Barang Rampasan

1.1K 145 13
                                    

Menggunakan sarung tangan hitam, jaket hitam, celana kargo, rompi anti peluru dan boot tentara, Mas Pram seperti orang mau perang. Wajahnya kalem. Sesekali dia ketik beragam pesan ke seseorang di bangku penumpang. Setelah itu mengambil peluru 9mm dan menghitungnya.

"Tajam, atau tumpul?"

"Tumpul, Mas."

Kuraih brass knuckle, atau keling, senjata genggam yang bentuknya berupa cincin-cincin di jari. Aku lebih nyaman menggunakan itu sebagai petinju. Sedangkan Mas Pram meraih pisau taktis dan menaruhnya di sampiran dada. Khas tentara elit. Aku tak berani bertanya, karena saat serius, Mas Pram paling tak suka banyak bicara.

"Pistol, bawa?"

Kusibak sedikit jas kerjaku dan menunjukkan pistol imut.

"Bagus."

Aku hafal watak kakakku. Kalau dia teriak-teriak saat marah, artinya marah ringan. Mentok hanya memukul orang sampai pingsan. Sedangkan kalau marah betulan, Mas Pram justru tenang. Wajahnya kalem. Tapi auranya tidak enak. Dia bahkan siul siul saat memasukkan beberapa peluru ke magasen cadangan.

Kenapa dia seperti itu?

Apa karena Linda diculik?

Diam-diam, kuhubungi nomor Linda. Jantungku mulai berdegup karena nomornya tidak aktif. Tapi aku masih tak berani menanyakannya. Mas Pram tak bisa dicolek kalau sedang marah sungguhan. Bukan tanpa alasan aku takut kepadanya.

"Lihat peta ini?" Dia sodorkan layar ponsel yang menunjukkan kontur GPS. "Itu sarang preman suruhan Nyoto. Lebih cepat. Atau kamu menyesal jika terlambat."

Tidak salah lagi, Linda diculik. Tanpa ba bi bu kupindah gigi dan menginjak akselerasi. Aku ikut panik. Nampaknya, rapat kemarin telah membuat si Nyoto kalap. Dia secara resmi telah didepak dari perusahaanku. Parahnya lagi, kubongkar pula bukti-bukti perselingkuhannya, juga rumah-rumah dari tiga istri simpanan. Nenek lampir itu tak pernah tahu bahwa suaminya menikah lagi sampai anaknya besar-besar.

Hasilnya?

Nyoto kabur membawa uang perusahaan. Mungkin uang itu dia gunakan sebagai modal membalas dendam. Bisa jadi Linda diculik karena itu.

Aku harus cepat menolongnya.

Trililing!

"Aku keluar sama Handoko. Kamu sudah di rumah? Maaf tadi kelepasan."

Sebelah alisku terangkat.

Kupingku melebar saat kakakku menerima panggilan telpon.

"Lain kali cas ponsel dulu sebelum keluar. Langsung tidur, okay? Jangan bergosip sama Fitria," ujar Mas Pram sebelum menutup panggilan telpon.

"Dari siapa?"

"Linda."

"Hah? Terus, kita keluar mau ngapain?"

"Cari ceperan lah. Memangnya apalagi? Ayo, Le. Jangan sampai telat."

Aku merasa bodoh mencemaskan yang tidak perlu. Tapi mobilku masih ngebut di gelapnya pinggiran Bandung. Daerah itu sangat terpencil.

"Le, Linda 100% aman di dekatku. Gak usah cemas. Jaringan informasiku dimana-mana."

"Kenapa gak bilang daritadi?"

"Lah, kamu gak nanya. Kirain kamu tahu kita mau ngapain. Sudahlah, jangan banyak cing cong. Nyetir yang bener."

Ford Everest makin melesat ke destinasi sesuai GPS. Mas Pram bilang, di tempat itulah uang curian disembunyikan. Lebih tepatnya dokumen sensitif di akun offshore. Nyoto berkomplot dengan politisi. Jutaan dollar uang istrinya dibawa kabur ke bank asing. Aku tak keberatan menemani Mas Pram jadi pahlawan. Tapi tetap kupastikan agar kakakku tak sembarangan membunuh orang.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now