Perubahan Sifat

7K 985 46
                                    

"Pram sama Pak Handoko beda, ya? Apa mereka saudara kandung?"

"Iya. Tampangku gak ramah lingkungan."

Linda dan istriku terbahak-bahak di bangku belakang.

"Maksud saya, watak kalian berlawanan. Pak Handoko orangnya polos urusan lawan jenis. Tapi Pram sangat peka."

"Iya Mbak, betul!" Istriku ikut nimbrung. "Waktu kami pertama bertemu, Mas Pram dulu langsung tahu kalau aku cinta mati sama adiknya. Padahal aku bersikap biasa-biasa, loh. Dia juga tahu kalau aku takut suatu saat nanti Mas Handoko punya pacar terus ninggalin aku. Makanya dia maksa aku lebih tegas. Mas Pram memintaku lebih agresif. Padahal aku pemalu."

Cuih!

Pemalu dari Hongkong?

Tak ada perempuan pemalu yang hobinya menduduki mulut suami.

"Bagi orang yang tak punya pengalaman seperti Pak Handoko, kemampuan Pram bagaikan sihir."

"Betul!"

"Terima kasih pujiannya. Bisakah kalian berhenti bergosip?"

Linda perempuan yang sangat anggun. Tapi jika kumpul dengan Fitria, dia seperti MC infotainment. Wanita pelit bicara itu jadi cerewet setiap kumpul dengan istriku. Perempuan itu sangat tajam. Dia sangat mengerti aspek psikologi dari pengalamannya berinteraksi. Istriku makin dewasa gara-gara dia cekoki.

"Fit, aku punya teman yang bekerja di stasiun televisi. Bagian post produksi. Salah satu tugasnya adalah membantu produser menayangkan jadwal sinetron. Kamu tahu, apa yang dia keluhkan?"

Sambil menyetir, kulirik mereka dari spion. Pembicaraan Linda sangat menarik. Aku juga betah mendengar ceritanya yang seringkali out of the box.

"Setiap tahun, stasiun televisi tempatnya bekerja selalu menanyangkan cerita yang sama. Judulnya berbeda, artisnya berbeda, tapi naskahnya sama persis. Dia sampai bisa menebak sinetron senjenis, bahkan sebelum menjadi naskah."

"Cerita apa, Mbak?"

"Cerita tentang istri yang alim di rumah, punya suami kerja kantoran, terus suami itu selingkuh dengan perempuan seperti saya."

DEG!

Baik aku ataupun Fitria tak berani berkomentar.

"Ajang pencucian otak, Fitria. Sudah tak terhitung judul sinetron yang bertema seperti itu. Hampir semua stasiun TV pernah merilis. Di novel-novel juga banyak. Mereka mengedukasi penonton bahwa perempuan yang baik diam dirumah, sedangkan wanita karir, apalagi sekretaris selalu jadi pelakor jahat."

Diam-diam kutelan ludah.

Aku sampai nimbrung karena topiknya jadi berat.

"Apa itu berpengaruh, Bu? Dilihat dari manapun, anda bukan perempuan seperti itu."

"Saya yakin, kesan pertama anda tak seramah ini kepada saya."

Aku langsung merasa tak enak. Karena jujur saja, saat pertama kali mengenal Linda, aku sempat berpikir dia punya hubungan "spesial" dengan Pak Asep. Yah, tipe-tipe perempuan yang jual badan demi jabatan. Fitria pun ikut terdiam karena kuyakin dia pernah berpikiran sama.

"Di dunia ini banyak perempuan seperti saya. Kami berusaha profesional. Tapi setiap saya punya parner laki-laki, mereka pasti menggoda saya. Dan saya yang selalu disalahkan. Saya sering dilabrak seolah-olah saya yang menggoda suami mereka."

Pembicaraan makin serius sampai Linda menggunakan bahasa formal. Dia benar. Pelakor kantoran bukan wanita professional seperti Linda. Melainkan karyawati yang bekerja karena syarat "berpenampilan menarik." Selain di divisi marketing dan CS, syarat itu sudah dibuang.

"Ini karena cuci otak yang masyarakat terima dari media. Efeknya mengerikan. Perempuan enggan meniti karir karena takut stigma buruk. Sedangkan perempuan yang kuliah tinggi-tinggi, mempertajam skill, menangangi proyek besar, justru dianggap wanita gatal. Saya yakin, andai saya tokoh novel, 90% pembaca pasti menyangka saya pelakor, hahahaha! Indonesia."

Aku merasa tersindir. Sekaligus kagum heran dengan Linda yang makin lama makin berbeda. Perempuan robot itu semakin luwes. Saat ini sering tertawa. Mungkin karena kedekatannya dengan keluargaku.

"Mbak betah sama kami?"

"Iya, aku punya adik, tapi dia jaga jarak. Justru kamu yang seperti adik perempuanku sendiri. Ada Izra yang lucu, ada Pram yang hawa-hawanya minta ditabok, dan ada suamimu yang cerdas sebagai pemimpin, tapi terkadang O'on."

***

"Hahahaha! Maaf, saya tidak bermaksud menyinggung, Pak Handoko."

"Saya tidak tersinggung. Tenang saja."

"Tapi wajah anda kusut."

"Lupa disetrika, tadi."

Wanita kaku itu terbahak-bahak. Dua tahun lebih mengenalnya, akhir-akhir ini sering tertawa. Orang-orang kantor sampai heran. Terutama Pak Asep yang sudah lama mengenalnya. Nampaknya, Mas Pram lah yang membuatnya bisa berubah seperti sekarang.

Buaya itu mengerikan.

"Pak Prasojo sudah tetapkan struktur manajemen baru perusahaan kita. Sesuai standard Silver Bridge." Di sebelahku, setelah mengantar Fitria di kampusnya, Linda baru berhenti mem-bully-ku saat membahas pekerjaan.

"Anda di bagian apa?"

"Public Relation, tepat di bawah anda. Saya sendiri yang mengajukan, Pak Handoko."

"Hah? Public Relation? Kok jauh-jauhan?"

Linda tertawa lagi.

"Iya, saya tahu, public relation memang kurang cocok. Saya wanita kaku. Sedangkan PR butuh kemampuan komunikasi."

"Anda merasa tertantang?"

"Iya. Anda sendiri? Anda ditempatkan di perusahaan konstruksi, loh."

Fokus menyetirku sedikit terganggu karena kabar itu. Entah kenapa Prasojo menempatkanku sebagai pimpinan untuk perusahaan yang sama sekali bukan bidangku. Aku bukan lulusan teknik sipil dan tak paham dunia itu. Linda jelas membaca gelagatku dan membubuhi kabar buruk.

"Peresmian perusahaan tahun depan, Pak Handoko. Anda punya waktu 365 hari menguasai teknik sipil dan arsitektur."

Aku jelas makin cemberut.

"Bahkan setelah saya jadi CEO, orang itu masih memberi misi mustahil. Butuh kuliah bertahun-tahun untuk mendalami teknik sipil. Dan masih butuh bertahun-tahun lagi di arsitektur. Dia sedang sentimen atau bagaimana?"

"Hahahaha! Berani ambil tantangan? Masa kalah sama saya?"

Begitu tiba di tempat parkir, kubukakan pintu untuk Linda. Kebiasaan itu selalu dia balas dengan ucapan terima kasih. Wanita itu makin ceria. Namun, ekspresinya agak berubah saat security tiba-tiba menghampiri kami.

"Ada tamu untuk anda, Bu."

"Saya tak merasa punya temu janji."

"Saya sudah bilang Bu. Tapi orangnya tidak mau pergi. Katanya dia kerabat Ibu dari Jakarta."

"Kerabat?" Spontan, kuucapkan kalimat familiar yang pernah kudengar. Naluriku langsung siaga karena keadaan ini sangat tak asing. "Siapa namanya?" tanyaku tegas.

Security itu menunjukan gelagat mengingat-ingat. Sesekali dia garuk kepala karena sebuah nama yang sedang ingin bertemu Linda. Setelah beberapa saat, security itu menjawab lugas pertanyaanku.

"Namanya James. Katanya dari Cempaka Putih."

Secara impulsif kutoleh Linda untuk membaca reaksinya. Perempuan itu kontan membatu, hingga aku merasa bahwa dia tahu namanya. Ada ketakutan yang dia tunjukan. Tangannya pun agak gemetar saat bibirnya terbata-bata. Setelah menenangkan diri, Linda memberi pesan ke security, bersama sebuah ekspresi yang baru kali ini kuketahui.

"Tolong usir dia. Hubungi polisi kalau memaksa bertemu saya."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now