Model Bisnis

20.2K 2.1K 59
                                    

Hari ini seperti hari baru bagiku. Pikiranku terasa segar. Tak henti hentinya bibirku tersenyum saat merapikan meja kantor dan setumpukan berkas dokumen. Pikiranku jelas. Rencana kerjaku jadi terperinci gara-gara seorang Doni.

Kok bisa?

Semua bermula ketika Doni bicara tentang kehidupan pribadinya.

Siapa sangka dia anak kedua dari sebuah keluarga kaya? Siapa sangka orang tuanya ternyata pemegang saham PT. Griya Cipta Laksana? Aku tak menyangkanya. Aku juga tak menyangka jadi anak milioner ternyata tak seenak novel-novel Wattpad.

Seperti anak borju pada umumnya, masa kecil Doni sangat terjamin. Apapun yang dia mau tinggal sebut. Tapi dari ceritanya, aku baru tahu bahwa orang kaya ternyata punya budaya berbeda. Doni merasakannya. Dia baru merasakan pahitnya dididik sebagai mesin pencetak uang. Dan rasa pahit itu semakin terasa, ketika kakaknya sukses sebagai seorang pengusaha.

Doni mengalami nasib yang sama sepertiku. Dia selalu dibanding-bandingkan. Kakaknya selalu dijadikan standar yang harus diikuti seolah tak berhak punya hidup sendiri.

Mirip sekali.

Aku jadi merasa simpati.

"Bang, jadi anak orang kaya itu enaknya waktu kecil doang. Aku jarang bertemu bokap nyokap karena mereka sibuk. Mereka selalu di luar negeri waktu aku kecil. Cuma kirim duit. Tapi begitu aku besar, mereka bilang aku anak manja. Iya aku manja, tapi salah siapa coba?"

Aku tertegun dengan curhatannya. Aku lebih beruntung karena ayahku masih punya waktu.

"Sampai sekarang mereka masih sibuk sama bisnis, Bang. Kalau kami ketemu, mereka cuma mau bahas kakakku. Mereka cuma mau bahas bisnis. Mereka cuma mau tahu caranya melipat-gandakan duit. Masa aku dibilang investasi gagal?"

"Serius?" Aku jelas kaget. Tapi lebih kaget lagi karena Doni sangat menikmati makan malam kami. "Eh, masakan istriku tadi gimana?" ucapku agak segan. Aku sedikit malu karena hanya ada tempe dan tahu.

"Enak Bang. Soalnya aku diajak ngobrol sambil makan, hahahaha!" Doni tertawa dengan wajah polos. Dia berkata, "aku gak berani ngomong kalau makan malam sama bokap. Gak pernah dianggep."

"Kalau sama yang lain? Teman-temanmu misalnya?"

Ekspresinya langsung berubah. Nuansa benci bisa kulihat dari matanya.

"Memangnya penjilat bisa ngomong apa, Bang? Mereka bisanya cuma pura-pura setuju. Apalagi kalau makannya di resto five star. Kalau aku ngomong tai itu rasanya manis, mereka pasti bilang iya."

Aku tersenyum simpul.

Klasik sekali.

"Terus, kenapa betah bekerja di bawahku?" Kuulang lagi pertanyaan tadi yang belum sempat dia jawab.

Pemuda itu mematikan rokoknya di asbak. Gaya duduknya jadi elegan saat ekspresinya berubah serius.

"Karena aku suka kamu, Bang."

Kontan, aku duduk agak menjauh.

"Maksudku aku suka gayamu Bang, hahahahaha!"

Doni berkata bahwa aku sangat berbeda dari orang-orang yang selama ini dia temui. Katanya, aku orang pertama yang tidak takut dengan status dan kekayaan. Diam-diam dia mengagumiku. Rasa kagum itu semakin menjadi saat aku berani melawan pamannya sendiri.

"Aku pikir kamu tersinggung aku kasar sama Pak Nyoto."

"Heh, dia itu rajanya penjilat." Doni menjawab cepat. "Dia berlagak mengasuh aku cuma demi kiriman duit. Dia pikir aku anak bodoh." Ekspresinya semakin ketus. "Kalau aku ikut dia, selamanya aku jadi anak manja."

"Oh, berarti karena dia kamu jadi korup?"

Doni malu sendiri. Dia menundukkan muka setelah aku membuka boroknya.

"Bang, aku sudah komitmen buat gak makan duitnya bokap," ucapnya dengan ekspresi agak muram. "Tapi hidup sederhana itu susah, Bang. Aku terbiasa pegang uang. Maafkan aku."

"Oh, jadi karena itu juga kamu urusan sama preman?"

Doni mengangguk. "Iya. Sekarang aku sudah mulai bisa hidup tanpa duit. Aku belajar gigih dari Abang. Tapi sebelum ketemu Abang, aku hobinya hutang." Doni menyulut rokok lagi. Dia ubah gaya duduknya jadi mirip seperti Pak Asep. "Aku senang workshop kita akhirnya lepas dari PT. Griya Cipta Laksana. Aku bebas dari pengaruh bokap dan Nyot Nyot."

"Nyot Nyot?"

"Om Nyoto maksudnya, hahahaha!"

Aku mulai terkesan dengan sikap si Tuan Muda. Belakangan ini dia berubah dari anak arogan jadi seseorang yang menikmati pekerjaannya. Itulah alasanku tidak memecat. Dan aku jadi tahu alasan Doni masih loyal padaku, meski pantatnya sudah kapalan.

"Tapi kamu tahu sendiri perusahaan kita sedang gak jalan, bukan?" Gantian aku yang curhat. Kepalaku terlalu pusing hingga aku rela bicara dengan seorang mantan musuh.

"Iya, aku tahu." Dia menjawab santai dengan gaya seperti Pak Asep.

"Kira-kira kamu tahu gak kenapa pemasaran kita gak jalan?"

Doni tak langsung menjawab. Gayanya masa bodoh. Aku pun merasa bodoh menceritakan masalah manajemen ke anak manja yang hobinya berhura-hura.

Tanpa kusangka, Doni menjawabnya seolah-olah masalah itu sangatlah mudah.

"Model bisnisnya sudah Abang rancang?"

"Hah, model bisnis?" Dahiku sedikit berkerut. Doni baru saja menyebut mata kuliah paling membosankan di kampus dulu.

"Abang gak tahu model bisnis?"

"Aku tahu," jawabku cepat sedikit tersinggung. "Dulu aku kuliah manajemen."

Doni menatapku dengan mata meremehkan. Gaya songongnya kambuh lagi. Tapi aku harus sabar karena walau bagaimanapun dia adalah anak pengusaha. Ilmu yang dia dapat bukanlah dari teori, melainkan bukti valid dari keberhasilan orang tuanya.

"Bokap sering bilang bisnis itu bikin yang rumit jadi simpel. Dan sekolah bikin yang simpel jadi rumit. Pelajaran kampus itu cuma mencetak bawahan, bukan boss. Mental Abang mental bawahan kalau cuma modal ijazah."

Ugghhh ... ingin rasanya kutabok muka songong itu. Tapi aku harus bertahan demi ilmu si anak sultan.

"Okay okay Anak Muda, ceritakan dengan saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya."

Doni menjelaskan model bisnis. Sebuah konsep yang dipelajari mahasiswa manajemen bisnis. Tapi penjelasannya sangat simpel. Jauh berbeda dari gaya dosenku dulu. Lebih praktis. Doni memang anak pengusaha.

"Abang sekarang pusing karena gak tahu produk kita mau dijual ke siapa. Abang gak tahu apa pelanggan suka sama produk kita. Pokoknya bikin furniture, terus berharap semoga orang lihat terus beli. Hah! Itu sih, tuolol."

Gigiku bergemeretak. Bukan karena jengkel, tapi pendapat Doni adalah solusi yang selama ini aku cari. Pak Asep memang mentorku. Tapi beliau lebih banyak bicara filosofis daripada bicara teknis. Pak Asep terkesan membiarkanku cari cara sendiri, untuk mengukur apakah aku pantas jadi direktur.

Okay, Doni memang pemalas. Tapi isi kepalanya adalah aset yang harus kumanfaatkan. Aku beruntung diskusi dengannya. Tanpa menunda aku berdiri dan menutup pembicaraan dengan sebuah penawaran.

"Don, jadi manajer-

"Deal." Doni langsung setuju tanpa repot-repot bicara gaji.

"Serius? Soal gaji?"

"Gaji gak naik gak apa-apa. Tapi aku minta share."

Buset! Lancar sekali. Dia bahkan berani tidak dapat apa-apa kalau usaha kami tak kemana-mana.

Bocah ini luar biasa!

Terharu, aku merentangkan tangan dan berniat memeluknya.

"Doni saudaraku. Aku menyukaimu."

"Iya Bang, hiks ... Aku juga menyukaimu."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now