Pria Feminim

18.5K 1.9K 27
                                    

Tawaku tak bisa terhenti saat Izra meraba tubuhnya sendiri. Dia merasa gelisah dengan gelas air mineral yang kuselipkan di belakang popoknya. Tangan kecilnya berusaha meraih. Sesekali dia melihatku dengan tatapan meminta tolong.

"Dah dah."

"Ambil sendiri, masa gak bisa?" jawabku seolah mengerti bahasanya.

Anakku masih berdiri dah berusaha meraba lagi. Berkali-kali dia jatuh terduduk karena keseimbangannya yang belum sempurna. Gelas plastik itu masih terselip di antara popok dan pantat. Dia langsung berceloteh ke ibunya yang baru keluar dari dapur.

"Mah mah."

"Mas ini jahat banget sih?! Si dedek dibuat mainan!"

"Lah, kan dia gak nangis?"

"Memangnya mau Mas kerjain sampai dia nangis?" Fitria membebaskan si kecil dari gelas plastik. Dia lempar gelas itu ke arahku dan berlagak seperti pahlawan. "Ayah jahat ya, Nak? Dedek dibuat mainan mulu."

"Itu buat melatih keseimbangan. Dia kan baru bisa jalan?"

"Halah ngeles. Terus kemarin Mas lempar dia tinggi-tinggi buat apa? Kalau jatuh gimana?"

"Biar gedhe nanti jadi pemberani." Aku beralasan lagi.

"Bikin orang jantungan saja. Pantas laki-laki umurnya lebih pendek."

"Perempuan gak akan mengerti dunia laki-laki. Iya kan le? Ayo main lagi," jawabku sambil merentangkan tangan ke arah Izra. Tapi saat si kecil mau berjalan ke arahku, ibunya lebih dulu meraihnya.

"Mas gak lihat Dedek sudah capek?" Fitria cemberut. Dia tiba-tiba tersenyum nakal setelah memastikan di sekitar kami tidak ada orang. "Kenapa gak main sama ibunya?"

"Memangnya mau main apa?"

"Mas ini lugu apa bego sih?"

Aku tahu arah pembicaraannya kemana. Aku juga tahu si tengil itu hanya berniat menggodaku. Tapi aku tak terima dia permainkan. Kudekati si cantik itu dan memeluknya dari belakang.

"Sebentar lagi kita menikah."

"Mas yakin? Karir kita baru mulai loh."

"Gak akan ada habisnya kalau mengikuti karir."

Fitria menoleh perlahan. Napasnya mulai terburu saat pelukanku semakin erat.

"Terburu-buru itu gak baik, Mas."

"Dan menunda-nunda juga gak baik."

Mataku melirik sekilas. Kuraih jemari Izra yang sibuk bermain di pangkuan ibunya. Fitria membelai si kecil. Matanya menatapku dengan napas agak tersengal.

Dia tak perlu bicara apapun.

Aku tahu maunya saat matanya mulai terpejam.

"Assalamualaikum!"

Cepat-cepat kami berjauhan saat seseorang tiba-tiba datang.

"Izra gak kangen sama nenek?"

Bu Eulis menyapa Izra seusainya membuka pintu. Si kecil langsung berdiri menyambutnya, dan merentangkan tangan minta digendong. Sudah seminggu ini beliau ke Jakarta untuk menjenguk si anak tunggal. Dan hari ini beliau tak datang sendiri hingga kami harus menjaga sikap.

Yes! Kami langsung pura-pura normal ketika melihat seorang gadis di belakang Bu Eulis.

"Risma kenalan dulu sama Mas Handoko dan Teh Fitria."

Oh, dia yang namanya Risma?

Puteri tunggal Bu Eulis tinggi jenjang. Sekitar 165 senti atau kurang sedikit. Body body pramugari, kata orang. Tatanan make-up-nya juga mendukung perawakan itu. Usianya mungkin seumuran Fitria kalau dihitung dari semester kuliahnya.

Hmmm, cantik juga, pikirku. Risma pun dalam pengamatan, sampai tiba-tiba pinggangku ada yang cubit.

"Matanya minta di-ruqiah!"

***

Sejauh ini persiapan kami lancar. Kunci mobil sudah kupegang, urusan kerja pun sudah kudelegasikan ke Doni. Bocah pemalas itu cukup cakap walau ogah-ogahan. Aku tak ragu menjadikannya wakil meski pernah punya record buruk. Waktuku hanya seminggu. Tinggal satu urusan lagi yang harus selesai sebelum kami mengambil cuti.

"Mas, serius orang ini bisa membantuku?" Aku bicara melalui telpon. Lagu-lagu underground terdengar jelas di panggilan itu. Kami harus cepat selesaikan pembicaraan ini karena Mas Iwan terdengar sibuk.

"Iya. Dia yang selama ini memberi daku masukan soal gundah gulana dikau. Lebih baik bersua langsung."

Telpon ditutup. Aku masih belum beranjak dari mobil. Kupandangi pintu masuk gedung itu yang memberi banyak tanya di kepalaku.

Iya, aku sedang gundah gulana kalau pakai bahasa Mas Iwan. Jujur saja, aku sedang butuh masukannya. Tapi si kriwil itu masih sibuk dengan band metalnya yang sedang tour di luar negeri. Ini tentang kesiapan mental. Aku masih belum tahu apakah orang yang Mas Iwan maksud benar-benar bisa membantuku.

Bagaimana cara bicara dengan wali Fitria kalau aku mau menikahi keponakannya?

Apa yang harus kulakukan saat ijab kabul?

Bahkan orang tuaku belum tahu rencana ini.

Dan apakah orang yang Mas Iwan maksud itu konsultan pernikahan?

Tapi kalau iya, kenapa aku harus menemuinya di gedung itu?

Pikiranku kemana-mana saat tubuhku duduk di mobil. Kupadangi gedung fitness itu yang memberi nostalgia tersendiri. Itu bukan gym biasa. Itu adalah gedung latihan bagi pecinta seni bela campuran, atau MMA bahasa kerennya. Aku sering mengunjungi cabangnya di Surabaya. Aku bahkan pernah bekerja di Boxing Gym jaman kuliah.

Apa teman Mas Iwan ini pemilik gedung fitness?

Apa aku salah alamat?

"Ah, tak ada habisnya kalau cuma dipikir," gumamku saat keluar dari mobil.

Kusebrangi hiruk pikuk jalanan Bandung yang makin ramai. Kulihat beberapa mobil terparkir di sekitar gedung fitness. Bukan hanya nama, logonya pun sama seperti yang di Surabaya. Di dalam gedung itu juga terdapat ring oktagonal, persis seperti yang ada di acara UFC.

Hormon testosteronku menggelora. Bibirku tak berhenti tersenyum saat melihat beberapa orang sedang bertarung. Indah sekali, inilah duniaku. Tanpa sadar kudekati ring itu dan orang-orang bercelana loreng.

Akan tetapi, saat kulihat lebih jelas siapa yang sparring, aku spontan balik badan.

"Hei, mau kabur kemana?" Orang itu menegur. "Bukannya Iwan sudah bilang kita akan ketemu di sini?"

Kepalaku menoleh perlahan bersama senyum yang kupaksakan. Kupindai lagi postur pria itu yang lebih mirip mimpi buruk.

Seburuk apa?

Badannya tidak terlalu besar. Aku jauh lebih kekar darinya. Pria langsing itu juga 10 cm lebih pendek dariku. Wajahnya tidak maskulin, malah terlihat feminim. Pria itu terlalu tampan hingga lebih cantik dari seorang perempuan.

Aku sangat mengenalnya. Aku juga sangat mengenal skill bela diri pria itu, hingga tubuhku merespon tanda bahaya saat mataku melihatnya.

Pria bercelana militer itu adalah Mas Pram, kakak kandungku. Dengan seenaknya dia lempar sarung tinju ke arahku, diiringi tawa orang-orang di sekitarnya.

"Mas kangen mukulin kamu, Le. Ayo kita sparring!"

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang