Keberanian

5.2K 760 54
                                    

Sebagai pucuk pimpinan, tanggung jawabku sangatlah besar. Bukan hanya ke pemegang saham, aku juga bertanggung jawab ke ratusan pekerja di bawahku. Mengendalikan arah perusahaan yang mereka ikuti. Selalu mengasah skill walau di luaran aku seperti pengangguran. Apalagi sejak istriku hamil. Aku merangkap jadi direktur utama, direktur keuangan, sekaligus Bapak Rumah Tangga di rumah kami.

Sibuk sekali.

Tapi bukan berarti mengesampingkan pencapaianku.

"Enam kompleks pergudangan, satu unit gedung perkantoran, sebelas blok perumahan ... anda tak pernah bosan memberi kejutan, Pak Handoko."

"Begitukah?"

Pak Asep mengangkat gelas. Aroma wine tercium harum dari gelas itu. Kuangkat gelasku pula saat pria itu memberi senyum.

"Dua tahun sejak kita bekerja sama, hanya dua tahun. Anda bisa melejit secepat ini."

"Semua karena didikan Bapak."

"Salah. Semua karena anda memang berkualitas," balasnya sembari melirik orang ketiga. "Benar kan Pak Hardi?"

Pak Hardi tertawa renyah. Beliau tak bicara apapun selain melepas kegembiraan.

Seminggu seusainya penerimaan pekerja baru, reputasi kami makin melejit. Bukan hanya pencapaian perusahaan, kami pun punya reputasi tersendiri di masyarakat. Perusahaan sombong katanya. Itulah pendapat para pencari kerja. Karena dari ribuan surat lamaran , tak sampai lima puluh orang kami terima.

Tidak masalah. Standar kami tak akan berubah sekejam apapun kritikan orang. Terutama dari serikat buruh. Mereka beranggapan bahwa kami tak membantu mengurangi angka pengangguran.

Memangnya mereka siapa?

Pencapaian itupun kami rayakan di hall hotel bintang lima, bersama dress code dalam undangan sangat terbatas. Super eksklusif. Pesta ini hanya untuk para elit.

"Kenapa anda tak terlihat senang?" Pak Asep menegur. Nampaknya, beliau menangkap sesuatu yang kusimpan sendiri belakangan ini. Bukan masalah kerja. Tak berdosa jika aku menyembunyikannya.

"Kehamilan kedua Bu Fitria?" Pak Hardi ikut meraba. "Bicara saja, Pak Handoko. Kita di sini sebagai rekan."

"Sepertinya saya tak punya pilihan."

"Hahahahaha! Iya, cerita saja."

Apa yang menggangguku selama ini?

PR dari Abidin.

Karena permintaannya, aku jadi sering merenung. Aku mulai berpikir bahwa dunia ini tidaklah adil.

"Pak Asep, apa semua orang berhak kaya?"

Sebelah alis Pak Asep terangkat. Dia lirik Pak Hardi yang juga heran dengan sikapku.

Aku bingung memulai kata. Karena pada dasarnya pembicaraan seperti ini adalah topik yang kuhindari. Mereka mengenalku sebagai makhluk logis. Wajar jika keduanya heran.

"Pak Handoko, anda tipikal orang yang hanya mau bicarakan sesuatu yang bisa anda kerjakan. Tumben bicara filosofis?"

Aku pun bicara seadaanya untuk menjawab tanya mereka.

"Saya hanya berkaca pada diri saya, Pak Asep. Pencapaian ini terlalu cepat. Seperti mimpi. Rasanya baru empat tahun kemarin saya nangis darah hanya demi susu anak. Sekarang saya di sini ngobrol setara dengan dua sosok berpengaruh. Saya merasa tak berbeda dibanding orang lain, Pak. Kenapa nasib kami berbeda? Kenapa saya sukses dan orang lain biasa-biasa? Saya yakin banyak ayah di luar sana masih berkubang di lubang yang sama. Apa dunia ini setimpang itu?"

Pak Asep meminum wine dengan mata menatap teduh. Begitupun Pak Hardi. Keduanya bertatap sejenak sebelum saling memberi angguk.

"Beliau murid anda, Pak Asep. Jawab pertanyaannya," ujar Pak Hardi dengan suara bernada rendah. "Pak Handoko sudah di level mengejar spiritual. Bukan lagi material."

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang