Kantor Pusat

18K 1.9K 29
                                    

"Aku ganteng, kan?"

"Enggak!"

"Katanya aku ganteng kalau pakai setelan ini?"

"Aku cuma bilang cocok, gak bilang ganteng!"

Fitria buang muka dan menyilangkan tangan ke dadanya. Dia masih labil. Mungkin karena aku tak segera menikahinya. Dia pun masih bersikukuh bahwa aku bukan pria ganteng. Tidak salah, sih. Kalau nilai ketampanan di ukur antara satu sampai sepuluh, mungkin nilaiku enam. Atau mungkin tujuh setelah memakai setelan kerja yang Fitria rapikan.

"Ayo dong. Masa tiba-tiba cemberut? Salah makan?"

"Enggak!"

"Ya sudah."

"Ya sudah?" Fitria malah tambah marah.

Hari ini hari pertamaku mengunjungi kantor pusat. Pak Asep mengundangku setelah membaca model bisnis yang kemarin kukirim. Seluruh dokumen kupersiapkan. Penampilanpun harus optimal demi mulusnya sebuah proposal. Dana yang kuminta lumayan. Dua kali lipat dari biasanya. Pak Asep pun setuju tanpa bertanya panjang lebar.

Selamat tinggal kemiskinan!

"Bekalku mana?"

"Masih butuh bekal? Di sana kan ada kantin? Enak, nanti bisa makan sama karyawan cewek."

"Ayolah, aku gak mau makan kalau bukan masakanmu."

Si cantik itu perlahan menoleh. "Aku gak sempat siapin, Mas." Dia menatap mataku dengan sorot meminta maaf.

Tekukan bibirnya perlahan memudar. Entah ada apa dari kalimatku yang berhasil membuatnya tersenyum. Perempuan memang aneh. Tiba-tiba marah tidak jelas, tiba-tiba bersikap manis. Pikiranku dipenuhi tanya sampai suara klakson menyudahinya.

TIN TIN TIN TINNNN!!!

"Ayo berangkat. Dikau gak mau telat, bukan?"

"Iya! Bentar!" Cepat-cepat kuambil berkas. Akupun segera pergi setelah mencium Izra dan pamitan pada ibunya. "Nanti aku hubungi kamu, okay?"

"Janji ya? Sering-sering hubungi aku."

"Iya, janji."

TIN TIN TIN TINNNN!!!

"Ayo berangkat! Jangan bermahsyuk-mahsyuk sama istrimu!"

"Iya iya! Berisik!"

***

"Selamat pagi, Pak Handoko. Bagaimana kabar anda hari ini?" Pak Asep menyambutku dengan sebutan berbeda yang terdengar berlebihan. "Sebagai profesional, anda harus terbiasa dengan sebutan itu," lanjutnya menegur.

Aku harus memberi kesan mendalam hari ini. Aku tidak boleh mudah terkejut, tidak pula bertanya-tanya. Aku harus siap sedia dengan tantangan apapun demi menjaga harapan Pak Asep.

"Kapan saya mulai presentasi, Pak?"

"Tidak perlu terlalu formal. Untuk saat ini temani saya sarapan."

Kalimat itu terdengar wajar. Tapi tidak di telingaku. Aku sadar bahwa perusahaan kecil kami tak berhubungan lagi dengan kantor pusat. Uang yang kuminta pun sepenuhnya dari kantong Pak Asep. Aku sadar diri bahwa formalitas belumlah penting.

"Bagaimana pendapat Pak Handoko tentang kantor ini?"

Aku tak perlu menjawab. Pak Asep pasti tahu jawabanku dari ekspresi takjub yang tak bisa kusembunyikan.

PT. Griya Cipta Laksana adalah perusahaan bonafit. Mereka memiliki kantor pusat di gedung menjulang yang terletak di jalan Asia Afrika. Kira-kira 15 lantai. Sungguh perusahaan kaya. Melihat wajah takjubku, Pak Asep menelpon seseorang yang nampaknya juga menungguku.

Mendadak AyahOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz