Dua Psikopat

6.1K 791 86
                                    

Dua hari kemudian, taman belakang Respati dipenuhi meja dan kursi. Ada pula tenda-tenda dan hidangan ala prasmanan. Persis acara nikahan. Tamu kami semakin banyak. Ada para petinggi perusahaanku, ada bule-bule dari Amerika, para diplomat, ada pula pejabat negara dan politisi yang Respati undang di acara ini.

Ramai sekali.

"Kalian lihat orang-orang itu?"

Respati menunjuk gerombalan anggota dewan kenalan kami. Mengajakku dan Mas Pram menghampiri mereka. Dengan penuh wibawa, pengusaha itu to the point membahas bisnis.

"Bagaimana? Ada kesulitan?"

Anggota dewan itu mendadak muram. Aku sudah menebak kalimat apa yang hendak mereka ucap.

"Oposisi tak mau proyek itu jalan kalau mereka tak dapat bagian, Pak. Dan ketika anda berencana menawarkan proyek ke negara lain, mereka menebar fitnah di media sosial. Katanya anda pengkhianat negara. Lebih membela negara lain daripada bangsa sendiri. Anda juga difitnah bawa kabur duit negara."

Respati picingkan mata. Walau sudah tahu, pria itu berlagak tegang saat reputasinya dipertaruhkan. "Partai Tiga Arah?" tebaknya.

Wakil rakyat itu mengangguk serempak.

"Partai itu punya kader kuat untuk pemilu depan, Pak Respati. Salah satunya mantan Mayor yang kemarin menjalankan misi di Papua."

"Jadi, di saat saya diberitakan sebagai pengkhianat, perwira itu diberitakan sebagai pahlawan? Memelintir nama saya demi kepentingan mereka?"

Politisi itu mengangguk lagi. Wajah mereka semakin cemas. Mereka baru lega saat Respati menekan ponselnya. Mengirim sesuatu yang tak pernah mereka sangka.

"Ini rekaman video rapat kemarin. Saya merekamnya diam-diam. Ini bukti bahwa sumber masalahnya Partai Tiga Arah."

"Tapi, si penyebar hoax itu bukan kader, Pak. Mereka pakai buzzer."

"Soal itu serahkan ke kami." Respati menatapku sejenak. Setelah itu kembali menoleh anggota dewan dan bicara semakin tegas. "Kerahkan seluruh buzzer dan semua media pemberitaan."

Senyum mereka kontan mengembang. Menggoreng isu memang keahlian orang-orang partai.

"Tapi partai yang bayar buzzer, media pemberitaan, dan lain-lain. Saya tak mau keluar dana sepersenpun."

Senyum mereka kontan meredup. Wakil rakyat itu baru tahu bahwa Respati super kikir.

"Saya ada perlu sebentar," pamitnya. Dia lirik lokasi sepi untuk kami berkisik-kisik.

"Aku juga ikut?" Kakakku bertanya.

"Iya, aku juga butuh bantuanmu."

Sejenak, Mas Pram mencium kening gadis cantik yang saat ini digandeng Linda. Serius, keponakanku cantik. Dia tahu Mas Pram ayahnya, sekaligus tahu punya kakek nenek yang sangat sering menjenguknya. Aku heran sekaligus kesal. Aku baru tahu ada masa lalu yang membuat Mas Pram tidak mau mengungkit-ungkit.

"Ayo, Le. Ayo kita turuti orang gila itu," ujarnya sambil melirik sosok Respati.

"Mas gak gila?"

"Gak separah dia."

Kami mengikuti Respati agak menjauh dari para tamu. Mencari privasi. Respati diam sejenak di samping griller, menyalakan rokok dengan arang yang dia ambil pakai penjepit. Menepuk pelan pundak kakakku.

"Pram, kamu tidak salah. Menculik anakmu sendiri dari mantanmu yang sudah menikah itu tidak salah. You gila, Bro! Aku suka, bhahahahaha!"

"Bisakah kau berhenti mengungkit itu?"

Respati masih terbahak.

"Mereka sudah cerai. Kamu bebas membesarkan puterimu tanpa takut kabar miring."

"Kamu yang membuat mereka cerai?"

"Sure. Aku punya uang untuk itu. Berterima kasihlah. Dan suaminya adalah direktur yang perusahaannya kubuat bangkrut. Cheer up. Bhahahaha!"

Mas Pram ikut terbahak. Aku tak nyaman setelah sadar mereka punya persamaan. Sama-sama sadis. Dua-duanya raja tega kalau sudah punya rencana.

"Pram, sepertinya you ada masalah sama perwira yang mereka sebut."

Dahi Mas Pram kontan terkernyit. Dia langsung was-was. Entah apa lagi rencana Respati setelah ini.

"Apa itu orangnya?" Dia melirik pria muda berjas pink di kejauhan. Warna khas Partai Tiga Arah.

Kakakku tersenyum kalem. Tak mau buka mulut akan profesinya sebagai prajurit. Semua serba rahasia. Jika kepadaku saja sangat tertutup, apalagi kepada Respati?

Meski sayangnya, lawan bicara Mas Pram juga bukan orang biasa. Si sadis itu tak setengah-setengah memakai uangnya. Demi bisa membeli Mas Pram, Respati tak pikir panjang.

"Pramono Danuarta, komandan regu paling elit dari semua kesatuan khusus di tubuh TNI, misi terakhir di Papua, dipimpin oleh Mayor Anthony ... hmmm, Mayor karbitan yang tak pernah terjun ke medan perang." Respati lirik lagi pria berjas pink di kejauhan.

Wajah Mas Pram langsung masam. Dia masih tutup mulut. Respati memaparkan lagi informasi khusus yang dia dapat entah dari mana.

"Misi settingan itu sebenarnya untuk mendomplang nama Anthony di panggung politik. Biar dianggap pahlawan. Siapa sangka malah bertemu pasukan khusus Australia? Dan mereka ketahuan menyuplai senjata untuk pemberontak papua. Pufff! Baku tembak. Kalian kehilangan dua anggota karena komandan kalian tak sanggup memimpin. Dan salah satu korban itu Letnan Satu Anumerta Sandra Dewi. Calon istrimu sendiri."

Kali ini, Mas Pram memejamkan mata sambil tertawa. Menggeleng sejenak setelah rahasianya dibongkar lagi. Dia tatap mata Respati dan berbicara agak mengancam.

"Apa lagi maumu?"

"Membelimu. Bukan dari kemarin aku mau membelimu?" jawab Respati santai. Tak terpengaruh sedikitpun.

"Aku bukan mercenary."

Respati terbahak sejenak. Dia tepuk pundak Kakakku dan berkata, "aku keluar milyaran hanya demi informasi tentangmu, Mayor Pramono Danuarta. Bisa bayangkan berapa milyar yang kukeluarkan untuk borok orang-orang itu?" Dia lirik lagi kerumunan orang-orang berjas pink.

Kakakku terdiam sejenak. Menebak-nebak Rencana Respati setelah ini. Dia lirik pula si mantan perwira yang jadi biang kematian Sandra.

"Maaf, aku aset negara. Bukan aset pribadi. Dan aku sudah move on dari almarhumah. Tolong jangan diungkit lagi. Kalau tak bisa menghormatiku sebagai prajurit, hargai perasaanku."

"Perasaanmu? Berapa harganya?" Gantian Respati menatap tajam. Watak asli yang sangat kuhafal. Dia tepuk pundak kakakku dan berbicara dengan gaya mengintimindasi. "Tujuanku ke Indonesia untuk mensucikan bisnisku dari politik kotor, Tuan Pram. You tak mau membantuku? You lupa adikmu jadi kaya karena siapa?"

Wajah Mas Pram kontan tegang. Aku pun ikut tegang karena Respati memberi kesan tak mau ditolak. Kami sama-sama tahu seperti apa pria itu. Kami sangat tahu apa jadinya kalau sampai bermusuhan dengan pengusaha psikopat.

Jantungku berdegup.

Kalau Mas Pram setuju, dia pertaruhkan prinsipnya sebagai seorang prajurit elit. Tapi kalau menolak, tak bisa kubayangkan konsekwensinya.

Aku sangat hafal kakakku.

Dia adalah pria yang ...

"Hahahaha, okay deal. Lima milyar bayar di muka," balasnya tak tahu malu.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now