Menginjak Ranjau

6.6K 1.1K 35
                                    

Aku senang kesan pertamaku sangat bagus pada mereka. So far so good, perusahaanku akan jadi perusahaan pertama di Indonesia yang akan mereka biayai. Melobi keduanya sangat sulit. Serius, aku harus jaga mood mereka demi trilyunan dana yang siap turun.

kubukakan pintu ruang rapat. Badanku sedikit membungkuk dengan senyum makin melebar. Tapi belum sempat kupegang knob pintu, seseorang lebih dulu membukanya.

Orang itu adalah Nyoto.

"Pak Nyoto, rapat segera dimulai, mohon segera duduk di kursi anda." Karena ada Respati dan Herlyn, aku bersikap sesopan mungkin.

"Aku mau kencing, minggir!" Dia dorong badanku dengan tidak sopannya.

Aku memberi kode mata agar dia menjaga sikap. Tapi Nyoto terlalu bodoh untuk bisa memahaminya. Celakanya, saat berhadapan dengan tamu penting yang kubawa, si botak itu juga tak sopan mendorongnya.

"Kalian tidak lihat saya mau lewat? Saya ini direktur! Minggir!"

Deg!

Si tua bangka itu benar-benar tak tahu tempat. Aku gelagapan sampai-sampai memberi kode mata ke si Nyoto. Tapi si keparat itu tak paham-paham. Dia justru tersenyum genit ke Bu Herlyn, wanita cantik yang jelas-jelas bukan kelasnya.

"Who's that guy?" Perempuan itu jelas tersinggung begitu Nyoto melewatinya.

"Don't mind it."

"Apa kita seperti lelucon di sini?"

"Bersabarlah. Okay?"

Syukurlah, Respati terlihat santai. Pembawaannya mirip Mas Pram. Suka tersenyum pada siapapun. Bahkan kepada Nyoto yang baru saja menginjak ranjau. Walau Respati seperti CEO di novel-novel, tapi perangainya tidak bau kencur seperti CEO di novel populer. Dia bukan pengusaha anak mami yang membatalkan bisnis hanya karena terkena senggol.

Namun, aku tetap tak nyaman karena dia malah mencegat direktur tua.

"Oh, maaf Bapak direktur. Kalau boleh tahu namanya siapa?"

"Nama saya Nyoto Rahardjo Dharmoningrat. Direktur Marketing. Ingat nama itu baik-baik."

"Pasti saya ingat, Pak Nyoto. Pasti sayang ingat baik-baik."

Aku merasa malu saat pengusaha itu tersenyum ramah pada seorang direktur idiot. Tua bangka itu masih belum paham. Dia baru tahu siapa Respati setelah Prasojo datang karena mendengar keributan.

"Pak Respati?" Bahkan sosok seukuran Prasojo pun membungkukkan badan. "Rapatnya segera dimulai, mohon Bapak duduk di kursi yang kami sediakan." Dia toleh perempuan cantik di samping Respati yang terlihat kesal karena ulah direktur botak. "We're really sorry, Ms. Herlyn, please come inside."

Chairman muda itu memberiku kode untuk mengantar tamu kami. Seperti pelayan restoran, kupersilahkan mereka duduk di kursi VIP tepat di sebelah Linda. Wajah Respati kontan berubah. Mood dia semakin baik saat sekretaris cantik menyodorkan tangan halusnya.

"Nama saya Melinda Kusuma, saya sering mendengar tentang anda, Pak Respati."

"Berita tentang saya selalu berlebihan, Bu Linda. Perempuan secantik anda lah yang lebih cocok masuk majalah bisnis."

"Pak Respati pandai memuji," balas Linda tertawa menutup bibirnya.

Wajah pengusaha itu semakin manis. Tanpa sadar, aku berdehem hingga Respati mengakhiri basa-basi. Aku hafal modus itu. Sosok Respati tak jauh beda dari Kakakku. Buaya berdasi itu pun mendekatiku, merangkulku dan bicara berbisik tanpa Linda tahu.

"Sepertinya anda punya hubungan istimewa dengan si cantik ini."

"Tidak seistimewa itu Pak, kami hanya tinggal satu atap. Bagaimana dengan Bu Herlyn?"

Respati melirik biasa pada partnernya. "Tidak seistimewa hubungan anda dengan Bu Linda. Kami hanya rekan bisnis."

Aku ikut melirik partner Respati yang sedari tadi silangkan tangan. Wajah Herlyn nampak biasa, tapi sekilas matanya memicing saat Respati merayu Linda. Aku juga hafal perangai itu. Sebagai suami dari wanita eksekutif, aku sangat tahu bahwa Herlyn sedang cemburu.

Ingin kusampaikan pengamatanku pada si tampan mata keranjang. Tapi belum sempat balas berbisik, seseorang lebih dulu masuk ruangan, dan menegur kami yang saat ini berangkulan.

"Saya baru tahu anda berdua sudah akrab," tegur Prasojo sembari duduk di kursinya. "Silahkan duduk, Pak Respati, Pak Handoko."

Respati menggeser label nama Linda dan menggantinya dengan namaku. Sekretaris itu langsung mengerti dan sesegera mungkin bertukar kursi. Mungkin tamu kami merasa tak enak karena merayu istri orang. Aku pun duduk di sebelah Respati, dan bersikap kalem seperti layaknya eksekutif.

Respati mengamati cara dudukku.

Dia berbisik, "sepertinya anda pernah jadi pucuk pimpinan."

"Darimana bapak tahu?"

"Insting."

Iya. Instingnya benar. Aku mantan CEO sekaligus pemegang saham. Aku juga punya kasta dan ingin menunjukan pada peserta rapat. Hari ini kuakhiri penyamaran bodohku. Setelah Prasojo membuka acara, tanpa banyak untaian kata, beliau membuka identitasku pada seluruh undangan yang sudah datang.

"Pak Handoko adalah auditor khusus yang saya sewa sendiri di perusahaan ini. Identitas asli beliau adalah mantan Direktur Utama, pendiri, sekaligus chairman PT. Teruna Cipta Furniture. Jadi jangan pertanyakan lagi kenapa beliau duduk di bangku VIP."

Separuh peserta saling menoleh ke sesamanya. Sebagian bertanya-tanya, sebagian lagi menunjukan wajah cemas.

Terutama si Nyoto.

Prasojo menyiram bensin ke kobaran api, dengan mengenalkan siapa sebenarnya sosok Respati.

"Dan orang di sebelah Pak Handoko bernama Respati Mahesa Asyura. Beliau dan Bu Herlyn adalah representasi Silver Bridge Corporation, Financial Advisory yang mengalirkan dana dari investor global. Perusahaan kita adalah perusahaan pertama di Indonesia yang akan jadi klien mereka. Saya yakin anda pernah dengar nama beliau kalau anda tak malas membaca."

Sebagian orang kaget.

Sebagian lagi pura-pura kaget agar dipandang berpendidikan.

Apalagi Nyoto yang sampai rela batal kencing. Direktur itu mulai ketar-ketir saat Respati memberinya senyuman ramah.

"Salam kenal, Bapak Nyoto."

"Sal—salam kenal, Pak Respati." Direktur itu terbata-bata.

Diam-diam kutatap Nyoto. Saat dia menolehku, tanpa suara, dengan seringai aku berkata ...

"Mampus!"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now