Integritas

22.9K 2.1K 38
                                    

Irama rock 70-an melantun pelan di telingaku. Kalau tidak salah lagu ini Stairways to Heaven dari Led Zeppelin. Telingaku cukup familiar karena ayahku sering memutarnya. Sangat klasik dan elegan. Senada dengan suasana cafe yang kami kunjungi.

"Selera musik anda bagus juga. Jarang-jarang pria seusia anda menyukai musik rock lama."

Aku menjawabnya dengan senyuman. Mataku masih disibukan panorama Bandung dari cafe tempat kami berada. Lebih tepatnya Sky Lounge and Bar. Aku tak menyangka sedang berada di tempat ngopi paling elit. Lokasinya di puncak gedung hotel bintang lima. Rasanya jadi seperti eksekutif muda. Andai Fitria tidak memaksaku bersetelan rapi, aku pasti malu di tempat ini.

"Setelah sebulan, anda sudah paham situasi kita, bukan?"

"Iya, Pak. Saya juga memeriksa beberapa detail termasuk arus keuangan."

Pak Asep menyeruput kopinya. Dia mengamatiku lagi dengan cara duduk yang sekarang sedang kucontek. Aku berusaha bersikap kalem seperti dirinya. Seperti kata orang, kalau mau sukses, tirulah bagaimana manusia sukses bersikap.

"Anda menyesal jadi supervisor?" Pak Asep langsung bicara pada intinya.

Aku diam sejenak. Pertanyaan itu sudah kutebak. Hampir semalaman menyusun jawaban andai beliau menanyakannya.

"Tidak, Pak. Saya yakin anda punya alasan memberi saya jabatan itu."

Pak Asep tertawa kecil. Beliau seruput kopinya lagi dan berkata, "untuk itulah saya mengajak anda bicara di sini."

Aku menahan diri untuk tidak bernapas panjang. Keadaan workshop terlalu rumit, hingga aku ragu apakah keputusanku sudah tepat. Ini membingungkan. Tapi aku harus menjaga integritas di hadapan seorang direktur.

Sebenarnya, apa yang telah terjadi?

Seperti yang kubilang, workshop kami hanyalah usaha sampingan dari sebuah perusahaan property. Simpelnya, jika perusahaan induk yang jualan rumah, workshop kami yang menyediakan perabotannya. Kelihatannya sih sederhana. Tapi ada satu masalah yang membuat workshop itu di ambang bangkrut.

Masalah apa?

Dulu perusahaan induk memang mengambil perabotan dari workshop. Alasannya simpel. Produksi sendiri lebih murah dibanding beli. Tapi semua berubah sejak banjirnya perabotan impor. Mereka lebih murah. Pada akhirnya, perusahaan mengambil keputusan untuk menyudahi aktivitas workshop.

Alias dibubarkan.

Percaya tidak percaya, kontrak tiga bulan itu ternyata bukanlah kontrak. Melainkan sisa umur workshop sebelum memberhentikan semua pekerjanya.

Apa aku sanggup menjadi supervisor untuk usaha yang sudah bangkrut?

"Anda yakin tidak berubah pikiran?" Pak Asep memastikan lagi. Seakan menantang apa aku punya pendirian

Iya, aku tahu tanggung jawabku pasti berat. Bisa dibilang hampir mustahil. Aku pasti menolaknya andai aku hidup sendiri.

Buat apa mengambil resiko yang hasilnya tak seberapa?

Namun, ada Izra dalam hidupku. Ada ibunya di tanggunganku. Meniti karir di tempat lain sangat mustahil. Workshop itu kesempatan terakhirku untuk punya hidup layak. Itulah motivasiku. Hatiku bahagia saat membayangkan membeli mainan untuk anakku. Atau membeli skin care untuk ibunya. Perawatan katanya mahal. Aku butuh uang agar Fitria bisa dandan.

Tekadku sudah bulat.

Berenang atau tenggelam!

"Kalau saya tidak yakin, saya langsung menolak tawaran anda, Pak Asep. Dan kita tak mungkin di sini jika workshop memang tak ada masa depannya. Saya punya Integritas."

***

Integritas?

Apa itu integritas?

Aku tak yakin istilah itu pernah diajarkan di sekolah. Kalaupun ada, paling-paling materi hafalan. Integritas adalah sesuatu yang hanya dimiliki orang-orang berkarakter. Intinya, apa yang mereka katakan harus sesuai dengan apa yang mereka lakukan.

Termasuk integritasku pada Pak Asep.

Aku tak boleh menyesali keputusanku sendiri.

"Mas Handoko, saya dan seorang sahabat mendirikan PT. Griya Cipta Laksana dari nol. Dari jaman ketika saya masih pegang gergaji. Dulu saya cuma tukang. Dan workshop tempat anda bekerja adalah titik awal perusahan kami. Dari usaha kecil yang awalnya jualan lemari, dalam 20 tahun berkembang jadi perusahan property ternama di Jawa Barat."

Aku langsung menangkap alasan di balik keputusan Pak Asep mempertahankan workshop itu. Namun, rasionalitas lebih penting dibanding emosi. Aku lebih tertarik hal lain daripada mendengarkan cerita sejarah. Realistis saja, jadi supervisor dalam sekejap itu tak masuk akal. Apalagi yang mengangkatku seorang direktur.

"Ada yang mau anda tanyakan, Mas Handoko?" Pak Asep menangkap ragu yang mungkin terlihat dari ekspresiku.

"Pak Asep, saya tak yakin sosok sekaliber anda mengambil keputusan karena masalah sentimentil. Pasti ada alasan lain merekrut saya, bukan? Bagaimana kalau kita persingkat dengan bicara apa adanya?"

Sikap tenang Pak Asep sedikit goyah. Beliau menatapku tajam sebelum tertawa bertepuk tangan.

"Saya takjub kalimat itu diucapan seseorang yang usianya separuh usia saya. Karakter anda menarik, Mas Handoko. Lugas, tak suka basa-basi. Orang seusia anda biasanya memilih menyenangkan hati orang lain daripada bicara to the point. Saya suka itu."

Aku berusaha fokus untuk tidak termakan pujian. Logikaku berkata bahwa Pak Asep makhluk efisien. Dia selalu mengedepankan untung dan rugi. Mirip sekali dengan ayahku.

"Okay, dengarkan ini baik-baik, Mas Handoko. Saya adalah salah satu dari lima orang paling berpengaruh di perusahaan. Dan anda pasti paham masalah apa yang sedang kami alami, bukan? Saya sepakat agar workshop mulai produksi untuk pasar di luar perusahaan. Lebih profitable. Tapi saya butuh pengelola."

"Dan pengelola itu saya?"

Pak Asep mengangkat cangkirnya sebagai jawaban.

"Anda pria tegas yang mampu memimpin. Tapi soal gaji, saya yakin anda sudah berpikir soal ini."

Aku mengangguk. Inilah masalah yang paling memusingkanku. Melihat keuangan workshop, aku harus siap kerja murah. Aku sudah menghitungnya dengan Fitria. Masalah ini bukan hal yang bisa kuputuskan sendiri.

"Saya butuh waktu untuk bicarakan ini dengan seseorang, Pak Asep."

"Istri anda?"

Aku mengangguk. "Iya, dia yang membantu saya meneliti laporan keuangan."

Ketenangan Pak Asep terusik lagi. Beliau menggelengkan kepala sebelum meminum sisa kopinya.

"Anda pemuda potensial dan istri anda juga sangat mendukung. Benar-benar paket komplit," lanjut Pak Asep beranjak. Namun belum sempat beliau melangkah, matanya melirik kue mahal yang terhidang di samping kopiku.

"Kenapa tidak dimakan? Anda tidak suka?"

Wajah serius berganti wajah malu. Makanan penutup itu sengaja tidak kusentuh sekalipun mulutku agak berliur. Kue itu pasti lezat. Aku bisa bayangkan wajah semringah Fitria saat dia memakannya.

"Segera hubungi saya setelah anda putuskan soal gaji, Mas Handoko."

Aku mengangguk. Dan begitu Pak Asep pergi, dengan muka badak aku meminta sesuatu ke pelayan cafe.

"Mbak, tolong kuenya dibungkus ya. Sekalian sisa yang punya bapak tadi."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now