Peredam Suara

1.1K 147 1
                                    

Di sofa ruang tamu, Fitria sandarkan kepala di pahaku. Dia sedang santai membaca buku bersama daster bermotifkan Hello Kitty. Itu daster favoritnya yang dia beli waktu kami masih miskin. Imut sekali. Aku jadi gatal memeluknya.

"Mas ini apaan sih?!"

"Gemas!"

"Malu ih dilihat Dedek, tuh dia heran."

Kulihat si tuyul kecil. Dia melompat ke arah kami saat melihat dada ibunya terluntang-lantung karena ulahku. Hari ini kami liburan. Fitria tak suka memakai bra saat di rumah ini hanya ada kami bertiga.

Linda di mana?

Dia keluar bersama Mas Pram.

"Tutu!"

"Gak boleh! Bulan depan Dedek tiga tahun."

"Tutu acu itu!"

"Dibilangin punya ayah, kok. Gak boleh. Sudah gedhe."

Fitria makin ceria setelah tahu suaminya naik jabatan. Segala pencapaian itu kuceritakan pada istriku, termasuk perkenalanku dengan dua investor kami. Tentunya, kuceritakan pula keseharianku bersama Linda, begitupun percakapan kami yang sempat menggangguku sepulangnya kami dari bandara.

Seperti yang kuduga, semua yang Linda ucapkan sudah jauh direncanakan.

"Tolong jangan suruh Linda godain aku terus. Gak kasihan sama dia?"

"Habisnya, jabatan Mas makin tinggi. Yang naksir Mas makin banyak. Walau Mbak Linda bilang Mas setia, aku tetap cemas lah."

"Tapi gak enak buat dia. Pikirin perasaan dia lah. Kalau dia naksir beneran gimana?"

Istriku cemberut. Aku jadi penasaran kenapa sekretaris itu seakan menurut pada istriku.

"Sebenarnya kalian ini ada kontrak apaan sih?"

Fitria masih tak mau buka mulut.

"Malam ini gak ada jatah."

"Okay okay, aku mau bilang deh." Fitria baru mau bongkar rahasia setelah aku mengancamnya.

Sebenarnya, apa yang Fitria lakukan diam-diam di belakangku?

Semua berawal dari enam bulan lalu, setelah aku keluar dari Teruna Cipta Furniture.

Prasojo tahu bahwa aku dan Fitria selalu setara untuk urusan rumah tangga. Termasuk pengambilan keputusan. Aku memang pemimpin di keluarga kecilku, tapi aku bukan suami ototiter. Pendapat istriku selalu kudengar. Karena itulah mereka selalu mendekati Fitria agar aku mau bekerja.

Dan utusannya adalah Linda.

"Iya, aku tahu selama ini kamu mereka suap. Dikasih saham, dikasih voucher kuliah di kampus elit, iya, aku tahu. Tapi aku gak menyangka kamu manfaatin Linda."

"Kan perusahaanmu coba-coba manfaatin aku buat nyetir suami? Ya aku manfaatin balik, dong."

Bibirku tersenyum geli. Aku makin sadar bahwa istriku semakin lama semakin licik. Tapi yang tidak kusangka, istriku balas memanfaatkan Linda dengan permintaan aneh-aneh.

"Mbak Linda mau kusuruh asuh Dedek. Eh ternyata keibuan banget. Dedek sampai diajarin hitung-hitungan. Jadi aku bisa kuliah, Mas bisa kerja, hahaha!"

"Terus?"

"Kusuruh ngawasin ayahnya juga!"

Kumundurkan kepala saat Fitria agak melotot. Perempuan itu makin lama semakin galak.

"Mbak Linda kusuruh diam-diam laporin apapun tingkah Mas di kantor. Soalnya Mas bego banget. Mas gak sadar kalau banyak yang deketin. Sampai ada yang terang-terangan mau jadi ibu tirinya Dedek. Kan aku kesel? Mentang-mentang aku di rumah. Ya udah, waktu anak buahmu salah paham soal status kalian, aku suruh sekalian pura-pura suami istri."

"Hah? Kamu gak keberatan? Gila apa biarin suami sendiri main nikah-nikahan sama orang?"

Bibir Fitria bergelombang. Aku merasa wanita itu juga kesal malah dianggap istri simpanan.

"Mas, aku juga gak rela. Tapi perusahaanmu itu gak professional. Mereka nerima pekerja cewek cuma karena tampang doang. Otaknya gak ada. Mas tahu apa yang dilakukan cewek-cewek gak berotak itu sama suami orang?"

Sekali lagi, aku mundurkan kepala saat Fitria makin agresif. Mungkin inilah yang dia cemaskan setelah kami berbeda kantor. Seprofesional apapun istriku, dia tetap cemas suaminya didekati wanita lain.

"Pelakor-pelakor kantoran itu gak akan nyerah kalau istri mangsanya cuma di rumah. Ngerti? Sekarang Mas sadar kenapa hidupmu adem ayem di kantor? Mas sadar kenapa gak ada cewek berani deketin lagi? Karena mereka mikir dua kali. Dan Mbak Linda juga gak rugi. Dia gak diganggu lagi sama eksekutif genit. Dia juga punya hiburan sejak ngasuh Dedek."

Aku lega istriku sangat percaya padaku walau dia mudah cemburu. Tapi walau bagaimanapun, Linda adalah wanita paling berbahaya dibanding semua perempuan itu. Aku heran kenapa Fitria percaya padanya. Walau Linda profesional, tak menutup kemungkinan perempuan itu bisa menusuk dari belakang.

Kuutarakan pemikiran itu padanya.

"Mbak Linda dapat bibirmu?"

"Enggak."

"Dapat hatimu?"

"Enggak juga."

Aku terhenyak saat tangannya tiba-tiba meraba celanaku.

"Dapat ini?"

Kepalaku menggeleng cepat.

"Mas tahu kenapa Mas gak tergoda?"

Aku menggeleng lagi. Dan gelengan itu dia balas dengan dada membusung bangga.

"Karena aku lebih hot dari perempuan manapun. Aku gak cuma diem mewek-mewek. Aku selalu ajak suamiku nyobain hal baru. Biar Mas gak selera lagi sama perempuan normal yang bisanya cuma buka paha. Dan aku gak akan takut dianggap lonte karena itu. Toh, gak ada salahnya jadi lonte suami sendiri. Istri lain mana bisa?"

Mataku melebar. Aku langsung ingat komitmen istriku, yang tak akan membiarkan perempuan lain lebih pantas dari dirinya. Termasuk urusan ranjang. Fitria memang sopan di tempat umum. Tapi kalau sudah di dalam kamar, kami sudah pernah melakukan berbagai adegan yang hanya ada di film dewasa. Mulai dari yang lembut nan romantis, sampai kesukaannya yang agak hardcore. Petualangan kami terlalu jauh untuk bisa kembali normal.

Fitria benar.

Aku tak bisa berkutik lagi.

"Mas, Dedek dah bobo."

Kulirik puteraku. Izra sudah tidur dengan kepala di lantai dan kaki di atas sofa. Tidurnya handstand. Selembut mungkin kugendong dia dan menaruhnya di ranjang sendiri. Setelah itu kembali ke ruang tamu karena gairahku sudah tak bisa terbendung lagi.

Kucium bibirnya.

Ciuman itu tidak terjeda walau Mas Pram ternyata sudah masuk ruangan.

"Bisakah kalian melakukannya di kamar? Astaga. Lama-lama kamu parah, Le."

"Ketularan kamu, Mas "

Mas Pram sewot. Dia celingukan sejenak sambil melihat lantai atas.

"Linda mana?"

"Bukannya sama Mas Pram?"

"Cewek itu pulang duluan gara-gara ngambek aku minum-minum. Kutelpon dulu deh."

Ekspresinya sontak berubah. Mas Pram beranjak ke kamarnya setelah menelpon nomor tak aktif. Sorot matanya jadi dingin. Fitria masuk kamar setelah aku memintanya. Tak selang berapa lama, Mas Pram keluar sambil memasang peredam suara ke moncong pistol 9mm.

"Le, ikut aku."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now