Interpersonal

6.9K 926 2
                                    

Sebulan berlalu sejak pendirian perusahaan. Sebulan berjalan untuk menyelesaikan masalah interpersonal. Di bawahku nanti akan ada banyak karyawan yang sudah lama bekerja. Jauh sebelum aku masuk perusahaan ini. Sebagian dari mereka bahkan sudah bekerja saat perusahaan ini baru berdiri. Pengangkatanku jelas tak memuaskan mereka hingga beredar rumor tak sedap.

Bisa bayangkan posisiku?

Jadi pimpinan tak semudah itu. Ego mereka terlalu tinggi hingga Linda pun mulai mengeluh. Dia jabarkan hasil lobinya begitu tiba di ruang kerja.

Ruang kerja rumahku.

"Pak Handoko, dulu, sebelum anda kerja di perusahaan kita, rumor tentang saya sangat buruk. Saya sering dengar gosip kalau saya jual diri ke Pak Asep demi jabatan, bahkan pernah digosipkan punya skandal dengan Pak Hardi."

Aku tak kaget. Aku sering mendengarnya dari Fitria. Kujawab keluhan itu dengan mata menatap komputer.

"Karena itulah mereka sulit naik jabatan. Orang yang hanya bekerja demi gaji, mereka tak akan mau berkorban lebih. Mereka hanya butuh jaminan. Orang-orang itu akan memandang orang lain sama pragmatisnya seperti mereka."

Linda tersenyum kalem. Dia makin ekspresif hingga pembicaraan kami makin mengalir. Wanita itu sudah ikhlas hubungannya tidak pernah kemana-mana. Lebih tepatnya terlalu sibuk untuk pikirkan topik asmara. Dia pun masih pasang telinga, saat kubicarakan sesuatu yang tak tertulis di agenda kerja.

"Mereka suka bilang realistis, Bu Linda. Jadi saat perempuan secantik anda naik jabatan, mereka tak akan menilai kinerja anda. Melainkan cara cara realistis versi mereka." Kugerakkan dua jari dia dua tanganku membentuk tanda kutip.

Linda bahkan memberi reaksi berbeda saat kupuji penampilannya.

"Saya cantik?" katanya, sambil bermain mata dengan wanita lain di belakangku.

"Iya. Saya obyektif. Tapi tak ada yang lebih cantik dari istri saya sendiri."

Linda tersenyum simpul dengan sebelah alis terangkat. Bibirku ikut senyum-senyum. Kulirik Fitria yang berlagak sibuk di depan monitor.

"Bu Linda, proses edifikasi ini sangat penting untuk kita. Setelah ini saya closing. Kalau nama saya belum terangkat, sangat sulit memaksa mereka mengakui saya sebagai pimpinan."

"Iya Pak, saya paham."

Seperti yang kujelaskan, karyawan biasa punya pola pikir bahwa jabatan selalu diraih dengan kemudahan. Entah karena orang dalam, suap menyuap, penunjukan dari kerabat, atau jadi perek berdasi jika aku perempuan. Mereka tak akan mengakui kepemimpinanku jika aku hanya bicara kerja keras, pengorbanan, rasa cinta ke perusahaan, atau tetek bengek lain yang katanya tak realistis.

Edifikasi adalah proses penting.

Pertanyaannya, edifikasi itu apa?

Edifikasi adalah kebalikan dari bergosip. Jika gosip sifatnya merendahkan nama baik seseorang, edifikasi sebaliknya. Linda harus mengangkat nama baikku, kelebihanku, pencapaianku, agar aku punya wibawa dihadapan orang lain.

Proses interpersonal ini tak boleh gagal.

***

Orang pertama yang kami kunjungi bernama David. Manajer proyek yang selama ini mengurus kontruksi di bawah kepemimpinan Pak Asep. Dia adalah karyawan penting. Karena aku adalah calon pemimpinnya, dia harus menerimaku dengan sangat berlapang dada.

Syukurlah, kinerja Linda melebihi ekpektasiku.

"Silahkan duduk, Pak Handoko!"

Orang itu bersemangat menyambutku saat aku kunjungi rumahnya. Senyumnya sangat ramah, jauh berbeda dari tahun lalu saat dia baru mengenalku. Tak ada keraguan yang ia tunjukan. Penerimaan itu sangat alami hingga kutoleh Linda yang mendapingiku di hari ini.

Inilah kekuatan edifikasi.

Pepatah bilang, kualitas seseorang bisa dilihat dari mulutnya. Bukan hanya di pekerjaan. Pepatah itupun juga berlaku di pertemanan. Teman terbaik selalu membicarakan hal baik tentang orang lain saat mereka tidak bersamanya.

Sedangkan teman terburuk ... yeah, tak perlu dijelaskan ... aku selamanya miskin kalau bergaul dengan penggosip.

"Sebelumnya saya ucapkan selamat atas pengangkatan anda, Pak Handoko," basa-basinya, sebelum menatap Linda yang duduk anggun di sebelahku. "Saya kenal anda Bu Linda sudah lama. Tapi saya tidak menyangka anda tokoh penting di kalangan investor."

"Saya hanya pesuruh, Pak David," jawabku kalem mengikuti informasi yang dia terima. "Pak Respati sangat ketat. Karena itulah beliau mengutus saya jadi eksekutif di perusahaan kita."

Seperti yang Linda bilang, identitasku adalah tangan kanan Prasojo dan Respati. Aku jadi auditor karena Respati tak yakin dananya aman di perusahaan kami. Karena itulah beliau memintaku sebagai auditor. Respati memintaku jadi CEO untuk memastikan perusahaan ikut sistem yang dia rancang.

Skenario ini sangat rapi. Kukagumi keahlian Linda memenangkan ego David yang sudah bekerja sejak perusahaan ini baru berdiri. Aku punya power. Respatipun langsung setuju saat Linda menjual namanya untuk mengamankan posisiku.

Well done, aku suka perempuan itu.

"Pak David," kusebut namanya sambil membaca tumpukan dokumen. "Setelah ini kita akan didanai investor besar. Penghasilan anda nantinya akan lebih tinggi."

Semua orang pasti semrigah kalau sudah diimingi uang. Pria 50 tahunan itu memajukan posisi duduknya dan penuh semangat pasang telinga

"Sewaktu saya jadi auditor, saya tidak hanya mencatat nama-nama bermasalah. Saya juga mencatat eksekutif kita yang kinerja dan pengalamannya di atas rata-rata. Tak menutup kemungkinan anda dipromosikan sebagai direktur proyek."

"Benarkah?"

"Iya. Saya pastikan sistem baru kita sepenuhnya meritokrasi. Alias siapa yang berprestasi, merekalah yang dapat jabatan. Kami pastikan pengukuran kinerja SDM lebih akurat."

Matanya berkaca-kaca. Pak David adalah sebagian orang yang karirnya tersendat karena kepentingan orang dalam.

"Terimakasih, Pak Handoko. Jujur saja, awalnya saya ragu dengan kepemimpinan anda. Saya merasa perusahaan tak adil pada kami yang sudah kerja bertahun-tahun. Karir kami lambat. Terlebih jika para petinggi menghalangi kami karena posisi itu akan ditempati keluarga sendiri."

"Iya, saya paham. Salah satu alasan saya ditunjuk sebagai CEO adalah memberi hak-hak SDM seperti anda, Pak David. Selama anda bisa jujur dan memberi nilai lebih, saya tak akan tutup mata."

Pria itu mendadak diam. Mungkin dia meragu. Aku tahu usiaku terlalu muda untuk bisa meyakinkannya.

"Pak David, kalau anda butuh bukti bahwa saya tak kenal kompromi, tanyakan itu ke Istri Pak Nyoto."

Pria itu gelagapan. Dia menggeleng cepat saat merasakan seberapa tajam aku mengancam. Inilah tantanganku sebagai eksekutif muda. Aku harus memberi kesan kuat karena setelah ini aku akan memimpin orang-orang berego tinggi.

"Saya tak meragukan anda, Pak Handoko. Saya hanya merenung, ternyata usia tak selalu sejalan dengan wibawa dan kedewasaan. Kini saya paham kenapa petinggi kita sangat tertarik dengan anda."

Tanpa ba bi bu langsung kusodorkan tangan kananku.

"Selamat, Pak David. Mulai besok anda Direktur Proyek."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now