Misi Suami Istri

22.1K 2.1K 42
                                    

"Ehem!"

Tak kuacuhkan deheman itu. Tak kutoleh pula ibuku yang hilir mudik di belakangku. Aku berlagak mencuci piring untuk menyembunyikan wajah tak tenang.

"Ehem!" Ibuku berdehem lagi setiap kali beliau lewat.

Aku pura-pura tuli. Lama-lama ibu tak tahan dan mencolekku dari belakang.

"Duh, anak lanang sudah jadi laki-laki sekarang."

"Bu, tolong jangan dibahas lagi. Aku malu," ucapku memohon. Ibu terus menggodaku sejak tragedi di ijab kabul. Karena aku tak menolehnya, ibu menjewerku keras-keras.

"Diajak ngomong orang tua kok."

"Iya bu, sakit bu. Ada apa?"

Aku harap ibu tak mengungkit malam pertamaku dengan Fitria. Beliau terus berkata bahwa Izra masih terlalu kecil untuk punya seorang adik. Ucapan beliau memang masuk akal. Tapi aku tetap tak tahan dengan cara bicaranya yang ceplas-ceplos.

"Tuh, si Nduk jadi susah duduk. Untung gak pendarahan."

"Bu, aku mohon jangan dibahas lagi."

Ibuku terbahak-bahak. Beliau langsung menyindir saat menantunya keluar kamar.

"Ingat, Le. Bukan badanmu saja yang gedhe."

"Bu!"

"Aduh anakku lanang, hahahaha!" Ibu beranjak pergi begitu Fitria memberi sapa.

Bukan hanya aku, Fitria juga tak berani menatap ibu. Istriku bersikap manis seolah semua adalah salahku. Perempuan selalu benar katanya. Seluruh penghuni rumah tak ada yang tahu bahwa Fitria lah yang sebenarnya napsuan.

"Mas, cuti kita tinggal dua hari nih."

"Iya. Nanti sore kita pulang. Kamu udah mendingan?"

Istriku mengangguk pelan. "Tapi aku masih ingin di sini," jawabnya dengan nada memelas. "Bapak dan Ibu baik banget sama aku."

"Karena mereka gak punya anak cewek. Wajar lah."

Fitria sejenak celingukan. Dia toleh kanan kiri sebelum duduk di meja wastafel. Bibirnya tersenyum tengil. Aku tidak curiga saat dia mulai memanggil.

"Mas, sini! Ada yang penting."

"Apaan?" Aku menghampirinya setelah mencuci piring terakhir.

Kami dalam posisi berhadapan. Posisi wajah kami sama tingginya karena meja yang dia duduki. Kedua tangannya merangkul leherku. Kedua kakinya pun menjepit pinggangku, hingga terpaksa kusangga pantatnya.

"Minta gendong!"

"Nanti ada yang lihat gimana?" Aku agak panik. Sebisa mungkin aku menghindar saat bibirnya mau mencium. "Nanti ada ibu!"

"Kalau gitu kita ke kamar."

"Astaga, kamu gak capek?"

"Kalau gitu cium aku sekarang. Kita kan sudah sah?"

Mataku melirik sekitaran. Sayup-sayup kudengar suara Izra dan kakek neneknya di kejauhan. Suasana kondusif, pikirku. Tidak ada salahnya bersikap mesra saat istriku minta dimanja. Setelah memastikan aman, kucium bibir Fitria sebelum dia makin memaksa.

Ciuman itu seharusnya lembut dan cepat. Tapi Fitria melumat bibirku seakan lupa kami di mana. Bukan hanya dia, aku pun terpengaruh. Kududukan lagi pantatnya di meja saat tanganku mulai meraba.

Meraba dua benda yang mencuri hatiku sejak pertama kami bertemu. Benda itu seperti hipnotis. Bibirku tak bisa diam. Ciumanku mulai pindah dari bibir ke leher, ke bawahnya—

"Ehem!"

Deheman itu seperti petasan untuk orang jantungan.

Fitria sampai berteriak begitu sadar ada mertuanya di sebelah kami.

"Astaga, Le. Masih pagi kok. Sabar kenapa, toh?" Ibuku nampak syok. Dia jewer telingaku dan berkata, "ingat umur Izra. Belum waktunya dia punya adik."

"Inggih, Bu." Kami jawab bersamaan.

"Sana temui bapakmu. Ada yang penting katanya."

Aku tak berani mengangkat muka. Aku masih malu saat ibu pergi menggendong si kecil. Setelah hanya ada kami berdua, kucubit pipi Fitria dan agak jengkel menyalahkannya.

"Dasar nafsuan!"

***

"Cucuku nanti harus jadi tentara. Itu harga mati!"

"Iya, Ayah."

Sebelum kami pulang, ayah memintaku bicara berdua. Nampaknya ada hal penting yang agak segan beliau sampaikan. Aku bisa rasakan dari nada bicaranya. Tenang dan tegas. Khas komandan militer yang tak suka berbasa basi.

"Genggangam anakmu kuat. Jariku sampai sakit. Makan apa dia?"

"Minum ASI, Yah. Walau dia boleh makan bubur sejak enam bulan, aku ingin istriku tetap menyusuinya sampai umur dua tahun."

"Iya, stock-nya banyak." Ayahku bercanda dengan wajah datar. Jelas-jelas dia sedang menyinggung dada Fitria yang terlewat besar. Kolonel itu melirikku tajam dan memberiku nasihat penting. "Itu punya cucuku. Jangan ambil jatahnya."

BRUSSSHH!!!

Kopiku langsung tersembur.

"Nah, betul kan?" Ayahku mengambil kesimpulan.

Kami memang selalu terbuka. Tapi baru kali ini ayah lepas bicara dan mulai mau mengajakku bercanda. Dulu beliau seperti monster. Beliau pria kaku yang selalu bersikap dingin. Aku selalu menunduk saat berhadapan dengannya, dan hanya mendapat sepatah dua patah kata. Ayahku dulu seperti maharaja yang setiap katanya adalah titah, perintah, bahkan firman absolut yang memaksaku harus menurut.

Aku masih asing dengan perubahan itu. Aku bersedia bayar berapapun agar tahun depan, sepuluh tahun lagi, seratus tahun lagi ... ayah tetap seramah ini.

"Handy, mungkin ibumu sering cerita siapa ayah sebelum kami menikah." Nada ayahku semakin kalem. Beliau bahkan menggunakan kata "ayah" daripada "aku" untuk menyebut dirinya sendiri. "Ibumu anak orang kaya. Sedangkan ayah hanya anak miskin yang punya mimpi jadi perwira. Kakekmu menentang keras hubungan kami."

Untuk pertama kalinya aku mendengar cerita itu dari mulut ayahku. Ibu memang sering cerita kisah masa mudanya yang terdengar konyol dan berlebihan. Tapi sekarang cerita itu jadi mengena karena aku sendiri mengalaminya.

Ibuku sangat cantik. Dari beliaulah wajah Mas Pram berasal. Sedangkan wajah dan posturku 100% dari ayah. Karena latar belakang itu, aku jadi tahu perjuangan ayah mendapat restu dari kakek di pihak ibu.

Beliau bukan anak orang kaya yang bisa nyogok jadi perwira. Ayah menempuh jalur terjal. Beliau tak ragu menerima misi berbahaya demi pangkat yang lebih mulus. Sedangkan ibuku, beliau rela hidup miskin demi mendukung karir suaminya.

Percaya tidak percaya, ibuku Raden Ayu. Alias Ningrat.

"Ayah tidak ragu merestui kalian karena tatapan Fitria mirip ibumu. Siap hidup susah. Tapi kamu juga harus paham satu hal, Nak. Sekarang kita bicara sebagai sesama suami. Kamu tahu kenapa ijab kabulmu sepi, bukan?"

Aku mengangguk. Orang tuaku memahami kami. Ijab kabul itu serba tertutup dan para undangan wajib jaga mulut. Karena bukan kakakku saja, ayah dan ibu sangat menjaga nama baik Fitria.

Status janda itu mengundang cibiran. Dan tidak semua orang berpikir bijak seperti keluargaku. Sebagian kerabat masih memelihara pola pikir usang yang mendewakan keperawanan. Pesan ayah singkat dan jelas. Beliau ingin aku sukses agar bisa mengangkat derajat Fitria di hadapan keluarga.

Terutama keluarga Ibuku.

Aku paham itu. Aku juga tak keberatan saat ayah menyampaikankannya seperti komandan di medan perang.

"Ini misi pertamamu setelah menikah, Handy. Dalam waktu enam bulan dari sekarang, kamu harus pulang bawa mobil sendiri. Mengerti?"

Mendadak AyahTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon