Mental Cari Nilai

8.3K 1.2K 34
                                    

Fitria duduk telentang di atas sofa. Rambutnya terbalut handuk, wajahnya berbalur masker, dan matanya tertutup potongan mentimun. Lucu sekali. Tubuh imut itu menggelitik sikap usilku. Tapi Fitria mencegahnya, seakan tahu yang sedang aku lakukan.

"Mas, jangan bikin aku ketawa. Masker ini mudah pecah." Dia bicara pelan, sangat berhati-hati dengan gerakan bibir. "Dan aku tahu Mas nunjukin wajah meledek."

Aku berhenti julurkan lidah. Fitria lambaikan tangan agar aku duduk di bawah sofa. Dia langsung jepit leherku dengan pahanya, sedetik setelah telingaku kena jewer.

"Kemarin ngapain sok mesra sama Mbak Linda?"

"Siapa yang sok mesra?"

"Mbak Linda cerita semua. Dia tahu mata Mas jelalatan kalau lihat dia."

"Apa karena itu kalian akrab?"

Kuncian pahanya semakin erat, bahkan untuk praktisi Jiujitsu sepertiku. Dia masih jewer kedua telingaku dan mengayun-ayunkannya seperti mainan.

"Aku tahu Mas setia sama aku. Tapi Mbak Linda bilang laki-laki itu selamanya jadi bayi. Mereka suka penasaran. Mereka suka coba-coba. Dan kata-kata dia ternyata terbukti. Mas makin lama makin kegantengan mentang-mentang banyak yang naksir! Lama-lama Mas jadi nakal kalau gak dididik!"

"Hei, maskermu pecah!"

Fitria copot potongan mentimun dari matanya. Dia masukan potongan mentimun itu ke mulutku dan memaksaku untuk mengunyah.

"Bueehh! Jorok!"

"Macam-macam lagi timun ini ada cabenya! Lima kilo! Mau?"

"Beb, malu sama Dedek!"

Izra malah terbahak melihat ayahnya dianiaya.

"Awas nakal lagi. Pokoknya jaga jarak sama cewek-cewek! Terutama Mbak Linda!" Istriku berlalu setelah puas menghukumku.

Hari ini kami banyak waktu luang setelah realisasi pengadaan furniture. Proyek itu cukup besar. Perusahaan kami meng-cover 80% kebutuhan perabotan untuk PT. Griya Cipta Laksana.

Fase tersibuk Fitria sudah ia lalui. Jadwal istriku mulai longgar, hingga dia memutuskan untuk bisa berbagi waktu. Mulai kemarin istriku kuliah. Peran direktur keuangan ia titipkan sejenak pada Puteri, seorang asisten, wakil direktur, sekaligus sopir pribadinya. Fitria makin mirip boss sekarang. Secara defakto dia juga boss di rumah ini.

Dia atasanku yang tiap malam suka di atas.

"Serius nih gak ambil kuliah sore?" Aku bertanya saat istri sedang berdandan. "Kan sayang jadi bisa kerja sekaligus kuliah?"

"Lebih baik kuliah pagi, Mas. Ternyata di kampus itu aku boleh bawa bayi. Dan ada penitipan anak juga kalau aku ada kelas. Beberapa temanku juga bawa bayi."

"Tapi kan kamu harus fokus belajar. Gak bagus bawa bayi. Biar aku saja yang asuh Dedek."

"Mas kan harus fokus kerja? Kita gak bisa ngerepotin Mbak Linda terus. Kalau aku kuliah pagi sambil ngasuh Dedek, aku sore masih bisa kerja. Gantian Mas yang asuh dia."

Keputusan istriku cukup rasional. Dan akupun sependapat. Izra lebih butuh waktu daripada uang. Kesibukan kemarin telah merenggut sebagian haknya. Izra lebih banyak main sendiri waktu aku masih jadi Direktur Utama.

Syukur-syukur, saat ini waktuku luang sebagai karyawan.

Tak terasa si ganteng itu saat ini 32  bulan.

Istriku selesai dandan. Fitria mengenakan celana jeans dan kaos oblong bertuliskan, "I'm a mom", kaos couple yang kami beli sebelum menikah. Rambutnya pun ia gerai demi "vibe" wanita muda awal-awal kepala dua. Apalagi dia punya uang untuk perawatan. Penampilan itu jelas mengusikku.

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang