Teknik Parenting

8K 970 22
                                    

"Pfft! Pfftt! Pfftt!"

Bag! Bag! Bag!

"Bagus. Sekarang jab cross, roundhouse."

Mata tajam, alis tebal, Izra makin maskulin di usianya ke empat tahun. Aku sering berkaca gara-gara mata itu. Dia mirip aku. Sedang hidungnya yang imut mancung mirip ibunya. Begitu pula bibirnya yang mungil menggantung. Persis bibir ibunya yang sering kali dimonyong-monyongkan.

"High guard, teep, shuffle, low kick!"

Brak!

"Ahahaha, acu catoh," gelaknya.

"Tekniknya salah. Tirukan ayah."

Aku beranjak, memperagakan teknik sulit di Muay Thai. Tentu saja dengan cara anak-anak. Walau logikanya sudah terbentuk sejak umur tiga tahun, Izra tetap balita. Dia hanya tahu dan hanya mau melakukan sesuatu yang dia anggap menyenangkan. Mata antusiasnya mirip Fitria. Begitu pula ambisinya. Tapi persistensi, atau kegigihan si kecil mengambil dariku. Dia produk sempurna kami berdua.

"Lihat, tirukan pelan-pelan." Kuperagakan teknik mengganti footwork dari Orthodox jadi Southpaw.

"Ginyi?"

"Betul! Setelah itu pivot pakai kaki kanan, tendang pakai kaki kiri."

Brak!

"Hahahaha! Catoh lagi."

Kulepaskan focus pad di kedua tanganku. Kuacak-acak rambut puteraku yang makin memanjang. Rambutnya tebal seperti rambutku. Aku bisa melihat puteraku nanti tumbuh besar sebagai seorang pria maskulin.

"Sayang, sini sebentar."

"Masih melatih Dedek."

"Bantuin kemas-kemas. Ayah sudah menelpon. Beliau sudah kangen sama Dedek."

Posisiku masih jongkok, teknik parenting berbicara dengan balita. Aku ingin jadi orang tua yang sekaligus kawan mainnya. Tapi ibunya sedang memanggil. Kuacak-acak rambutnya lagi sambil sesaat menepuk samsak.

"Jab cross 10 menit, roundhouse 10 menit. Habis itu cuci piring. Mau duit jajan, kan?"

"Iyaaaa!"

Rasanya, baru kemarin si ganteng itu empat bulan. Puteraku masih menggemaskan sampai sekarang. Walau belum sekolah, Izra punya banyak pengasuh yang mengajarinya berbagai hal. Paling banyak Linda. Wanita itu mengajarinya bahasa dan matematika, sekaligus cara bersikap. Izra harus tetap rendah hati walau kami tak kekurangan. Toh, tak ada yang perlu dia pamerkan.

"Mual lagi?"

"Iya."

Kuelus-elus punggung istriku yang masih sibuk berhoek-hoek. Wajahnya masih pucat. Fitria tak enak badan beberapa hari ini. Hampir tiap pagi mual-mual.

"Mas, Dedek les bahasa, ya? Mas tahu anaknya rekanan kita? Mereka sudah jago Bahasa Mandarin loh. Padahal seumuran Dedek."

"Apa kita ngobrol sama Dedek pakai Bahasa Mandarin? Apa kakek neneknya ngobrol pakai Bahasa Mandarin?"

Istriku menggeleng. Sekeras apapun kepalanya, dia harus menurut urusan mendidik anak. Inilah tantangan kami sebagai keluarga di pergaulan elit. Istriku mulai terpengaruh gaya sosialita ibu-ibu kaya yang isinya pamer semua.

"Dedek sudah diajari Bahasa Inggris sama Mas Pram. Itu saja jarang dipakai. Dan lidahnya masih cadel. Masa gak kasihan? Lebih baik ajari dia Bahasa Jawa halus. Kamu tahu sendiri keluarga ibu, bukan?"

"Kan aku malu, Mas? Masa anak-anak bawahan kita pinter-pinter, Dedek biasa-biasa?"

Kubelai rambutnya.

Perlakuanku masih sampai walau kami sejauh ini.

"Anak bukan ajang pamer, sayang. Kita punya cara sendiri mendidiknya. Walau anak-anak mereka jago berbagai bahasa, apa itu keinginan anak? Dedek memang lambat bicara. Karena dia seperti aku. Lebih suka fisik."

"Tapi kan mumpung masih kecil. Mumpung memorinya masih mudah menyerap banyak hal."

"Karena itulah kita ajari yang bermanfaat. Nurut, ya?"

Kulirik Izra yang beres-beres peralatan gym. Wajah cerianya tak mungkin kutukar dengan wajah bangga kami karena anak bisa dipamerkan. Iya, kami adalah OKB. Dan semua OKB mengidap virus bernama gengsi. Fitria harus ingat jerih payah kami sebagai vaksin. Dan itulah yang kami ajarkan ke si kecil.

"Kita mendidik Dedek untuk sadar tak ada yang gratis. Dia paham itu. Kalau mau jajan, dia harus lakukan sesuatu. Kalau minta ponsel, dia harus tahu ada harga untuk itu." Kulirik puteraku yang saat ini mencuci piring. "Kamu pekerja keras, Fitria. Aku juga. Dedek harus tahu orang tuanya bisa kaya bukan karena dari sononya."

Senyumnya menyimpul. Fitria makin penurut walau aku tak memaksanya. Hampir empat tahun menikah, aku masih takjub punya istri sesempurna dia.

"Kemas-kemas, gih. Aku mau cek mobil dulu. Ayah sama ibu sudah kangen di Surabaya."

"Bawa oleh-oleh apa?"

"Ibu belikan skincare. Ayah sama Mas Pram minta Wine. Aku sudah telpon Pratama buat siapin minumannya. Dan bawa jaket tebal. Biar gak masuk angin."

***

"Ayah, Bunza Yinda kok gak ikot?"

"Bunda Linda sibuk. Biar kita bisa liburan ke rumah kakek."

"Nanti ajak ya?" balasnya dengan kata terpatah-patah. "Kan kacian Bunza cendilian?"

Di sepanjang perjalanan ke Surabaya, puteraku berceloteh di bangku belakang. Lidahnya masih cadel walau ngomongnya sudah fasih. Kosa katanya semakin banyak karena diasuh wanita sabar. Linda betah di rumah karena adanya Izra. Sekaligus ruangan kantor di mana kami sering lembur.

Wanita itu semakin sibuk.

"Terlalu sibuk untuk Mas Pram." Istriku mengeluh. "Mbak Linda workaholic. Dia kalau kerja gak kenal waktu. Padahal Mas Pram sudah gak aneh-aneh lagi setahun ini."

"Umur 31 itu tak muda lagi. Mas Pram mungkin capek main-main."

"Dan Mbak Linda sudah 36." Istriku makin cemberut. "Dia itu serius apa enggak sih sama Mas Pram? Enggak ada effort. Aku kesel lihatnya. Jadi cewek kok pasif banget sih? Ntar keduluan orang baru terasa."

Aku menahan tawa. Untuk wanita seagresif istriku, tingkah Linda sangat mengganggunya. Dan inilah perbedaan karakter mereka berdua. Istriku buas. Dia lah yang menembakku lebih dulu, setelah itu membuatku tak berkutik. Linda sebaliknya. Dia bukan tipikal wanita pemaksa.

"Ck! Coba kalau Mbak Linda bisa hamil. Kondomnya Mas Pram yang dilacinya itu kugunting semua. Biar jebol. Biar mereka nikah. Biar kapok."

"Ada Dedek, gak boleh gitu."

Istriku menutup bibir. Dia toleh ke belakang demi menengok buah hati kami. Izra sedang sibuk video call.

"Icha, acu mau ke Culabaya loh cama ayah bunza."

Kami geli sendiri mendengarnya berceloteh. Gaya Izra seperti orang dewasa. Icha, puteri Pratama, sekaligus balita pertama yang berteman dengan putraku, terlihat lucu di video call. Obrolan mereka random dan aneh-aneh. Kadang bahas kami, kadang bahas kakek nenek, kadang bahas gajah.

"Muaaach!"

"Eeehh! Siapa yang ngajarin?" Fitria panik melihat puteraku mengakhiri telpon dengan ciuman jauh.

"Pade Plam."

Aku dan Fitria saling melirik. Mas Pram sudah memberi pengaruh buruk. Syukurlah Izra tak ketularan penyakit playboy seperti Pak Dhe-nya yang ganteng itu.

"Hai Hestia, muuaacch!"

"Hhheeeh! Gak boleh gitu!" Fitria makin panik saat Izra sedang menelpon gadis kedua. "Hapenya bunda sita— hoeeek!"

Aku sontak panik saat bajuku dihiasi bekas sarapannya. Fitria semakin parah. Baru kali ini dia mabuk perjalanan sampai muntah-muntah. Pada akhirnya kami menepi. Kupilih mampir sejenak menuju klinik karena istriku sedang sakit.

Hasilnya?

Dokter memberi kabar tidak terduga.

"Istri anda hamil."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now