Ada Banyak Cara

23.2K 2.2K 38
                                    

Rutinitas hari ini sama membosankannya seperti kemarin. Aku mulai jengah berada di antara papan kayu, bau polytur, dan galon air mineral yang sudah lama berdebu. Sumpah aku muak. Belum lagi tingkah seorang kasir yang seharian hanya selfi dan main ponsel. Aku jadi heran, pakai dukun apa orang itu bisa bekerja di workshop ini.

"Doni teh keponakannya Pak Nyoto."

Mang Cecep menjawab pertanyaan di pikiranku. Dia pasti menebaknya dari cara dan ekspresiku saat melihat si kasir itu.

"Kekuatan orang dalam?"

"Iya. Pak Nyoto eta Direktur oge, sama seperti Pak Asep. Tapi kantornya lain."

Mang Cecep menjelaskan bahwa Doni adalah pekerja titipan. Bukan hanya korup, kasir itu juga nepotis. Dia adalah keluarga dari salah satu petinggi perusahaan ini hingga para pekerja tak berani menyentuhnya. Mereka takut mendapat masalah. Mang Cecep bahkan balik badan saat Doni menghampiriku dengan wajah sombong.

"Kerja yang bener dong. Lelet sekali!"

Aku tak menggubrisnya. Jariku menunjuk bangunan triplek yang kami sebut sebagai kantor.

"Tempat kerjamu di sana."

"Jangan kurang ajar. Jabatanku lebih tinggi dari kamu."

Kubuang napas dari mulut. Kupindai penampilan bocah itu yang terlalu rapi untuk ukuran pekerja meubel. Mungkin karena setelan itulah dia merasa jadi boss. Aku berdiri berhadapan dengannya, menarik kerah bajunya, dan menepuk pipinya yang sepertinya pakai fondasi.

"Ingat baik-baik, Muka bedak. Kontrak kerjaku cuma tiga bulan. Sekarang aku diam. Tapi setelah aku gak kerja lagi, kamu orang pertama yang aku cari."

"Hiii!!!"

Bocah pesolek itu memundurkan badan dengan wajah takut. Melihat ekspresi itu, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menggertaknya.

"Bwaahhh!!! Kecebong!!!"

"Uwaaaaaa! Awas kau! Aku bilangin Omku!"

Gelak tawa mengawali aktivitas para pekerja. Mereka terbahak-bahak melihat si Doni yang jatuh terduduk di lantai tanah. Kejadian ini sudah biasa. Pertengkaran kami seakan jadi menu utama yang mereka tunggu setiap harinya. Karena aku saja yang berani melawan, Doni terus-terusan menggangguku.

Sebenarnya aku sudah tak tahan untuk menghajar si Tomat itu. Ingin rasanya meraup wajahnya dengan dempul dan membedakinya dengan polytur.

Namun, aku bukan remaja. Aku seorang ayah. Sabar itu perlu demi anakku. Masih ada banyak cara untuk membalasnya dengan mengunakan sedikit otak. Dan kesempatan itu pun datang, saat Doni ingat bahwa hari ini aku harus setor desain.

"Mana?"

"Apanya?" jawabku seketus mungkin.

"Desain minggu ini. Aku sudah menjanjikannya ke Pak Asep."

"Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?"

Aku bersikukuh mengelak. Aku sudah bosan desain yang kugambar seperti uang di kotak amal. Bim salabim hilang! Bedanya, aku harus beramal untuk perusahaan yang sudah kaya. Aku harus mendesain semalaman hanya untuk ucapan terima kasih.

Itupun kalau Doni mengucapkannya.

"Hei, kamu sudah dibayar untuk itu."

Alisku langsung terkernyit.

"Aku tidak ingat pernah dibayar."

Doni menoleh kesana kemari seakan sedang menyusun argumen. Jawabanku seperti skak mat yang membuatnya ragu untuk menagih. Dia nampak gelisah. Dan kegelisahan itu makin terlihat saat ponselnya berdering nyaring.

Ponsel mahal.

Pasti dari hasilnya korupsi.

"Iya Pak Asep. Seb-sebentar lagi Pak saya serahkan!"

Si pesolek itu makin gelagapan. Dia bicara agak menjauh seakan tak mau ada yang dengar. Setelah menutup ponselnya, dia mendatangiku lagi dengan membawa selembar uang.

"Aku kasih 20 ribu, mana desainnya?"

"Gak ada."

Dia ambil selembar lagi dan melanjutkan negosiasi.

"40 ribu!"

"No way!"

"50 ribu!"

Aku tidak menjawab. Sikap Doni sangat mencurigakan. Aku yakin apa yang kupikirkan selama ini memang kenyataan. Kecurigaankupun makin terasa, saat ponsel Doni berbunyi lagi bersama wajah panik dari pemiliknya.

"Saya sudah menggambar desain itu semalaman, Pak. Hari ini pasti saya serahkan."

***

Kena kau, muka tomat.

Kamu pikir aku tak tahu rahasiamu?

Aku sudah lama tahu Doni pasti mengaku bahwa desain yang kubuat adalah karyanya. Sebelumnya tak kupermasalahkan karena memang tak ada pilihan. Tapi sekarang berbeda. Sudah terlalu banyak sikap Doni yang memaksaku berhenti kompromi.

"Kamu mau dipecat?"

"Memangnya kamu bisa mecat?"

Doni agak ragu membuka Dompetnya.

"Ser-seratus ribu. Ini penawaran terakhir."

Sebenarnya aku berniat menjebak Doni dalam masalah. Aku ingin Pak Asep tahu bahwa si kasir itu cuma pembual. Tapi dompet tebalnya memaksaku mengubah rencana. Aku yakin desain ini pasti lebih mahal dari harga dirinya.

"Sebenarnya aku bawa desain itu, kok."

Doni langsung antusias.

"Mana? Serahkan padaku sekarang juga!"

Seringai di bibirku semakin melebar. Melihat responnya yang makin panik, makin tercium pula aroma uang yang sangat mudah. Kutunjukan desain semalam dan mengibas-kibaskannya seperti kipas.

"Kamu mau ini? Mungkin dengan 300 ribu aku bisa berubah pikiran."

Bim salabim, puff!

Tiga lembar seratus ribuan meluncur manis di kantongku. Tapi tak kuberikan desainnya walau Doni hampir menangis.

"Mana desainnya?"

"Aku kan bilang mungkin berubah pikiran, kapan aku bilang mau kasih desain?"

"Kalau begitu mana uangku?!"

"Serius nih?" jawabku berlagak mau menyobek kertas. Aku penasaran sejauh mana dia bisa dimanfaatkan. "Kalau Pak Asep tahu, pasti seru nih."

"Jangan! Aku mohon!"

Aku menahan diri untuk tidak terbahak-bahak. Respon Doni seperti kode brankas yang bisa kubuka kapan saja. Dia belum tahu bahwa bukan dia saja yang rakus di sini. Dia juga belum tahu bahwa aku juga bisa bermain kotor. Dompetnya masih tebal. Setebal hasratku yang masih ingin merampoknya.

"300 ribu lagi, anggap saja uang tutup mulut."

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang