Representasi

7.6K 1.2K 55
                                    

"Aku kan cuma staf rendahan? Kenapa Pak Asep menyuruhku negosiasi? Sama direktur pulak! Mimpi apa aku semalam?"

"Tenang saja To, ini peluangmu dapat nama."

"Nama apanya? Kalau negosiasi gagal aku bisa dipecat!"

"Lah tadi kamu sendiri setuju kan?"

"Bagaimana aku bisa nolak?"

Si muka terong masih hilir mudik semenjak Pak Asep pergi. Wajah lonjongnya terlihat panik. Berkali-kali dia jambak rambutnya sendiri. Berkali-kali pula dia minta saran ke rekan kerjanya dengan wajah sangat tertekan.

"Kenapa Pak Asep gak utus manajer?"

"Manajer pada sibuk. Kepala bagian juga banyak kerjaan. Mungkin Pak Asep mau ngetes pekerja baru."

"Duh, mati aku!"

Diam-diam kuamati perangainya. Cih, mental tempe. Di depan perempuan saja dia berlagak. Begitu dapat tantangan berat, isi kepalanya langsung ketahuan. Aku langsung buang muka saat si terong itu tiba-tiba melihatku.

"Dan dari semua anak buahku, kenapa si kuli ini yang ditunjuk?"

Aku hampir melempar kursi. Tapi aku masih ingat bahwa bukan dia saja yang bermuka pucat. Aku juga panik untuk alasan lain. Tak bisa kubayangkan seperti apa reaksi Fitria ketika kami berhadapan nanti.

Duh, kenapa Pak Asep menunjukku? Kenapa bukan manajer? Mimpi apa aku semalam?

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mungkin inilah alasanku dibayar mahal, atau mungkin Pak Asep memang sedang butuh hiburan. Entahlah. Aku tak siap menanggung malu di hadapan istriku.

"Aduh! Tahu-tahu sudah jam segini!" Si terong berteriak lagi. Dia melihatku lagi dan Abidin bergantian. "Siapa di antara kalian yang bawa motor?"

Mampus. Aku tak mungkin bilang bahwa aku ke sini membawa mobil. Mereka pasti bertanya-tanya kalau kacung sepertiku bawa mobil mewah ke kantor. Bodohnya aku tak berpikir sejauh itu. Tapi syukurlah Abidin mengacung. Si terong pun memegang tangan perempuan yang juga anak magang sepertiku.

"Kamu bareng sama si kuli. Aku boncengan sama Indah Hartini. Jangan sampai telat! Sudah tahu lokasi temu janjinya kan?"

"I—iya, Pak." Abidin menjawab agak panik. Dan aku tahu alasannya. Dia langsung menolehku dengan wajah sedikit pucat. "Mas, ini beneran kita janjian di Sky Lounge? Itu kawasan bintang lima loh."

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Motorku butut Mas. Malu aku parkir di sana."

"Cuek saja, gak usah gengsi. Kita sudah telat nih."

Kami setengah berlari menuju parkiran motor. Hanya 30 menit waktu tersisa sampai temu janji dengan Fitria. Tapi keadaan tidak berpihak. Motor Abidin ternyata lebih butut dari motor lama Mang Cecep. Motor itu bahkan tak mau menyala hingga Si Terong berangkat duluan sambil marah-marah.

"Mas Handoko, gimana nih? Motornya masih gak mau nyala."

"Kenapa gak nyala?"

"Businya soak!"

Kuhela napas panjang. Aku tak punya pilihan lain selain mengambil mobil yang terparkir di basement.

"Tunggu sini sebentar."

***

Beberapa menit kemudian di Hotel tujuan, Abidin masih melongo. Dia tak bertanya-tanya karena aku sudah melarangnya. Dia hanya tahu mobil itu milik ayahku. Sisanya, aku minta dia tutup mulut. Abidin juga tak bertanya-tanya saat aku menelpon dealer untuk beli motor detik itu juga.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now