Tamu VVIP

7.2K 1.1K 52
                                    

Hari ini hari penentuan. Hari ini adalah babak akhir untuk tugas pentingku sebagai auditor. Semua direktur akan hadir di maja rapat. Beberapa figur juga kami panggil sebagai peserta untuk mengakhiri segalanya.

Ada 12 kursi di meja utama, sebuah meja oval yang kami susun ulang untuk sebuah acara besar. Empat kursi untuk direktur, empat kursi untuk pemegang saham, dan empat lagi untuk peserta istimewa yang mana aku dan Linda salah duanya.

Kulirik delapan papan nama dari 12 tamu penting yang akan duduk di meja itu. Dahiku agak terkernyit saat kulihat nama-nama asing di dua kursi tersisa, yang ada tepat di sebelah Linda.

"Dua orang itu tamu utama kita," ucap Pak Asep dengan suara yang sangat pelan. "Anda pernah dengar namanya?"

Dahiku makin terkernyit. Dua nama memang pernah kudengar, tapi lupa di mana dan kapan. Pak Asep berbisik lagi. Dia merespon wajah bingung yang kutunjukan.

"Beliau berdua pengusaha Internasional. Mereka yang mendanai proyek-proyek berskala besar di negara-negara ASEAN."

Wow, mataku spontan terbuka lebar. Pak Asep bercerita sepak terjang dua tamu yang sering muncul di majalah Forbes. Pantas saja aku pernah dengar namanya. Katanya, dua orang itu ibarat "selebritis" di dunia bisnis. Sangat berpengaruh. Banyak pengusaha besar Indonesia yang coba melobi mereka namun berujung penolakan.

Penjelasan Pak Asep memberiku gambaran seberapa besar meeting ini akan berjalan. Melihat nama mereka di meja itu, aku mulai paham asal muasal keberanian Pak Prasojo merombak total perusahaan kami untuk menjadi sebuah group. Dari jumlah undangan saja ini bukan rapat umum biasa. Banyak peserta di luar VIP yang kami tempatkan di kursi sendiri, serta meja tersendiri yang lebih mirip seminar kementerian. Mereka adalah para manajer, kepala bagian, wakil direktur, rekanan, serta perwakilan dari stakeholder.

"Setelah ini anda tak perlu menyamar lagi, Pak Handoko. Tugas anda sebagai auditor akan segera berakhir di rapat ini." Pak Asep bicara lagi.

Beliau duduk manis di kursinya saat peserta lain masuk ruangan, termasuk Pak Prasojo. Beliau kembali berbisik, dengan mata tertuju ke para peserta di meja biasa.

"Bagaimana rasanya jadi salah satu dari 12 peserta VIP, Pak Handoko?"

"Kursinya empuk, Pak."

Pak Asep tertawa kecil. Begitupun Pak Hardi yang sudah duduk di sebelahnya. Keduanya nampak ceria. Tapi keceriaan itu tak terlihat di wajah-wajah petinggi lain, yang nampak heran melihatku duduk di kursi VIP. Karena pada dasarnya, hanya Pak Prasojo, Pak Asep dan Pak Hardi saja yang tahu peranku di meja itu.

Coba bayangkan, wakil direktur saja duduk di meja biasa bersama para manajer. Sedangkan aku hanyalah karyawan rendahan yang kastanya jauh di bawah mereka. Wajah para manajer itu jelas bertanya-tanya. Terutama orang-orang yang pernah berurusan denganku. Gerombolan parasit itu memberiku tatapan tak terima, kenapa aku duduk di kursi yang lebih penting dari mereka. Kupadangi wajah mereka satu persatu dengan tatapan yang seolah berkata, "kalau gue peserta VIP, lu semua mau apa?"

Tidak ada yang berani protes.

Kecuali satu orang yang baru datang.

"Hei, kamu tersesat? Ruangan ini bukan untukmu!" kata Nyoto, sambil menunjuk pintu keluar.

"Anda tak bisa membaca?" balasku sambil melirik nama yang tercantum di label kursiku. "Apa perlu saya bantu eja?"

Napas Nyoto megap-megap. Matanya melotot saat melihat namaku yang dilengkapi label "auditor."

Aku tersenyum sombong. Direktur itu buang muka, untuk menatap Prasojo yang sedang jadi pimpinan rapat.

"Anda tidak salah baca. Pak Handoko peserta VIP. Dan beliau auditor khusus yang menginvestigasi seluruh penyakit di perusahaan ini." Prasojo bicara tanpa tersenyum sedikitpun.

Jawaban itu seharusnya menyindir si muka babi. Direktur itu adalah sosok paling bermasalah di perusahaan ini. Tapi mukanya terlalu berlemak untuk mau menerima malu. Dia malah ganti menuding Linda yang sedang duduk di sebelahku.

"Kenapa sekretaris itu juga dapat kursi?"

"Ibu Linda juga VIP."

"Kenapa dia jadi VIP?"

Prasojo langsung meresponnya dengan wajah yang sangat dingin.

"Itu keputusan saya, Pak Nyoto. Anda tidak terima?"

Nyoto langsung membatu. Ucapan Prasojo terlalu tegas untuk bisa dia protes. Direktur itu tak berani bicara saat Prasojo menatap matanya. Kharisma Prasojo tidak main-main di balik usianya yang masih muda. Setiap katanya memiliki tekanan. Sorot matanya juga dipenuhi intimidasi. Dia masih menatap mata si babi dan bicara lebih dingin lagi.

"Tolong jaga sikap."

Si Nyoto langsung duduk manis.

Prasojo beranjak, memanggilku setelah sejenak menerima telpon.

"Tolong jemput tamu kita di Grand Mercury," perintahnya, menyebut nama hotel bintang lima, di mana Sky-Lounge favorit kami berada. "Saya kirim foto mereka berdua," katanya lagi, sebelum menatapku super serius. "Jaga sikap ke dua orang ini. Masa depan perusahaan kita ada di tangan mereka."

***

"Anda yang bernama Pak Handoko?"

"Iya Pak Respati. Darimana bapak tahu?"

"Pak Prasojo sering cerita tentang anda."

Salah satu tamu penting itu bernama Respati Mahesa Asyura, pria muda seumuran kakakku. Usianya 30 tahun. Aku memang sudah tahu sosoknya dari foto yang Prasojo kirim. Namun, melihat wujudnya secara langsung, aku mulai mengerti kenapa Respati dijuluki sebagai selebritis di dunia bisnis.

Mau tahu seperti apa sosoknya?

Berduit, cerdas, ramah, tampan ... Respati adalah sosok pria yang hanya muncul di novel-novel. Tampan sekali. Sama tampannya seperti Mas Pram. Tapi semua kelebihan itu hanya kemasan jika dibandingkan dengan aura kepemimpinan yang ia miliki.

Aura itu lebih berat dari Prasojo. Percaya tidak percaya, leherku terasa tercekik hanya karena mendengar suaranya. Titel "pengusaha internasional" bukan sekadar isapan jempol. Kini aku tahu kenapa Boss besarku sangat menjaga kata-katanya, saat menelpon sang tamu penting.

"Perkenalkan. Saya Respati Mahesa Asyura. Chairman Prodexa Group, offshore executive Silver Bridge untuk Asia Pasific dan Timur Tengah."

Tanganku agak gemetaran menjabat tangannya. Baru kali ini aku gerogi saat berhadapan dengan seseorang. Gemetar itu makin terasa saat mataku melirik perempuan di samping Respati. Kalau tidak salah namanya Herlyna Sekar. Dia seusia Linda dan memiliki pesona yang sama. Anggun sekali. Sebagai pria normal, aku makin gerogi saat tangan halusnya menjabat tanganku.

"Senang berkenalan bersama anda, Pak. Handoko," kata perempuan itu dengan logat yang agak aneh.

"Beliau belum lancar Bahasa Indonesia, Pak Handoko." Respati menjelaskan.

Kuberi senyum pada Bu Herlyn. Sebisa mungkin kukendalikan diri, kukendalikan rasa grogiku, demi kesan pertama pada dua pengusaha itu.

"Don't worry, Ms. Herlyn, free to speak with me," balasku dengan bahasa yang Herlyn tahu.

Di sepanjang jalan menuju kantor, kami bertiga berbicara dalam bahasa asing. Bahasa inggrisku cukup lancar meski tak terlalu luwes. Aku tak boleh memberi kesan buruk. Sesopan mungkin kuatar mereka menuju ruang rapat setelah mobil tiba di basement.

"Mr. Respati, Ms. Herlyn, the meeting is about to start."

"Relax, Mr. Handoko. Don't stiff so much for a cheap talk."

Apa?

Meeting besar ini Respati anggap obrolan basa-basi?

Orang ini benar-benar VVIP.

Mendadak AyahDonde viven las historias. Descúbrelo ahora