biru juga ingin bertemu anda."

"Sibuk."

"Representasi Salam Group?"

"Ayolah, beri kesempatan bernapas. Anda tahu kan hari ini saya dimana?"

Inikah rasanya jadi petinggi?

Kupijit kening sendiri karena rentetan temu janji.

"Bu Linda, tak ada agenda kosong sampai senin depan. Tolong cek lagi skala prioritasnya sebelum hubungi saya."

Ada jeda sejenak. Sepertinya CPRO itu hendak membantah. "Handoko, kamu bersama Pram?" ucapnya dengan suara pelan, buang formalitas. Linda tak pernah lupa sebutan "Pak" di depan namaku kecuali saat marah.

Aku tak menjawab.

Napas panjang jadi balasan.

"Baiklah, Pak Handoko. Untuk hari ini saja saya rangkap kerja demi anda."

Telpon ditutup.

Aku merasa tak nyaman sampai segan memberi salam.

"Sepertinya Linda kesal kamu batalkan agenda demi foya-foya." Orang sebelahku mencolek. Dengan seenaknya dia berkata seakan lupa bahwa bolos ini karena siapa.

Aku malas menanggapi. Jika bukan karena ancaman si playboy itu, kami tak mungkin di tempat ini. Aku terpaksa menemani Mas Pram yang sudah gatal menggelar pesta.

Pesta lajang.

Sekalipun hanya dia yang masih bujangan.

"Bagaimana reaksi Linda setelah kamu beri undangan?"

"Mas masih bertanya?"

Mas Pram tidak menjawab. Bahkan orang tak romantis sepertiku bisa menebak perasaan perempuan yang tiba-tiba ditinggalkan setelah sempat diberi harapan. Sekalipun wanita dewasa seperti Linda. Wajar jika CPRO itu jadi ketus padaku setelah tahu aku sedang bersama siapa.

Kakakku yang salah, aku yang kena masalah.

Arrggh!

Aku malu punya kakak mata keranjang.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now