Slow Motion

734 99 0
                                    

"Tadi Bunda sudah rekap?" Aku berusaha alihkan isu.

"Iya. Tadi dibantu Clarissa. Dia langsung laporan." Istriku duduk merapat di sebelahku. Semenjak hamil, kegiatan fisik apapun dia lakukan dengan slow motion. "Termasuk remunerasi. Dan Bunda juga sudah setor ke Mbak Linda untuk diajukan ke pemegang saham. Ayah sih kelamaan."

Abidin nampak tegang. Fitria kembali bicara dengan wajah terlihat santai.

"Tadi sampai mana, Din? Ibu boleh dengar kan?"

"Boleh, Bu Fitria. Boleh pakai banget. Tadi kami ngobrol soal melatih keberanian. Pak Handoko pernah melatih saya saat nembak Clarissa."

"Benarkah? Wah, suamiku keren banget!"

Seharusnya aku bangga. Suami manapun pasti gembira kalau dipuji di depan istrinya sendiri. Tapi perasaanku mulai tak enak. Apalagi saat Fitria melempar tanya bertubi-tubi.

"Latihan macam apa nih? Motivasi? Praktik? Sumpah Ibu penasaran!"

"Dulu waktu nembak Clarissa, Pak Handoko memotivasi saya untuk lebih berani. Seperti saat beliau menembak ibu."

"Seperti saat nembak saya?" Fitria agak kaget. Auranya menjadi lain.

"Iya, Bu. Dan ternyata terbukti!"

"Begitukah?" Ibu muda itu pun semakin ramah. Dan sebagai suaminya, aku hafal sikap ramah itu larinya akan kemana. "Memang Pak Handoko cerita apa?"

"Pria harus berani nembak duluan, Bu."

"Oh?"

Keringat dinginku mulai mengalir. Aku tak berani memandang istriku saat Abidin ceplas-ceplos. Celakanya lagi, diam-diam dia mencubit paha saat aku coba menyela.

"Nembak duluan ya? Terus Pak Handoko bicara apalagi?"

"Haram bagi cewek nembak duluan, Bu. Kata-kata mutiara ini tak mungkin saya lupa!"

"Begitukah?" balasnya dengan cubitan semakin sakit.

Sialan kau Abidin!

"Pak Handoko hebat, Bu. Dia bilang langsung nembak begitu beliau jatuh cinta. Gak pakai lama. Perasaan cewek gak boleh digantung, katanya."

"Hei! Kapan aku ngomong gitu?"

Cubitan yang awalnya diam mulai berputar seperti skrup. Wajahnya makin manis di kala mata saling bertatap.

Abidin masih belum sadar.

Dia belum juga sadar telah membuka kotak pandora.

"Iya Din, Pak Handoko dulu nembak saya duluan. Gak pakai acara menggantung. Dia pemberani, Din. Dan itu yang bikin ibu jatuh cinta ..."

"Aduh duh duh!"

"Kenapa, Sayang? Malu ya?"

Aku ingin bilang kulit pahaku seperti dirobek. Tapi terpaksa aku mengangguk dan bersikap sewajar mungkin. Wibawaku diuji. Aku berdehem sejenak saat Fitria bergelagat mengajak pulang.

"Din, untuk masalahmu aku butuh diskusi dengan seseorang."

"Boss mau bantu saya?"

"Memangnya buat apa kamu aku undang ke sini? Tapi nanti ya? Aku belum punya jawaban cepat."

Mata Abidin berkaca-kaca. Begitupun mataku saat Fitria ikut bicara.

"Iya, Din. Kami harus pulang cepat. Saya ada perlu penting sama Pak Handoko. Karena kamu tahu, Din?"

"Iya, Bu?"

"Sebagai istri yang baik, saya harus apresiasi keberaniannya."

***

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now