Dunia Ini Sempit

1.5K 183 4
                                    

"Awaaa!"

"Nanti kita main ke rumah kakek lagi. Jangan rewel."

"Wawaaaa!"

Izra masih juga rentangkan tangan saat mobil dinyalakan. Puteraku merengek-rengek sambil menunjuk ke arah rumah. Ayahku nampak muram. Beliau belum rela harus jauh dari cucu di sebelahku.

"Selesaikan misimu, Handy. Atau Izra kami sita." Ancaman itu ayah ucap berulang-ulang.

Aku tersenyum trenyuh. Selama 25 tahun hidupku, baru kali bisa membuat ayahku bangga. Segala praduga yang kusimpan ternyata salah. Ayah tak sekejam itu. Beliau bukan memintaku jadi tentara, melainkan jadi seorang ksatria. Kini aku paham keinginannya. Aku punya medan perang sendiri.

"Lihat saja! Aku pasti bisa mengalahkan Mas Pram!"

"Buktikan! Atau anakmu ikut kami!"

"Awawaaaa!"

Pada akhirnya kami pergi bersama kesan yang tak mungkin aku lupakan. Izra masih merengek sambil menoleh ke Sang Kakek. Enam bulan lagi kami baru mendapat cuti. Aku tak bisa bebas sebagai direktur dari usaha yang masih bayi.

Perjuangan kami akan berat.

"Dedek sabar ya? Nanti ayah ajak main lagi ke rumah kakek."

Puteraku masih sesegukan. Dada ibunya tak mempan lagi. Justru akulah yang terpengaruh dada itu. Saat Fitria menyusuinya, konsentrasiku buyar. Aku bingung antara melihat jalan atau lihat Gunung Everest.

"Besok jatahmu. Sabar."

"Aku gak mikirin itu."

"Kok dari tadi lirik-lirik? Memangnya aku tak tahu?"

Aku gelagapan karena terlanjur ketahuan. Maklum lah, baru kemarin lulus perjaka. Ternyata enak.

"Mas yang kanan, ya? Yang kiri gak boleh bau rokok," ujarnya dengan senyum tengil.

"Bisakah berhenti bahas itu? Aku susah konsen."

Istriku terbahak-bahak. Fitria jadi brutal setelah sah. Dia paham bahwa pemula sepertiku butuh bimbingan dan konseling.

"Anterin aku ke tempat teman, dong. Aku kangen sama anak-anak."

"Teman SMA?"

"Iya. Sekalian kenalin Mas Sebagai suamiku."

Aku merasa tak nyaman. Walau bagaimanapun aku suami keduanya, dan sudah pasti mereka tahu pernikahan pertama Fitria. Harga diriku agak tercabik. Tapi aku tak punya hati menolaknya. Mobil kami pun melaju pelan menuju arah berlawanan pulang.

Sudah resiko menikahi janda.

"Mas pasti punya teman, kan?"

"Ada."

"Mau kunjungi mereka?"

"Kita tak punya waktu."

Istriku langsung melotot. "Gak boleh gitu. Belajar sosialisasi. Mas mau ditiru Dedek?" ujarnya lagi sambil menimang si tuyul kecil.

Kalau boleh jujur, inilah perbedaanku dengan Fitria. Wanita itu supel. Dia extrovert yang mudah akrab pada siapapun. Sedangkan aku berkarakter lain. Aku hanya berteman jika mereka kuanggap penting. Alhasil, teman-temanku bisa dihitung jari. Itupun tak pernah kuhubungi jika tak ada urusan penting.

"Teman-temanku juga sedikit, Mas. Teman cewek saja hanya satu."

"Sisanya laki-laki?" Aku agak ketus.

"Hahahaha! Padahal aku gak tomboy loh. Aku suka berteman sama laki-laki karena mereka gak ribet. Hidupku sudah susah, Mas."

Mendadak AyahDove le storie prendono vita. Scoprilo ora